Rantai Kekayaan

Rantai Kekayaan

Gagal Panen

Dirja melangkah masuk ke rumah dengan langkah lunglai, wajahnya terlihat kusut penuh beban. Keringat masih menempel di dahinya, bekas dari kepergiannya dari sawah dan kebun yang baru saja dia cek.

"Mas, pulang-pulang kok wajahnya lesu gitu? Kenapa?" tanya Darmi sambil menyipitkan mata, dia menyeka debu yang menempel di kedua tangannya.

Darmi baru saja menyalakan api di tungku, dia ingin merebus air. Dirja duduk terhuyung di bangku kayu, memijat pelipisnya. Suaranya berat, hampir tak ada suaranya.

"Dek, padi kita... dimakan tikus. Sayurnya juga ludes dimakan belalang." Napasnya tersendat, seolah kata-kata itu susah keluar dan tertahan di tenggorokan. "Gagal panen, Dek. Tak tersisa."

Darmi mengerutkan dahi, menatap kosong ke arah suaminya. Padahal kemarin padinya sudah terlihat menguning, seminggu lagi sudah siap panen. Nyatanya, malah hal yang tak terduga mereka dapat saat ini.

"Terus, gimana dong? Kita nggak ada makanan sama sekali? Kalau tak ada padi, setidaknya ada sayuran atau umbi kayu dan kentang."

Dirja menggertakkan gigi, tangannya gemetar saat meraih gelas berisi air putih. Sedih sekali rasanya, kecewa juga iya. Berkebun dan bertani memerlukan waktu yang panjang, biaya yang dikeluarkan juga tak sedikit.

Mereka berubah untuk bertani dan berkebun setelah kedua orang tua Dirja meninggal, tanah yang dia kelola warisan dari kedua orang tuanya. Biaya untuk mengolah sawah dan kebun juga dapat meminjam, bukan dari uang pribadi.

Dulu dia tak perlu mengeluarkan modal untuk bercocok tanam, karena dia cukup membantu kedua orang tuanya saja. Dengan seperti itu, dia bisa mendapatkan upah yang lumayan besar.

Namun, kini dia malah harus mengeluarkan biaya yang besar untuk bertani dan juga berkebun. Dirja yang tak biasa mengolah semuanya tentu saja kewalahan, menghasilkan tidak, banyak hutang iya.

"Kemarau panjang, tanah keras sampai susah menyerap air. Aku udah capek banget sirami semua. Tapi malah kena sial, hama habisin panen kita." Ia menghela napas panjang, matanya sembab menahan kecewa.

Sang istri menatap wajah suaminya yang kusut dengan lama, bibirnya gemetar antara yakin dan takut. Namun, dia tidak mau menyembunyikan pemikirannya.

"Mas, ini aneh gak sih? Biasanya hama nggak sampai habisin semua sayur dan padi loh, apalagi sampai gagal panen kaya gini. Apa mungkin ini bukan hama biasa?"

Suara Darmi setengah berbisik, suaranya seakan takut terdengar orang lain. Wanita itu bahkan menolehkan wajahnya ke piri dan juga ke kanan, takutnya nanti ada orang yang mendengar karena rumah mereka terbuat dari bilik dan juga kayu.

Sebenarnya saat kedua orang tua Dirja meninggal, ada warisan rumah dari kedua orang tuanya itu. Namun, terpaksa dia jual karena dipakai untuk mengobati anaknya yang sakit kanker.

Namun, sial menghampiri hidupnya. Uang sudah keluar banyak, tapi anaknya yang baru berusia 2 tahun itu malah meninggal dunia. Sia-sia rasanya, kepedihan baru saja mereda, keduanya mulai bangkit dan menyibukkan diri dengan berkebun dan bertani. Namun, lagi-lagi mereka harus menelan kecewa.

"Mungkin yang makan itu hewan jadi-jadian, kayak yang penganut ilmu hitam, gitu."

Dirja terdiam, tatapannya menerawang jauh, ada kegelisahan yang sulit diungkap dengan kata. Namun, dia merasa tidak percaya dengan hal mistis seperti itu.

"Halah! Mana ada hal semacam itu, Mas gak percaya. Kita aja selama ini tinggal di dekat hutan, tapi tak pernah sekalipun melihat yang namanya setan.''

Darmi mengangguk pelan, bibirnya sedikit menekuk. Dia setuju dengan apa yang dikatakan oleh suaminya, tapi kesal juga karena pria itu langsung menepis kata-katanya.

"Iya juga sih, Mas. Tapi kan' bisa saja," katanya lirih, suaranya ada getar ragu. Matanya menatap kosong ke tanah, seperti berusaha menepis kekhawatiran yang terus menggelayut di pikiran.

Dirja menghela napas panjang, lalu mengusap kepala Darmi dengan tangan kasarnya karena terlalu cape bekerja.

"Sudahlah, jangan pikirin itu terus. Aku mau cari makanan dulu, di rumah udah kosong," ujarnya tegas, tapi nada suaranya hangat penuh perhatian.

Darmi mengangkat wajah, mencoba tersenyum. "Iya, Mas. Memang di rumah nggak ada bahan pangan lagi, tapi di pinggir rumah masih ada daun singkong yang bisa diambil."

Dirja mengangguk cepat, matanya menyipit mengingat tugasnya. "Ya udah, kamu ambil daun singkongnya. Aku mau cari beras biar kita bisa makan."

Darmi membalas dengan suara pelan. "Siap! Mas harus hati-hati ya, jangan sampai kenapa-kenapa."

Wajahnya penuh harap dan cemas sekaligus, seperti berharap semuanya akan baik-baik saja. Dirja menganggukan kepalanya.

"Emm!" jawabnya dengan deheman saja. Dia mengambil wadah kecil, dia berharap walaupun tidak mendapatkan beras hari ini, tetapi setidaknya bisa mendapatkan makanan lain.

Matahari sudah mulai meninggi, tetapi dia harus mencari beras agar dia bisa makan bersama dengan istrinya. Namun, dia bingung harus mencari beras ke mana. Karena pastinya beras itu harus dibeli dengan uang, sedangkan dirinya tidak memiliki uang sama sekali.

Utang untuk membayar hutang bekas mengolah sawah dan kebun saja tidak ada, pusing sekali rasanya. Dirja malah diam di tepi sungai, sungai yang kering. Hanya ada batu-batu besar yang begitu panas ketika dia duduki.

"Duh Gusti! Aku kudu piye?"

Cukup lama Dirja duduk di atas batu besar yang ada di pinggir kali, hingga tidak lama kemudian dia melihat ada orang yang melintas di hadapannya sambil membawa

dua keranjang singkong.

"Kang! Abis panen singkong ya?"

Pria itu menolehkan wajahnya ke arah Dirja, dia merasa iba melihat pria itu karena tahu kalau pria itu baru saja kena sial. Hampir tanaman semua warga diserang hama, tetapi memang milik Dirja yang paling parah.

"Iya, alhamdulillah masih ada yang tersisa. Bisa buat makan, sisanya bisa dijual ke pasar. Buat beli lauk," jawabnya.

"Ehm! Saya boleh minta gak?" tanya Dirja dengan malu.

"Boleh, Dirja. Ambil sini, dulu bapakmu itu orangnya baik sekali. Masa anaknya minta singkong saja saya nggak kasih, ambil."

Orang itu memberikan beberapa buah singkong kepada Dirja, pria itu kesenangan. Dengan cepat dia memasukkan singkong itu ke dalam wadah kecil yang dia bawa.

"Makasih, Kang. Kalau gitu saya pulang, istri saya pasti sudah kelaparan di rumah."

"Sama-sama, saya turut sedih melihat kebun dan juga sawah kamu yang gagal panen."

"Iya, Kang. Permisi," ujar Dirja.

Dengan senyum yang mengembang di bibirnya Dirja pulang ke kediamannya, dia berharap istrinya itu tak marah karena dia hanya mendapatkan singkong saja.

"Dek! Mas pulang!" teriak Dirja ketika dia tiba di rumahnya.

Namun, rumah itu terasa begitu sepi. Tak ada sahutan dari istrinya, hal itu membuat Dirja takut.

"Dek! Kamu di mana sih?" tanya Dirja sambil melangkahkan kakinya menuju dapur.

Dia mencari istrinya di sana tapi ternyata tidak ada, dia membuka pintu belakang dan berusaha untuk mencari istrinya di sana. Karena Dirja ingat kalau istrinya berkata di pinggir rumah masih ada daun singkong yang bisa diambil, pohon singkong yang masih kecil-kecil itu menghasilkan daun yang bisa direbus dan dijadikan lalapan.

"Astagfirullah! Kamu kenapa Dek?"

Terpopuler

Comments

Alyasin Julia Rania

Alyasin Julia Rania

sllu mampir kk yang novel indigo udh gk ada gi pdhl suka crtanya

2025-10-12

0

FiaNasa

FiaNasa

aneh juga sih,,kok semua tanamannya pada gagal,,yg lain aja masih ada yg tertinggal tp punya Dirja habis semua

2025-10-20

0

🍒⃞⃟🦅AmaraGold☆⃝𝗧ꋬꋊ

🍒⃞⃟🦅AmaraGold☆⃝𝗧ꋬꋊ

jejak teteh author

2025-10-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!