Dua orang sahabat dekat. Letnan satu Raden Erlangga Sabda Langit terpaksa harus menjadi presiden dalam usia muda karena sang ayah yang merupakan presiden sebelumnya, tutup usia. Rakyat mulai resah sebab presiden belum memiliki pasangan hidup.
Disisi lain presiden muda tetap ingin mengabdi pada bangsa dan negara. Sebab desakan para pejabat negara, ia harus mencari pendamping. Sahabat dekatnya pun sampai harus terkena imbas permasalahan hingga menjadi ajudan resmi utama kepresidenan.
Nasib seorang ajudan pun tak kalah miris. Letnan dua Ningrat Lugas Musadiq pun di tuntut memiliki pendamping disaat dirinya dan sang presiden masih ingin menikmati masa muda, apalagi kedua perwira muda memang begitu terkenal akan banyak hitam dan putih nya.
Harap perhatian, sebagian besar cerita keluar dari kenyataan. Harap bijaksana dalam membaca. SKIP bagi yang tidak tahan konflik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Jengkel.
Keadaan Dena perlahan mulai membaik meskipun menyisakan mual tak terkira, Nadine pun ijin ke toilet. Beberapa langkah sekembalinya Nadine dari toilet, kakinya keseleo hingga jatuh ke tanah.
Masih dengan rasa cemasnya, Bang Lugas menghampiri Dena, tanpa menghiraukan Nadine yang masih meringis kesakitan di tanah.
"Kamu nggak apa-apa, dek? Masih ada yang sakit atau tidak?" tanyanya panik sambil memeriksa Dena dari ujung kepala hingga kaki.
Dena menggeleng pelan. "Dena nggak apa-apa, Bang. Mbak Nadine yang jatuh."
Mendengar itu, Bang Lugas menoleh sekilas ke arah Nadine, lalu kembali fokus pada Dena. "Kamu yakin? Jangan bohong. Kalau ada apa-apa bilang sama Abang."
"Iya, Bang. Beneran. Abang bantuin Mbak Nadine dulu sana." pinta Dena lembut, meski hatinya sedikit perih melihat Nadine mencari perhatian berlebih Bang Lugas di saat seperti ini.
Sementara itu, Anne yang melihat Nadine kesulitan berdiri, segera menghampiri dan mengulurkan tangan. "Sini, Anne bantu berdiri. Pelan-pelan ya," ujarnya ramah.
Nadine menepis tangan Anne dengan kasar. "Nggak usah! Aku bisa sendiri!" tolaknya ketus. Air mata mulai membasahi pipinya, bukan hanya karena sakit di kaki yang di sengaja, tapi juga karena merasa diabaikan dan tidak dipedulikan Bang Lugas.
Anne terkejut dengan reaksi Nadine, namun ia berusaha untuk tidak tersinggung. Ia tau, Nadine sedang kalut dan mungkin merasa malu karena kejadian ini. "Baiklah, kalau begitu Anne panggilkan yang lain aja ya." kata Anne mencoba menawarkan solusi.
"Nggak perlu..!!! Kembali saja ke tempatmu" usir Nadine dengan sedih.
Anne pun kembali ke bangkunya kemudian duduk.
"Ada apa, sayang?" Tanya Bang Decky.
"Mbak Nadine nggak mau di bantu padahal Anne lihat kakinya memang keseleo." Jawab Anne.
"Dia mencari perhatianmu, Gas. Pengen kamu bantu, bukan kita-kita ini yang bantu." Ujar Bang Erlang.
"Cckkk.. Setiap kali selalu begini. Sakit kepalaku meladeni maunya." Kata Bang Lugas geram.
Dena menyentuh bahu suaminya yang nampak sedang tidak enak hati. "Bantu saja, Bang. Mungkin si Abang memang pengen banget di manja papanya."
Mau tidak mau, Bang Lugas beranjak dari duduknya. Ia berjalan menghampiri Nadine dan berjongkok di depan Nadine, memeriksa kakinya dengan seksama. "Bengkak sedikit. Kita obatin di rumah aja ya," ujarnya tanpa ekspresi.
Nadine mendongak, menatap Bang Lugas dengan tatapan memohon. "Abang marah sama Nadine?"
Bang Lugas menghela napas. "Nggak, saya nggak marah. Saya cuma capek."
"Capek sama Nadine?" tanya Nadine lirih, air matanya mulai menggenang kembali.
Bang Lugas terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Iya, saya capek sama drama kamu. Setiap kali ada Dena, kamu selalu cari perhatian. Saya ngerti kamu pengen diperhatikan, tapi nggak harus seperti ini caranya."
Nadine terisak. "Nadine cuma pengen Abang sayang sama Nadine juga. Nadine pengen hal yang sama seperti yang di rasakan Dena."
Bang Lugas berdiri, lalu mengulurkan tangannya. "Ayo, saya bantu berdiri."
Nadine menepis tangan Bang Lugas. "Nggak mau..!!! Nadine maunya di gendong."
Bang Lugas menghela napas panjang. "Nadine, nggak usah aneh-aneh..!!!"
"Nadine nggak peduli! Nadine maunya Abang gendong Nadine, sekarang!" rengek Nadine, suaranya semakin meninggi membuat orang-orang menoleh ke arah mereka.
Bang Lugas menatap Nadine dengan tatapan tajam. "Nadine, cukup! Saya sudah sabar sama kamu selama ini. Tapi kalau kamu terus-terusan seperti ini, saya nggak tau lagi harus gimana. Kalau nampar ibu hamil di benarkan, saya orang yang akan menamparmu pertama kali."
"Sabar, Bro.." Bang Decky sampai menepuk bahu sahabatnya.
Dena pun mengusap punggung Bang Lugas dengan lembut. "Nggak apa-apa, Bang. Abang gendong Mbak Nadine. Mungkin si Abang pengen di manja papanya."
Sungguh rasanya Bang Lugas ingin menangis, dadanya luar biasa sesak setiap melihat Dena berbesar hati atas segala tindakan Nadine yang terkadang begitu menjengkelkan. Hatinya pedih teriris merasakan istrinya selalu mengalah.
Melihat Bang Lugas belum juga beranjak, Dena kembali mengusap punggung suaminya. "Demi anak."
Anne merasa bersimpati dengan sikap Dena, ia pun memeluk Dena sebagai dukungan persahabatan darinya. "Lain kali jangan mau mengalah. Bang Lugas kan, suamimu. Jambak saja rambut Nadine..!!" Bisiknya.
"Deeek.. Jangan jadi kompor, aahh..!!!" Tegur Bang Decky yang mendengar bisikan setan gadis cantik pujaan hatinya.
Dengan berat hati akhirnya Bang Lugas mengangkat Nadine dan membawanya duduk.
Dena memandang nanar perlakuan Bang Lugas dan Nadine. Dadanya sesak, ada tekanan kuat di dalam batinnya. Air matanya mengalir tanpa bisa dicegah. Ia tau, di balik kelembutan dan kesabarannya, ada luka yang menganga lebar di hatinya tapi dirinya tidak bisa berbuat apapun, ada darah daging Bang Lugas juga di dalam perut Nadine.
Setiap kali Bang Lugas terburu-buru menghampirinya saat ia mual, atau memijat tengkuknya dengan lembut, ada secercah kebahagiaan yang menyelinap. Namun, kebahagiaan itu selalu berumur pendek, terenggut oleh bayangan Nadine yang juga menuntut hal serupa. Dena tahu, Bang Lugas sangat menyayanginya, namun bagi Dena, itu tidak cukup. Ia ingin menjadi satu-satunya wanita dalam hidup Bang Lugas, satu-satunya yang dicintai dan diperhatikan sepenuhnya.
'Ya Allah, apakah aku terlalu serakah?'
.
.
.
.