 
                            Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.
Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.
Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.
Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Berangkat Bersama
“Kalian habis dari mana? Kenapa malam-malam gini keluar dari rumah gak bilang? Itu Serenya dari tadi cariin kalian,” suara Kaelan terdengar berat dan penuh curiga ketika Damian, Amara, dan Rayven baru saja masuk ke rumah.
Udara malam yang lembab menyusup lewat pintu yang baru terbuka. Rayven menatap Kaelan seperti biasa, sementara Amara berusaha tersenyum canggung. Damian hanya melepas sepatunya dengan pelan, berusaha menahan suasana agar tidak langsung meledak.
“Aahh… kita gak habis dari mana-mana, Bang,” jawab Amara cepat, suaranya sedikit gemetar. “Cuma makan malam sama klien Papah tadi. Maaf ya gak bilang dulu.”
Kaelan menyipitkan mata, ekspresinya tajam. Ia tahu betul ibunya tidak pernah sepenuhnya tenang saat berbohong. Dahi wanita itu kini dipenuhi keringat halus, dan tangannya terlihat sedikit gemetar saat menaruh tas di atas meja.
“Klien, ya?” gumam Kaelan, matanya berpindah ke arah Rayven yang berdiri di belakang. “Terus… itu muka Rayven kenapa?”
Rayven langsung menegakkan tubuh, mencoba menahan gugupnya. Ada luka lebam di pipi kirinya — tanda jelas hasil benturan yang belum lama terjadi. Ia sempat menunduk, tapi cepat-cepat memaksa senyum kecil di wajahnya.
“Ahh, gak papa, Bang,” katanya cepat. “Biasa anak muda, salah langkah dikit, jatuh di motor.”
Kaelan mengangkat satu alis, lalu melangkah mendekat. “Jatuh di motor?” nada suaranya tajam. “Lucu juga. Luka lo bentuknya bukan kayak karena jatuh, Ven. Itu kayak bekas pukulan.”
Rayven menelan ludah. Amara refleks menepuk lengan suaminya pelan, memberi isyarat agar Damian tidak ikut bicara dulu. Namun Kaelan sudah melangkah lebih dekat, berdiri di hadapan adiknya dengan tatapan tajam — seperti singa yang mencium darah.
“Rayven.”
Suara itu datar tapi tegas. “Gue cuma mau denger satu hal. Lo berantem di mana? Jangan bohong.”
Rayven diam. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Ia tahu kakaknya bukan tipe orang yang bisa dibohongi begitu saja. Sekali Kaelan curiga, ia akan menggali sampai ke dasar.
Damian akhirnya bicara, mencoba memecah ketegangan. “Kaelan, sudah. Adikmu lagi gak enak badan. Nanti Papa jelasin, tapi bukan sekarang.”
Kaelan menoleh ke ayahnya, matanya penuh kekecewaan. “Kenapa Papa nutupin sesuatu dari aku? Dari tadi Mama juga kelihatan gelisah. Sekarang Rayven pulang malam, mukanya kayak habis dipukul. Terus kalian bilang cuma makan malam sama klien?”
Amara mencoba menahan diri, tapi nada suara anak sulungnya membuat emosinya goyah. “Kaelan, tolong jangan debat malam-malam. Ini bukan urusan kamu.”
Kaelan tersenyum miring, langkahnya mundur sedikit. “Bukan urusan aku?” nadanya sarkastik. “Mama bercanda, ya? Ini keluarga aku juga. Adik aku. Kalau dia ngelakuin sesuatu yang parah, aku punya hak tahu.”
“KAELAN!” suara Damian meninggi kali ini, membuat suasana rumah langsung beku.
“Sudah. Cukup.”
Kaelan terdiam, tapi matanya masih menatap Rayven tajam. Hening selama beberapa detik terasa seperti ribuan detik di antara mereka. Akhirnya ia menghela napas keras, lalu berbalik menuju tangga.
“Baik. Kalau kalian gak mau ngomong sekarang, aku cari tahu sendiri,” ucapnya dingin sebelum melangkah naik.
Begitu suara langkahnya menghilang di lantai atas, Amara menutup wajahnya dengan tangan. Napasnya bergetar. Damian memeluk bahunya pelan. “Kamu tenang dulu, Mah. Kita gak bisa terus bohongin Kaelan. Dia pasti tahu juga nanti.”
Rayven berdiri di tempat yang sama, tak berani bergerak sedikit pun. Ia merasa seperti semua oksigen di ruang tamu itu habis. Dadanya sesak, matanya mulai memanas.
“Mah, Pah… aku minta maaf,” suaranya serak. “Gara-gara aku, semua jadi kayak gini.”
Amara menatap putranya itu lama, lalu menarik napas berat. “Kamu udah minta maaf di rumah Alendra, Ven. Sekarang Mama cuma minta satu hal — kamu berhenti bikin keadaan makin rumit. Tolong, nak."
Rayven mengangguk pelan. “Iya, Mah.”
Damian berjalan menuju tangga, lalu menepuk bahu putranya. “Besok kita bicara lagi. Malam ini semua istirahat.”
Rayven menatap punggung ayahnya yang perlahan menghilang di balik tangga, lalu berbalik ke arah ibunya. “Mah… kalau Bang Kaelan tahu, pasti dia bakal marah sama aku, kan?”
Amara diam sejenak, lalu mendekat, menyentuh pipi putranya yang masih bengkak. “Dia memang akan marah, Ven. Tapi kamu harus siap menghadapi konsekuensinya. Sekarang kamu bukan cuma anak SMA yang bisa sembunyi di balik alasan. Kamu udah bikin seseorang hancur, dan itu tanggung jawab besar.”
Air mata Rayven mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibir, menunduk dalam. “Aku tahu, Mah. Aku tahu banget. Aku nyesel, sumpah. Tapi aku juga takut. Takut Bang Kaelan tahu, takut Papa kecewa lagi, takut Alendra makin benci aku…”
Amara menghela napas, lalu menarik putranya dalam pelukan. “Kamu harus lebih kuat dari ketakutanmu, Ven. Kalau kamu benar-benar mau tanggung jawab, kamu harus siap menghadapi semuanya — termasuk tatapan marah kakakmu.”
Rayven hanya bisa mengangguk di dada ibunya.
Pagi itu udara masih sejuk, embun tipis menempel di dedaunan, dan aroma roti panggang dari rumah sebelah ikut terbawa angin. Rayven berdiri kaku di depan rumah Alendra, kedua tangannya menggenggam erat tali ransel di bahu. Matanya sedikit sembab karena kurang tidur—semalaman ia hanya menatap langit-langit kamarnya, memutar ulang kejadian semalam di kepalanya.
Ia mengetuk pintu perlahan. Sekali. Dua kali.
Tak lama, suara langkah terdengar dari dalam. Pintu itu akhirnya terbuka, menampakkan sosok yang sama sekali tidak ia harapkan—bukan Alendra, melainkan ayah gadis itu.
Pak Adrian berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam dan dingin. Pria paruh baya itu masih mengenakan kemeja rumah, tapi sorot matanya cukup untuk membuat Rayven menunduk tanpa berani menatap balik.
“Rayven,” suaranya berat, datar, tapi jelas mengandung ketegasan. “Kamu datang pagi-pagi begini, mau apa?”
Rayven menelan ludah, mencoba mengatur napasnya. “Saya… mau ketemu Alendra dan berangkat sekolah bersama Alendra pak."
Pak Adrian tidak langsung menjawab. Ia menatap Rayven lama, seperti sedang menimbang apakah anak di depannya benar-benar sadar dengan beratnya situasi yang sedang terjadi. Urat di rahangnya menegang, dan napasnya terdengar berat.
“Sekolah bersama Alendra?” ulangnya dengan nada dingin. “Ya sudah tunggu sebentar Alendra masih bersiap. Tapi ingat jaga jarak aman walaupun kalian sudah pernah... Ah sudah lah jangan diingat. Nanti malam datang ke rumah lagi ada yang ingin saya sampaikan kepada kamu." Ucap Ardian.
Rayven terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ada nada getir dalam kalimat Pak Ardian yang membuat jantungnya berdebar tak karuan—antara lega karena diizinkan bertemu, dan takut karena mendengar akan ada “yang ingin disampaikan” malam nanti.
“Iya, Pak,” jawabnya lirih, nyaris tak terdengar.
“Saya akan datang.”
Pak Ardian hanya mengangguk kecil, lalu melangkah kembali ke dalam rumah. “Tunggu di luar. Jangan masuk dulu.”
Pintu ditutup perlahan, meninggalkan Rayven berdiri di teras sempit yang dikelilingi pot bunga kecil. Ia bisa mendengar samar-samar suara Alendra dari dalam rumah, mungkin sedang mencari tas atau menyisir rambutnya. Napasnya terasa berat—setiap detik menunggu terasa seperti ujian kesabaran.
Tak lama, pintu itu terbuka kembali.
Sosok Alendra muncul. Ia mengenakan seragam sekolah seperti biasa, rambutnya diikat setengah, wajahnya tampak segar meski ada bayangan lelah di bawah matanya. Namun, saat melihat Rayven berdiri di depan pagar, langkahnya sempat terhenti.
Pandangan mereka bertemu.
Suasana mendadak hening. Hanya ada bunyi burung yang berterbangan di atas genteng dan suara knalpot motor dari kejauhan.
“Pagi…” ucap Rayven pelan, mencoba tersenyum walau wajahnya kaku.
Alendra menunduk sedikit, tidak menjawab. Tangannya meremas tali tas, seolah sedang menahan banyak hal yang ingin diucapkan tapi tak sanggup keluar.
“Gue… cuma mau antar lo ke sekolah. Gue udah janji ke ayah lo gak akan bikin masalah,” lanjut Rayven dengan suara yang nyaris bergetar.
Alendra menatapnya sekilas, lalu akhirnya bicara dengan suara yang sangat pelan.
“Gak usah, Rayven. Gue bisa sendiri.”
Rayven menggeleng cepat. "Gue cuma mau pastiin lo aman. Gue gak mau lo ngerasa gak nyaman di jalan. Dan yang pasti anak kita selamat sampai tujuan.”
“Ahh ya oke, tapi kalau sambil anterin adik gue gak papa?" Tanya Alendra ragu.
Rayven tersenyum kecil, meski wajahnya masih diliputi canggung dan rasa bersalah yang menumpuk. “Boleh banget, Al. Gue tunggu di sini aja, gak akan masuk.”
Alendra mengangguk pelan, lalu berbalik ke dalam rumah. Dari luar, Rayven bisa melihat bayangan tubuhnya yang bergerak cepat menuruni tangga. Hatinya mencelos—entah kenapa setiap kali melihat Alendra, rasa bersalah itu seperti menusuk lebih dalam. Ia tahu semua ini bukan hal yang bisa dimaafkan begitu saja. Tapi di sisi lain, ada perasaan yang tak bisa ia hentikan—ingin tetap di dekatnya, ingin memastikan gadis itu baik-baik saja.
Beberapa menit kemudian, Alendra keluar bersama adiknya yang masih mengenakan seragam SD. Bocah laki-laki itu terlihat ceria, menenteng tas biru di depannya.
“Halo bang!” serunya riang, langsung melambai begitu melihat Rayven berdiri di teras.
Rayven tersenyum tulus untuk pertama kalinya pagi itu. “Hei, ganteng. Siap berangkat sekolah?”
“Siap dong!” balas Ezriel dengan semangat, lalu menatap kakaknya, “Kak, ayo buruan, nanti aku telat!”
Alendra hanya menghela napas kecil, lalu mengangguk. “Iya, iya, sabar. Yuk, jalan.”
Mereka bertiga berjalan keluar halaman. Menaiki motor Rayven yang terparkir di halaman rumah dengan Ezriel duduk di tengah-tengah antara mereka berdua. Rayven sesekali melirik Alendra dari kaca spion. Alendra tampak sedang bercanda dengan adik semata wayangnya itu.
Sepanjang jalan menuju sekolah Ezriel, mereka hampir tidak bicara. Hanya suara kendaraan dan angin pagi yang menjadi pengisi kekosongan. Namun, sesampainya di gerbang sekolah dasar, suasana sedikit mencair.
"Terimakasih Abang, namanya Abang siapa?" Tanya Ezriel di depan gerbang.
"Nama Abang Rayven, kamu bisa panggil bang Ray aja Oke." Ucap Rayven lembut membuat Alendra yang disana tersenyum kecil melihat kedekatan keduanya.
"Oke bang Ray, aku masuk dulu ya. Jangan lupa jagain kakak Alendra," ucap Ezriel sambil berjalan menuju gerbang meninggalkan dua insan yang masih terasa canggung sampai sekarang.
 
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                    