Jantung Hati Sang Pemimpin
Mentari pagi merayap masuk melalui jendela-jendela tinggi Istana negeri, memantulkan cahaya keemasan pada meja kerja yang dipenuhi dokumen. Di balik meja itu, Letnan Satu Raden Erlangga Sabda Langit, presiden termuda dalam sejarah Indonesia, memijat pelipisnya. Usianya baru menginjak dua puluh lima tahun di bulan depan, namun beban negara terasa begitu berat di pundaknya.
Wafatnya sang ayah, Presiden Hanggatama Sabda Langit, tiga bulan lalu, telah mengubah hidup Bang Erlanggadalam semalam. Dari seorang perwira muda yang menikmati masa lajangnya, ia harus menerima tongkat estafet kepemimpinan dan memikul tanggung jawab besar. Awalnya, banyak yang meragukan kemampuannya. Namun, Bang Erlang berhasil membuktikan diri dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat dan gaya kepemimpinan yang tegas namun humanis.
Namun, ada satu masalah yang terus menghantuinya, status lajangnya. Rakyat mulai resah, media massa terus memberitakan, dan para pejabat negara tak henti-hentinya mendesak. Mereka beranggapan, seorang presiden harus memiliki pendamping, seorang Ibu Negara yang bisa menjadi simbol negara dan memberikan ketenangan negeri.
"Kami mengerti kesibukan Anda, Pak Erlang. Tapi, masalah ini tidak bisa diabaikan. Rakyat butuh figur Ibu Negara," ujar Menteri Sekretaris Negara, Bapak Suwondo, saat rapat kabinet pagi itu.
Bang Erlangga menghela napas. Ia tau betul apa yang dikatakan Bapak Suwondo. Namun, ia merasa belum siap untuk menikah. Ia ingin fokus membangun negara, mewujudkan cita-cita sang ayah, dan membuktikan bahwa ia layak mengemban amanah ini.
"Saya mengerti, Bapak. Tapi, saya mohon waktu. Saya ingin fokus pada program-program prioritas pemerintah," jawab Bang Erlangga dengan nada tenang.
\=\=\=
Namun, desakan itu tak berhenti sampai di situ. Setiap hari, Raden menerima puluhan surat dari masyarakat yang menjodohkannya dengan berbagai tokoh perempuan. Media pun tak kalah gencar memberitakan, bahkan ada yang membuat daftar 'calon Ibu Negara' dengan segala spekulasi dan sensasinya.
Bang Erlang merasa seperti berada di dalam masa jaya emasnya. Ia memiliki kekuasaan dan pengaruh yang penuh, namun ia mulai kehilangan kebebasannya. Ia merindukan masa-masa ketika ia bisa bebas melakukan apa saja tanpa harus memikirkan protokoler dan pertahanan
Di tengah kegelisahan itu, hadir Letnan Dua Ningrat Lugas Musadiq, sahabat sekaligus ajudan setia Bang Erlang sejak jaman sekolah. Lugas, dengan segala kelugasannya sesuai nama, selalu hadir memberikan dukungan dan solusi. Ia tau betul apa yang dirasakan Bang Erlang, karena mereka berdua sudah seperti saudara.
"Selamat sore..!! Ijin.." Hati-hati sekali Bang Lugas membuka pintu ruang kerja Bang Erlang. Ia melihat sahabatnya itu sedang bertumpu kedua tangan pada meja, pastinya memikirkan banyak hal.
"Sempat begitu lagi, keluar saja kau dari sini. Kau sudah seperti orang lain bagiku. Kau mau cari muka??"
"Santai saja lah, kau. Jangan terlalu dipikirkan. Mereka itu cuma khawatir sama negara." kata Bang Lugas sambil menyodorkan secangkir kopi. "Lagipula saya nggak mau cari muka. Saya sudah ganteng dari lahir."
Bang Erlangga tersenyum tipis. "Justru itu masalahnya, Gas. Saya juga khawatir sama negara. Tapi, saya nggak mau menikah hanya karena tuntutan. Saya ingin menikah karena cinta, sampai saya menemukan orang yang tepat," jawab Bang Erlangga.
Bang Lugas mengangguk, ia mengerti, ia pun tau betul bahwa Bang Erlang adalah orang yang idealis dan memiliki prinsip yang kuat. Ia tidak akan pernah mengorbankan keyakinannya demi kepentingan apapun.
"Saya percaya sama kamu, Lang. Kamu pasti bisa menemukan jalan keluarnya," kata Bang Lugas sambil menepuk pundak Bang Erlang
Namun, tanpa mereka sadari, masalah Bang Erlang juga akan berdampak pada Bang Lugas. Para pejabat negara mulai menjodoh-jodohkan Bang Lugas dengan berbagai putri pejabat dan tokoh masyarakat. Alasannya, seorang ajudan presiden juga harus memiliki citra yang baik dan keluarga yang harmonis, selain itu.. Jika pejabat negara tidak memiliki pendamping, bagi mereka akan banyak menimbulkan gejolak konflik karena tidak ada pusat 'penenang utama' dan 'pendingin batin' yang sedang panas.
Dilema baru pun muncul. Bang Erlang dan Bang Lugas dua sahabat yang masih tetap ingin mengabdi pada negara dengan cara mereka sendiri, harus menghadapi tekanan dan tuntutan yang semakin besar.
Latar belakang Bang Erlang dan Bang Lugas bagaikan dua sisi mata uang. Bang Erlang, putra seorang presiden, tumbuh dalam lingkungan serba berkecukupan dan penuh aturan. Sementara Bang Lugas, berasal dari keluarga sederhana bahkan bisa di bilang kurang, dibesarkan dengan kebebasan dan petualangan. Namun, perbedaan itu justru menjadi daya tarik yang menyatukan mereka.
Kebersamaan mereka menjadi semakin erat di dalam pendidikan. Bang Erlang dengan seragam yang selalu rapi dan sikap yang sopan, langsung menarik perhatian Bang Lugas yang urakan dan penuh semangat. Bang Lugas mendekati Bang Erlang dengan gaya khasnya yang blak-blakan.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments