Kota X adalah kota tanpa tuhan, tanpa hukum, tanpa belas kasihan. Di jalanan yang penuh mayat, narkoba, prostitusi, dan pengkhianatan, hanya satu hal yang menentukan hidup dan mati: kekuasaan.
Di antara puluhan geng yang saling memangsa, berdirilah satu nama yang ditakuti semua orang—
Reno, pemimpin The Red Serpent, geng paling brutal dan paling berpengaruh di seluruh Kota X. Dengan kecerdasan, kekejaman, dan masa lalu kelam yang terus menghantuinya, Reno menguasai kota melalui darah dan api.
Namun kekuasaan sebesar itu mengundang musuh baru.
Muncul Rafael, pemimpin muda Silver Fang yang ambisius, licik, dan haus kekuasaan. Ia menantang Reno secara terbuka, memulai perang besar yang menyeret seluruh kota ke jurang kehancuran.
Di tengah perang geng, Reno harus menghadapi:
Pengkhianat dari dalam kelompoknya sendiri
Politisi korup yang ingin memanfaatkan kekacauan
Hubungan terlarang dengan Vira, wanita dari masa lalunya yang tersembunyi
Konspirasi besar yang lebih gelap dari dunia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boy Permana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pelabuhan tua
Pintu ruangan terbuka pelan. Dua anak buah The Red Serpent mendorong masuk seorang pria paruh baya dengan tangan terikat ke belakang. Bajunya lusuh dan wajahnya memar seperti habis disiksa sebelum tiba di markas Reno.
Reno berdiri tegak, menatapnya tanpa ekspresi. Tomo mengambil posisi di samping Reno, pistol siap di tangan.
Pria itu menelan ludah, lututnya gemetar.
“A… aku datang membawa pesan,” katanya dengan suara parau.
“Dari Rafael?” tanya Reno dingin.
Pria itu mengangguk cepat. “Ya, Bos Reno.”
Reno memberi isyarat halus pada anak buahnya untuk melepaskan ikatan tangan si pria. Mereka memotong talinya, tapi tetap menahan bahunya kuat-kuat.
“Bicaralah,” kata Reno, duduk sambil menatap tajam pria itu.
Pria kurus itu menarik napas panjang, lalu membuka lipatan kecil dari saku dalam jaketnya. Dia menyodorkannya dengan tangan gemetar.
Tomo langsung merenggut lipatan itu, dan memeriksanya, tak ada bubuk aneh, tidak ada apa-apa. Hanya selembar kertas merah.
Reno mengulurkan tangan. Tomo memberikannya.
Reno membuka lipatan itu perlahan.
Di dalamnya hanya ada dua baris kalimat pendek:
“Seseorang di sisimu adalah milikku.
Jika kau ingin tahu siapa… datanglah sendiri.”
Tomo mengepalkan tangan.
“Bos… ini jebakan. Rafael ingin kau datang sendirian biar dia bisa menghabisimu.”
Reno tetap diam. Matanya menatap tulisan itu lama, terlalu lama, seolah ia sedang membaca sesuatu yang tidak tertulis.
Pria kurus itu tiba-tiba bicara lagi, suaranya dipaksakan.
“Aku… hanya disuruh menyampaikan itu tolong lepaskan aku.
Tomo menendang lutut pria itu hingga ia jatuh berlutut dan menjerit.
“Kau pikir Bos akan percaya semua omong kosong mu?”
“Tomo,” potong Reno pelan.
Tomo langsung berhenti.
Reno menatap pria itu.
“Rafael memberimu sesuatu selain pesan ini?”
Pria itu menggeleng cepat. “Tidak! Tidak, Bos! Aku hanya disuruh datang dan bilang bahwa… bahwa orang yang mengkhianati Anda… dekat dengan Anda.”
Tomo menggeram.
“Semua orang yang dekat dengan Bos Reno. Itu bisa berarti siapa saja!”
Reno berdiri perlahan. Luka di punggungnya berdenyut, tapi ia tak menunjukkan rasa sakit.
“Kau tahu apa yang terjadi pada pengantar pesan yang berbohong?” tanyanya pelan.
Pria itu memucat. “Aku… aku tidak bohong, Bos. Aku hanya disuruh datang.”
Reno melangkah mendekatinya. Suaranya rendah tapi tajam.
“Apa Rafael bilang di mana aku harus datang?”
Pria itu mengangguk gemetar.
“Dia… dia menunggumu di wilayah netral… di pelabuhan tua. Gudang nomor 4. Katanya… kau harus datang sebelum tengah malam.”
Reno menatap jam di dinding.
Tomo langsung bersuara, keras.
“Bos, ini gila. Luka Anda belum sembuh.
“Tomo.”
Hanya satu kata, tapi cukup membuat ruangan membeku.
Reno menatap tangan kanannya itu.
“Aku tidak akan melewatkan undangan Rafael. Jika dia ingin permainan… kita beri dia permainan.”
Tomo tiba-tiba menunduk,
“Kalau begitu aku ikut.”
Reno menggeleng sekali.
“Tidak. Dia minta aku datang sendirian.”
Tomo memukul meja. “Aku tidak akan membiarkan Anda pergi sendirian ke sarangnya Silver Fang!”
“Tomo.” Reno mendekat, menatap mata sahabat lamanya itu. “Jika ada pengkhianat di dalam Red Serpent… aku butuh kau di sini. Mengawasi semuanya.”
Tomo terdiam,Kata-kata itu seperti menghantam Tomo.
Tomo membuka mulut, ingin protes, tapi tidak ada suara yang keluar.
Akhirnya ia hanya mengangguk, meski rahangnya mengeras.
“Baik, Bos. Tapi kalau Anda tidak kembali sebelum jam satu pagi… saya akan membawa beberapa orang ke pelabuhan itu.”
Reno tersenyum tipis.
“Lakukan apa yang perlu.”
Ia meraih jaket panjang hitamnya, memakainya perlahan, dan mengambil satu pistol kecil dari meja.
Reno akan menuju ke tempat yang sudah pasti jebakan.
Sebelum ia keluar, pria kurus pengantar pesan tiba-tiba bersuara lagi, gemetar hebat.
“Bos Reno… hati-hati. Rafael… bersama orang yang ahli dalam pertarungan.”
Reno berhenti di ambang pintu, menatapnya singkat.
“Terimakasih sudah memberi tahu.” ucap reno
Dan pintu tertutup.
Perjalanan menuju pelabuhan tua dimulai.
Hujan tipis mulai turun ketika Reno keluar dari markas The Red Serpent. Lampu jalan Kota X mulai menyala. Malam telah tiba dan malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. seperti sebuah pertanda buruk yang tak bisa diabaikan.
Reno masuk ke mobil hitamnya, menyelipkan pistol di balik pinggang dan memasukan amunisi ke saku celana dan saku jaketnya. Meski Rafael memintanya datang sendiri, Reno tetap tidak bodoh. ia tahu Silver Fang tidak akan bermain jujur.
Mesin menyala. Suara geramnya memecah keheningan.
Jalan menuju pelabuhan tua melewati deretan bangunan tua yang sudah ditinggalkan dengan dinding nya penuh grafiti milik geng kecil di sekitaran , kaca pecah berserakan, dan lampu-lampu mati yang menggantung seperti saksi bisu kebobokran kota itu.
Reno mengemudi sambil menahan rasa perih dari lukanya. Setiap tarikan napas terasa menusuk bahunya yang terluka.
Rafael mungkin mempersiapkan sesuatu.
Begitu mendekati pelabuhan, kabut tipis menyelimuti dermaga. Gudang-gudang tua berdiri , pintunya berderit tertiup angin laut. Air laut berbau khas nya memenuhi udara.
Reno memarkirkan mobil jauh dari gudang nomor 4, memilih berjalan kaki agar tidak memberi jejak yang jelas.
Langkahnya pelan namun mantap.
Sambil berjalan, pikirannya berputar cepat.
Ada pengkhianat di Red Serpent.
Apakah Rafael benar akan memberikan info siapa yang berkhianat dan beralih memihaknya.
Reno hanya tersenyum tipis saat memikirkan nya.
Tidak. Ini bukan sekadar jebakan pasti ada sesuatu yang lain.
Di kejauhan, gudang nomor 4 mulai terlihat.
bangunan besar dan kusam dengan pintu baja yang setengah terbuka.
Terlalu sepi. gumam reno dalam hati
Reno berhenti sekitar 20 meter dari pintu.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan di sisi kiri.
Reno refleks menunduk.
DOR!
Peluru melesat, menembus drum besi di belakangnya.
Reno merunduk dan berlari ke balik tumpukan peti kayu. Ia mengintip keluar, dua orang pria bersenjata muncul dari sudut gudang.
“Tentu saja…” Reno menggumam.
“ aku pasti akan di serang.”
Salah satu pria bersenjata maju, tapi Reno lebih cepat.
DOR!
Peluru Reno menembus dada orang itu. Pria itu jatuh dengan jeritan tertahan.
Yang satunya panik dan menembaki peti kayu. Pecahan kayu berterbangan, sebagian mengenai wajah Reno, namun Reno tetap tenang.
Begitu sang penembak kehabisan peluru dan mengumpat, Reno keluar dari persembunyian.
dan
DOR!
Satu tembakan tepat ke lutut. Pria itu tumbang.
Reno berjalan mendekat, pistol diarahkan ke wajah pria itu.
“Berapa orang di dalam?” suara Reno rendah dan dingin.
“A-a-aku… aku tidak tahu! Kami hanya disuruh berjaga”
Reno menginjak luka pria itu hingga lelaki itu menjerit keras.
“Berapa. Orang.”
“DUA! Mungkin empat! Aku tidak tahu pastinya jumlah mereka… a-aku hanya disuruh memantau di luar!”
Reno melepaskan tekanan kakinya.
“Kalau kau bohong, kau akan mati mendahului temanmu yang di dalam.”
Tanpa menunggu jawaban lagi, Reno masuk ke dalam gudang.
Di dalam, gelap.
Hanya satu lampu bohlam yang redup di tengah ruangan.
Reno masuk perlahan, langkahnya tak bersuara. Udara yang lembab, bau karat dan bau ikan terasa menyengat di hidung nya.
“Reno…”
Suara yang berat dan familiar bergema dari bagian belakang gudang.
Reno mengarahkan pistol ke arah suara itu.
Seseorang keluar dari balik tumpukan kontainer.
Langkahnya santai dan tersenyum licik.
Rafael.
Pemimpin Silver Fang itu terlihat jauh lebih rapi dari biasanya. Kemeja hitamnya bersih, rambutnya terikat ke belakang, dan tatapannya dingin seperti tatapan seseorang yang berkuasa.
“Rafael,” Reno menyapa dengan datar.
“Terima kasih sudah datang tepat waktu.”
Reno berdiri sekitar tiga meter darinya.
“Aku tidak punya banyak waktu. Katakan siapa pengkhianat itu yang lebih memilih brengsek seperti mu”
Rafael tertawa pelan.
“Kau benar-benar berpikir aku akan begitu saja memberitahumu? Tanpa… bermain terlebih dahulu?"
“Aku tidak punya waktu bermain.”
“Sayangnya, Reno… di Kota X, semua orang ikut bermain. Bahkan kau.”
Rafael mengeluarkan sebuah amplop hitam dari sakunya.
Ia mengangkatnya pelan.
“Di dalam sini… ada nama seseorang yang sangat kau percaya.”
Reno mengepalkan tangan.
“Berikan.”
Rafael tersenyum tajam.
“Ambil sendiri.”
Ia melemparkan amplop itu ke lantai tepat di tengah-tengah antara mereka berdua.
Reno menatap amplop itu sebentar.
Tetapi sebelum ia mengambilnya…
BRAKK!
Lampu gudang padam.
Gelap total.
Suara langkah cepat terdengar dari belakang Reno.
Dan sebuah suara berbisik dekat telinganya.
“Akhirnya kita bertemu lagi, Boss Reno…”
Suara yang sangat familiar dan berbahaya.
Seperti musuh dari masa lalu Reno yang seharusnya sudah mati.
Reno meraih pistol, tetapi seseorang mencengkeram bahunya dari belakang dengan kuat.