Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makam
Awan bergayut kelam di sisi-sisi langit, menahan napas sang surya, membuat langkah menapak ringan bagai diterbangkan angin. Rumah terakhir ‘Ateh’ telah mereka tinggalkan, dan kini diserap oleh rahim hutan kecil perbukitan, menyusuri urat nadi berupa jalan setapak yang terkelupas dari tanah.
Hutan kampung ini bukan belantara tak bertuan, melainkan tanah ulayat yang diwariskan darah ke darah, penuh cerita dan pesan-pesan yang terpendam. Di sela kerimbunan, tangan-tangan warga menanam kehidupan: kayu putih yang merapal doa, kelapa yang berbaris khusyuk, dan durian yang menjanjikan kelimpahan yang terpendam.
Raga mengikuti langkah Ibunya dari belakang, menelusuri setiap jejak yang ia tinggalkan, melewati parak durian dan barisan kelapa bagai pengawal sunyi. Semakin jauh dia menyelam, semakin tinggi pohon-pohon kayu menjulang, menjadi pilar-pilar sakral yang dilarang untuk disentuh kapak.
Sesekali, parang di tangannya menyambar akar-akar yang melintang, memutuskan tali-tali halus menghalangi. Serangga-serangga hutan berhamburan, berdesis di dekat telinga, sebuah peringatan samar agar tidak mengusik kerajaan mereka di balik ilalang. Dari atas, suara Siamang bersahutan, ricauannya yang melengking seperti mantra tua yang saling menyambung di antara puncak-pohon menyentuh langit.
Lelah mulai merayap di sekujur tubuh Raga. Pertanyaan yang sama berulang dalam benaknya: Mengapa moyang harus beristirahat di jantung hutan ini? Mengapa pesan Kakek berbisik tentang kehati-hatian? Tatapannya tertuju pada punggung Ibu tak kenal lelah, dan letih pun terpecah oleh semangatnya, terobati oleh bisikan motivasinya, ‘Sebentar lagi, Nak. Kita hampir sampai.’
Akhirnya, mereka tiba di sebuah dataran. Nafas laki laki itu tertahan. Sebuah tanah lapang terbentang bagai mimpi di tengah-tengah belitan hutan. Hamparan hijau padang rumput yang luas, di tengahnya, sekelompok makam berdiam, dipagari oleh tembok usang dan sebuah gerbang bisu.
Sebuah plang nama dengan cat yang telah pudar dimakan zaman terpaku di tembok, menuliskan sesuatu yang hampir hilang: “Makam Tuan ku Haji Rusdi”. Pertanyaan yang tak pernah sempat terucap kembali menggedor: Mengapa moyang tidak dibaringkan di pemakaman suku yang ramai?
“Inilah Makam moyangmu, Raga,” ujar Ibu, pendek dan penuh makna, menggantung di udara terasa lebih berat
\=\=\=
Mereka melangkah memasuki gerbang makam, bagai melintasi sebuah membran tak kasat mata. Udara di dalamnya terasa lebih pekat, lebih diam. Mereka mengambil tempat di samping sebuah makam besar. Nisannya telah lama menyerah pada pelukan lumut dan cengkeraman cuaca, hingga tulisan nama tertinggal samar-samar, terkikis oleh bisikan waktu. Hanya angka 1901 yang masih dapat terbaca, sebuah rentang waktu begitu jauh, mengukir kesendirian yang panjang.
Di sebelah kirinya, dua makam lagi berdiam dalam kesunyian. Mungkin pula mereka adalah leluhur raga, para penjaga rahasia yang namanya hilang ditelan bumi.
Laki laki itu duduk bersila, menengadahkan tangan. Dari bibirnya, meluncur lafaz-lafaz doa—doa selamat, doa pengampunan, dan doa untuk arwah para pendahulu. Sesekali, lirih suara Ibu mengamini, menyambung setiap untaian kata bagai sebuah mantra yang tak terputus.
Angin bukit mulai bangun dari tidur, bermain di atas tanah, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Cuaca berubah dengan cepat, seolah-olah alam sedang menarik napas panjang. Raga mempercepat merampungkan sisa doa yang tertinggal. Begitu selesai, mereka bergegas keluar dari pagar makam itu, mencari perlindungan di bawah naungan pohon Beringin gagah.
Ibu membentangkan tikar kecil dan mengeluarkan piring berisi nasi serta lauk dari kambuik-nya tas terbuat dari pandan dianyam
“Janji Ibu, kita pulang setelah ini?” tanya Raga tegas melihat situasi yang kurang nyaman.
Ibu tidak segera menjawab menyantap makanannya dengan lahap, seolah goreng ikan bilih itu adalah hidangan dari dunia lain.
" Kamu tidak makan, Ga, ," suapannya terhenti, pandangannya beralih, menembus pagar makam menunjuk ke arah batu nisan yang
kelam.
Raga mengangguk mengambil nasi dari rantang kecil, matanya hanya melihat lauk tanpa menyentuh, tidak berselera makan.
“Itu makam moyangmu, Bujang. Apa yang engkau takutkan?” ujarnya, seolah mampu membaca firasat gelisah yang bersarang di dada anaknya.
“Eaha tidak takut, Bu. Raga hanya khawatir kita kemalaman.”
Ibu menyelesaikan suapan terakhirnya dalam diam. Kemudian bangkit melangkah menuju sebuah bandar kecil yang terletak tidak jauh di belakang makam. Awan berarak gelisah, menutup sisa-sisa cahaya senja, menyisakan suasana remang-remang yang mencemaskan.
Binatang-binatang malam mulai muncul satu per satu. Kepak sayap burung yang pulang ke sarang terdengar riuh rendah. Suara jangkrik dan kodok hutan bersahutan, mengisi udara dengan orkestra mereka. Gerombolan tikus tanah mengintip dari balik pohon mati, bagai para penonton yang bernyanyi dalam diam.
“Ayo, Nak. Kita pulang,” ujar Ibu tiba-tiba, menghela tangannya untuk bangkit. Genggamannya terasa hangat, namun ada desakan aneh dalam suaranya, seolah dia bukan hanya meninggalkan tempat ini, tapi juga melarikan diri dari sesuatu yang baru saja terbangun.