NovelToon NovelToon
Senandung Hening Di Lembah Bintang

Senandung Hening Di Lembah Bintang

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Romansa Fantasi
Popularitas:321
Nilai: 5
Nama Author:

Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.

19

Kania meneruskan pekerjaan freelance yang sempat tertunda, deadline nya tinggal beberapa hari lagi. Mau tidak mau, Kania harus menyelesaikan nya sebelum tenggat waktu habis. Akibat harus menunda pekerjaannya, Kania sudah 2 malam ini terus begadang. Kania duduk sendirian di depan laptop-nya. Cahaya layar adalah salah satu penerangannya. Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Meja di sekitarnya penuh dengan draft, sketsa, dan cangkir kopi kosong.

Kania bahkan mengabaikan rasa lapar yang sudah lama ia rasakan. Ia hanya minum air putih dan kopi instan. Kania menggosok pelipisnya. Dingin dari angin mulai menembus jaketnya. Ia menggigil. Ia meraih selimut yang diletakkan di sofa dan melilitkannya di tubuh, tetapi Kania tetap tidak beranjak dari kursi.

Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 04.00 subuh, akhirnya Kania telah berhasil menyelesaikan pekerjaan nya dan siap ia kirim lewat email. Setelah mengirim email, Kania merasakan pusing yang hebat. Akhirnya Kania menutup laptop-nya dan memaksa dirinya berdiri.

Saat berdiri, pandangannya kabur. Kania terhuyung dan harus berpegangan pada meja. Ia menyadari perutnya sangat perih, mungkin asam lambungnya kambuh. Kania berhasil berjalan tertatih-tatih ke tempat tidur. Ia merebahkan diri, tetapi rasa pusing dan demam mulai menjalari tubuhnya. Kania tertidur lelap dengan kondisi tubuh yang sudah lemah.

Sementara itu, Bara sudah tidak bertemu Kania dua hari. Kania memang bilang bahwa dia mau fokus menyelesaikan pekerjaannya, dan meminta tidak di ganggu dulu, karena takut fokusnya malah hilang karena bertemu denganku. Tapi rindu itu berat, Bara, memutuskan pagi ini hanya akan mengantar kopi dan sedikit camilan untuk-nya, melihat Kania walau hanya sekejap.

Bara tiba di rumah Kania. Ia membawa dua cangkir kopi dan beberapa kue manis, untuk menemani Kania bekerja. Bara mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Ia tahu Kania ada di dalam, tapi tetap tidak ada jawaban walau berulangkali Bara sudah mengetuk pintu-nya dengan keras. Dengan cemas—ia membuka pintu—ternyata tidak terkunci.

Bara berjalan ke ruang tengah, berbisik. “Kania? Sayang, kamu di kamar..?”

Bara menemukan laptop yang masih tergeletak terbuka dan sisa pekerjaan yang belum di rapihkan, tetapi tidak ada Kania di ruangan ini. Bara bergegas mengetuk kamar tidur Kania.

“Kania..sayang, kamu di dalam?’’ Bara mengetuk pintu berulang kali dengan keras, tidak ada jawaban. “Apa masih tidur?” Bara mencoba mengetuk bahkan sampai menggedor tapi Kania tidak juga merespon.

Karena takut terjadi apa-apa, Bara membuka pintu kamar Kania. Di dalam, Bara menemukan Kania terbaring di tempat tidur, wajahnya pucat dan keringat dingin sudah membasahi seluruh wajahnya.

Bara cepat mendekat, menyentuh dahi Kania. Panas. “Ya Tuhan, Kania. Kamu demam tinggi.” Ujar Bara cemas.

Mendengar ada suara, Kania terbangun, matanya masih berat.

“Mas Bara?” Tanya Kania lemah.

Bara menghela napas berat. “Kamu demam, Kani. Sekarang apa yang kamu rasa? Sejak kapan merasa tidak enak badan? Kenapa tidak menghubungiku. Kamu begadang dan pasti lupa makan, kan?”

Bara duduk di samping Kania, membelai pipinya yang panas. “Aku tidak suka melihatmu lemah seperti ini.” Bisik Bara.

Bara segera mengambil tindakan. Ia menyelimuti Kania, mengambil kompres air hangat, dan segera menelepon kedai Senja Ranu.

Bara berbicara di telepon, tapi matanya tidak lepas dari Kania. “Ibu, Kania sakit. Bisa tolong buatkan bubur dan membawa obat penurun panas. Demamnya cukup tinggi. Aku akan merawatnya hari ini.”

Bara kembali ke Kania, menyeka keringatnya. Dan menunggu sang Ibu yang akan membawakan-nya obat, Bara tidak mungkin meninggalkan Kania dalam keadaan seperti ini, walau hanya untuk mengambil obat.

Pintu Kamar Kania terbuka. Ibu Wati melangkah masuk dengan tenang, membawa nampan berisi semangkuk bubur ayam hangat dan beberapa obat. Ia segera menuju ke sisi tempat tidur Kania.

Ibu Wati melihat Kania dengan tatapan yang lembut. “Ya ampun, Nak. Kenapa bisa demam tinggi begini.”

Kania mencoba bangun dari tidurnya. “Ibu..Maaf jadi merepotkan.”

Ibu Wati menggeleng, membantu Kania bersandar. “Tidak ada yang direpotkan. Kamu sudah seperti anak Ibu. Makan bubur dulu ya, selagi hangat.”

Ibu Wati dengan penuh perhatian menyuapi Kania beberapa suap bubur, kemudian memberikan obat penurun panas yang tadi di bawa. Lalu, Kania merebahkan dirinya lagi, dengan Ibu Wati yang menjaga Kania. “Tidur lagi dulu, Nak. Semoga setelah ini sudah membaik.” Kania hanya mengangguk lemah, dan mulai memejamkan kembali matanya.

Saat Kania sudah mulai merasa sedikit lebih baik setelah minum obat, Bara masuk kamar dengan wajah tegang. Bara baru saja menerima telepon penting.

Bara menghadap Ibu Wati. “Bu, saya harus pergi. Ada sedikit masalah di perkebunan kopi di sebelah Barat. Hama penyerang lagi, saya harus segera mengkoordinir penyemprotan. Kalau di tunda, bisa gagal panen.”

Ibu mengangguk paham. “Pergilah, Nak. Itu tanggung jawabmu. Kania aman bersama Ibu. Ibu akan menjaganya sampai kamu kembali.”

Bara menatap Kania dengan rasa bersalah. Meninggalkan Kania yang sedang sakit, dan juga merepotkan sang Ibu untuk menjaga Kania.

“Kani, maaf, aku pergi sebentar. Kamu sama Ibu dulu di sini, tidak papa, kan?” Tanya Bara sambil mengelus rambut Kania yang berantakan.

‘’Gapapa, mas. Aku baik-baik saja di sini bersama Ibu.” Kania memegang tangan Bara.

Bara lalu mencium kening Kania. “Aku akan segera kembali, Kani. Habiskan buburmu, jangan pegang ponsel, dan istirahat saja.”

Bara kemudian berpamitan pada Ibu, lalu bergegas pergi, hatinya terbagi antara Kania dan tanggung jawabnya pada perkebunan.

Setelah Bara pergi, Ibu Wati duduk di samping Kania. Mengusap pipi Kania dengan sayang. “Bara pasti segera kembali jika urusan nya telah usai. Dengarkan Bara, Nak. Istirahat, minum obat dan makan yang banyak. Dan, ingat sayang, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.”

Kania mengangguk. “Iya, Bu. Maaf membuat Ibu dan mas Bara khawatir.” Sesal Kania.

“Tidak ada yang perlu di maafkan, asal jangan di ulangi lagi.”

Kania mengangguk dan kembali memejamkan matanya, efek obat yang barusan ia minum sepertinya sudah mulai bekerja. Kania sudah masuk ke alam mimpi.

Sepanjang pagi, Ibu Wati dengan telaten menjaga Kania. Sore harinya Kania sudah merasa jauh lebih baik, demamnya sudah mulai turun. Lalu, terdengar suara ketukan di pintu depan. Ibu Wati membukakan pintu, lalu kembali ke kamar Kania sudah bersama Dini. Dini tersenyum melihat Kania yang sudah bisa duduk bersandar, dan wajahnya sudah tidak pucat lagi.

Dini melirik Ibu Wati. “Bu, biar saya yang jaga mbak Kania. Ibu istirahat saja, pasti Bapak sebentar lagi kembali dari kebun.”

“Benar kata Dini, Bu. Saya sudah jauh lebih baik, terima kasih ya, Bu. Sudah menemani dan merawat saya.”

“Jangan sungkan sayang, kamu sudah seperti anak Ibu sendiri. Baiklah, Ibu pulang dulu ya, Bapak biasanya minta camilan dan teh kalau pulang dari kebun.”

“Iya, Bu. Hati-hati ya.” Kata Kania dan Dini bersamaan.

Ibu Wati mencium kening Kania. “Cepat sembuh ya, Nak.” Dan Ibu Wati pergi, meninggalkan Dini dan Kania.

Dini segera duduk di kursi samping Kania, menyilangkan kaki, dan mulai membuka tasnya, dan mengeluarkan sebuah buku. “Aku membawa beberapa buku novel yang kudapat dari Mbak Tina di warung. Ini untuk mbak Kania baca biar tidak bosan. Dan beberapa hari ke depan, jangan mengurusi kerjaan dulu. Fokus penyembuhan dulu.”

Kania tersenyum merasa di sayangi oleh Dini.

“Aaaaaa..Dini..terharuuu..”

“Iihhh..mbak Kania, biasa aja kali..” mereka berdua tertawa bersama.

“Din, kalau aku ke kota, kamu mau ikut gak?”

“Emang boleh, mbak?”

“Boleh dong, kita kesana sebentar aja, Din. Nanti aku ajak kamu ke Mall terbesar di sana. Aku traktir kamu makan sepuasnya dan yang kamu mau.”

Mata Dini berbinar senang. “Mau mbak, beneran ya mbak.” Kania mengangguk melihat Dini yang antusias. “Yess..Awas ya mbak, tak tagih janji nya.”

“Iyaa, nanti kamu mau kemana aja aku anterin, mau makan apa aja aku traktir, nanti kita me time, ke salon or nonton bioskop. Aku ajak juga ke kantor lama-ku, aku kangen sama Maya.”

“Itu sahabat mbak Kania ya.”

Kania mengangguk. “Sahabat baik. Tenang aja dia sama baiknya kok kayak aku.”

“Diihhh..mbak Kania mah jutek, tapi kalau kenal lebih dekat mbak Kania itu baik, tulus, cuma casing nya aja yang galak.’’

Malam sudah mulai larut. Dini masih menemani Kania. Mereka sedang menonton televisi di ruang depan ketika Bara tiba. Ketukan keras terdengar dari pintu depan. Dini yang membukanya. Bara berdiri di luar, wajahnya terlihat lelah karena seharian mengharuskannya berada di kebun, mengecek hama yang menyebar.

Dini menghela napas, simpati melihat penampilan Bara yang kuyu. “Ya ampun, mas Bara, kamu kalau capek jangan memaksakan ke sini, pasti mbak Kania tidak suka melihatmu seperti ini. Tapi, masuklah, mas.”

Dengan suara yang terdengar lelah. “Kania bagaimana? Sudah baikan?”

“Alhamdulillah mas, demamnya sudah turun dari sore, tapi makan nya sedikit, tadi baru sesuap sudah mual lagi.”

Bara melangkah masuk. Ia segera menuju sofa, melihat Kania yang terbaring di sofa, sedang menonton tivi. Bara melihat wajahnya tidak sepucat tadi pagi, tetapi Bara tahu Kania masih lemah.

“Mas Bara..”

Kania melihat wajah Bara yang tampak lelah, bajunya sudah kusut, dan kotor. “Maaf, aku baru bisa datang semalam ini. Bagaimana perasaanmu, sekarang? Aku khawatir sekali, seharian ini tidak fokus.”

“Aku jauh lebih baik, mas. Seharusnya aku yang khawatir padamu mas, kamu terlihat sangat lelah sekali.”

“Istirahat ya di kamar, kenapa malah di sini, tidak pakai selimut pula.” Kata Bara dengan lembut.

“Tadi nonton sinetron sama Dini.”

“Seru sinetron nya?”

“Besok-besok aku mau pasang wifi biar bisa nonton netflix sama Dini.”

“Iya kalau sudah sembuh kita pasang ya.”

Dini yang memahami momen pasangan itu, meraih tasnya, membereskan buku novelnya. “Baiklah, sekarang gantian shift ya.” Canda Dini. “Tapi, ingat mas Bara jangan macam-macam, mbak Kania nya masih sakit. “

“DINI..!” Seru Kania memerah malu.

“Makasih Din, besok ku kasih kopi gratis.”

“Yeaayyy.. Makasih mas Bara, byeee..” pamit Dini, dan langsung bergerak menuju pintu depan, meninggalkan Bara dan Kania dalam keheningan yang damai.

Bara memeluk Kania sebentar, pelukan yang di butuhkan Bara karena sudah lelah seharian ini. Kania balas memeluk erat tubuh Bara.

“Mas sudah makan?”

“Sudah, sayang. Kamu kata Dini cuma makan sedikit ya?”

“Masih mual, mas. Gapapa, kan. Aku makan sedikit saja? Aku sudah minum obat kok.”

“Gapapa, yang penting kamu makan dan minum obatnya. Sekarang masuk kamar ya, tidur.”

“Iya mas.”

Bara menggendong Kania memasuki kamar tidur nya. Menaruh tubuh Kania ke ranjang dengan lembut. Menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal.

“Setelah kamu tidur, mas pulang ya. Besok pagi, mas ke sini lagi.”

“Iya mas, selamat malam.”

“Malam, Kania.” Kemudian Bara mencium kening Kania dengan sayang.

1
Yuri/Yuriko
Aku merasa terseret ke dalam cerita ini, tak bisa berhenti membaca.
My little Kibo: Terima kasih kak sudah menikmati cerita ini 🙏
total 1 replies
Starling04
Membuatku terhanyut.
My little Kibo: Terima kasih kak 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!