Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 31
Arlen menutup pintu kecil di pojok ruangan, tapi matanya tidak lepas dari rak-rak yang penuh dokumen.
> “Oke… mari kita lihat satu per satu. Kita harus tahu siapa kita, siapa mereka, dan apa yang pernah terjadi.”
Najla membuka salah satu dokumen tipis yang tampak rapuh. Tulisan tangan di atasnya hampir pudar:
"Tanggal 12 Juli, 1985. Keputusan dibuat. Yang tahu, simpan. Yang tidak, jangan pernah mencari."
Kaelan menatap dokumen itu, raut wajahnya tegang:
> “1985… itu sebelum kita lahir. Tapi kenapa ini masih ada? Kenapa sengaja ditinggalkan?”
Darren menggeser satu kotak logam kecil. Di dalamnya ada gulungan foto hitam-putih—seorang pria dan wanita, berdiri di depan rumah tua yang sama dengan rumah mereka sekarang. Wajah mereka tampak tegang, tapi ada aura ketenangan aneh.
Kenzi mengangkat satu medali perak kecil, berukir lambang keluarga:
> “Ini… sepertinya simbol yang selalu ada di setiap generasi. Tapi kenapa… medali ini disembunyikan?”
Najla menarik napas dalam-dalam, menatap pita kain merah kecil yang terselip di antara dokumen:
> “Setiap benda… kayak pesan. Tapi untuk siapa?”
Arlen menatap mereka satu per satu:
> “Untuk kita. Semua ini… sengaja ditinggalkan agar kita ngerti sejarah keluarga. Tapi ada yang lebih gelap.”
Ia membuka dokumen terakhir, yang paling tebal dan tampak paling penting. Mata Arlen menyipit saat membaca beberapa baris:
"Beberapa anggota keluarga tidak pernah benar-benar mati. Mereka… disembunyikan, dipindahkan, dan diamati. Tujuannya: menjaga rahasia besar, yang jika terbuka, akan menghancurkan nama keluarga."
Darren menarik napas berat:
> “Jadi… beberapa orang yang kita pikir hilang… sebenarnya masih hidup?”
Najla menelan ludah, suaranya pelan:
> “Dan mereka… diamati kita sekarang?”
Arlen menunduk, menutup dokumen perlahan:
> “Bisa jadi. Kita bukan hanya menghadapi bayangan masa lalu… tapi mungkin juga orang-orang yang masih hidup dan punya agenda sendiri.”
Kenzi menatap foto-foto lama:
> “Ini berarti… semua trauma kita dulu, semua rahasia keluarga… bukan cuma cerita lama. Itu bagian dari permainan yang masih berlangsung.”
Kaelan menggenggam salah satu kotak logam, wajahnya tegang tapi penuh tekad:
> “Kalau begitu, kita harus siap. Mental, strategi, dan informasi. Kita harus tahu siapa yang diamati kita, dan siapa yang sebenarnya musuh.”
Najla mengangguk, menatap timnya:
> “Dan kali ini… kita hadapi semuanya bareng-bareng. Bukan lagi anak-anak takut di rumah lama. Kita tim sekarang.”
Arlen menyalakan lampu senter ke seluruh rak lagi, menyinari dokumen dan benda-benda bersejarah:
> “Setiap bukti, setiap foto, setiap medali… sekarang milik kita untuk dimengerti. Dan dari sini, kita mulai menulis bab baru. Bab di mana kita tidak lagi hanya jadi penonton.”
Darren tersenyum tipis, tapi matanya tetap waspada:
> “Dan kalau ada yang mencoba menghalangi kita… mereka akan tahu, tim ini bukan anak-anak lagi.”
Najla tersenyum, menatap semua orang:
> “Kita mungkin tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa mengendalikan masa depan.”
Arlen menaruh dokumen-dokumen itu di atas meja kerja. Matanya menatap timnya satu per satu:
> “Oke, kita udah tahu beberapa hal. Ada yang masih hidup, ada yang ngawas kita… dan beberapa keputusan keluarga sengaja disembunyikan supaya kita tetap ‘aman’. Sekarang… kita harus tahu siapa yang masih main di papan ini.”
Najla mencondongkan badan ke depan, jari-jari masih gemetar:
> “Bang… maksud lo… mereka yang diamati kita… itu keluarga juga?”
Darren mengangguk pelan:
> “Gue pikir iya. Tapi bukan semua. Ada beberapa yang punya agenda sendiri. Mereka nggak peduli sama trauma atau sejarah keluarga. Mereka cuma peduli siapa yang bertahan.”
Kenzi menatap foto-foto lama lagi. Bibirnya bergetar sedikit:
> “Dan semua ini… termasuk kita yang masih hidup sekarang… jadi bagian dari ‘siklus’ mereka. Dari masa lalu ke masa sekarang.”
Kaelan menaruh satu kotak logam di meja, membuka perlahan. Di dalamnya ada gulungan kertas tebal, diikat pita merah:
> “Ini… semacam peta. Rumah lama, gedung, jalur rahasia… kayak mereka mau kita telusuri.”
Arlen menarik napas panjang:
> “Bukan telusuri aja. Kita harus siap. Ada orang yang akan menunggu kita, mengamati setiap langkah. Dan yang bikin ini lebih rumit… beberapa dari mereka… mungkin masih keluarga sendiri.”
Najla menatap Arlen, suaranya lirih:
> “Bang… kita harus mulai dari mana?”
Arlen menunduk, menatap rak-rak penuh rahasia keluarga:
> “Kita mulai dari rumah sendiri. Dari jalur rahasia yang mereka tinggalkan. Dari dokumen, benda, dan simbol yang mereka gunakan. Semua itu bukan cuma cerita masa lalu… itu alat, petunjuk, dan jebakan sekaligus.”
Darren menatap foto-foto lama:
> “Jadi… kalau kita salah langkah, kita bisa jatuh sama seperti mereka?”
Arlen mengangguk pelan:
> “Ya. Tapi kalau kita paham pola mereka… kita bisa balikkan permainan ini. Dan yang paling penting… kita lakukan bareng-bareng.”
Kenzi menyeringai tipis, tapi tegang:
> “Jadi… kita kayak main catur dengan orang-orang yang udah nge-set papan bertahun-tahun sebelum kita lahir?”
Najla tersenyum kecil:
> “Dan kali ini… pion-pion mereka bakal kita balikin jadi raja.”
Kaelan menutup kotak logam, menatap semua:
> “Kita harus inventarisasi semua bukti, semua simbol, semua jalur. Dan mulai pecahkan teka-teki yang mereka tinggalkan. Kalau kita bisa paham… kita bisa lindungi diri, dan… mungkin keluarga kita juga.”
Arlen menyalakan lampu ruangan sepenuhnya, menyinari semua dokumen, foto, dan benda lama:
> “Ini bukan lagi soal takut atau trauma. Ini soal bertahan, memahami, dan menulis sejarah kita sendiri. Siapa yang bisa lihat kita, siapa yang akan mencoba menghalangi… itu urusan nanti. Yang penting sekarang: kita sudah berdiri di papan, dan kita mulai gerak.”
Najla menatap teman-temannya:
> “Dan kali ini… kita nggak sendirian. Kita tim.”
Darren menepuk bahu Arlen:
> “Tim paling berantakan tapi paling solid di blok ini.”
Kenzi tertawa lirih:
> “Berantakan itu aset kita. Karena yang ngawas kita… gak bisa prediksi.”
Arlen tersenyum tipis:
> “Oke. Strategi pertama: peta rahasia rumah, jalur tersembunyi, simbol, dan semua petunjuk. Kita pecahkan dulu. Kalau sudah siap… kita mulai bergerak.”
Najla menatap kotak berisi pita merah dan dokumen tipis:
> “Kita mulai dari sini… rumah kita, masa lalu kita, dan bayangan yang selalu mengintai.”
Kaelan menambahkan:
> “Dan kali ini… bayangan itu bakal tahu, kita bukan anak-anak lagi.”
Mereka mengangguk serempak.
Perjalanan untuk mengungkap rahasia terbesar keluarga baru saja dimulai.