Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bantuan
Langit perlahan mulai berganti warna. Jingga memudar menjadi kelam. Kabut tipis menyelimuti desa Manguntirto yang masih bergetar oleh suara senjata, panah, dan teriakan siang tadi. Tak ada pertempuran malam itu—bukan karena gencatan senjata dan tercapai kesepakatan damai, melainkan karena kedua belah pihak kehabisan cara.
Di sudut-sudut ladang dan pinggiran rumah, para pemuda desa merawat luka mereka. Suara rintihan bercampur doa, tapi tidak ada yang menangis. Tak ada air mata—hanya tekad yang membeku bersama embun malam.
Para Ibu-ibu dan wanita menyiapkan makanan yang bisa mereka sediakan seadanya.
***
Shantand duduk diam di dekat bara unggun. Tangan kirinya membalut luka anak kecil, sementara tangan kanannya memegang Butiran tahu pemberian Gurunya Bhaskara yang ia sisihkan siang tadi. Ketika butiran kecil itu ia teteskan ke luka si bocah, tubuhnya merespons—menghangat cepat, lalu tenang seperti air danau pagi.
“Kau... benar-benar punya karunia aneh, Nak,” gumam seorang ibu yang melihat keajaiban itu.
Shantand hanya tersenyum, namun matanya masih terus menatap arah barat. Ke tempat musuh bertahan. Mereka belum menyerah.
Dan dia menguatkan hatinya karena kabar kedua orang tuanya belum jelas rimbanya. Namun Bude Patmi memberikan harapan baru bagi Shantand ketika dia mengabarkan bahwa kedua orang tuanya sedang berkunjung ke Neneknya yang berada di Luar desa ketika penyerangan terjadi, itu artinya mereka dalam keadaan selamat.
Seandainya saja Shantand tahu bahwa setelah Bude Patmi mengabarkan berita tentang orang tuanya, setitik air mata turun ke pipi tuanya.
Sebagai orang tua yang berpengalaman Bude Patmi sadar bahwa saat itu ketenangan Shantand sangat dibutuhkan bagi penduduk Manguntirto.
Dan Bhaskara dapat merasakan gelombang kesedihan itu meski di dalam labu tuak!
Namun dia membenarkan tindakan Bude Patmi yang faham akan situasi saat itu.
Namun Shantand sudah mulai sibuk memeriksa segala sesuatu nya memastikan semua keadaan aman, sehingga dia tidak tahu hal itu.
Sementara itu Bhaskara di dalam labu tuaknya mulai menyusun rencana yang nantinya bakal membuat heboh di kalangan musuh. Sebagai Pendekar nomer satu di Zamannya, peperangan seperti ini sebenarnya adalah hal mudah baginya - karena pengalamannya dalam pertempuran dan peperangan semacam ini sudah puluhan kali di alaminya.
Namun dengan kondisinya saat ini yang hanya berwujud Tahu, jelas tidak memungkinkan untuk bertindak seperti dulu. Dia bersyukur dapat memiliki murid yang cepat mengerti seperti Shantand.
***
Di balik bukit, di markas para penjajah, John Blitix dan komandan-komandannya berkumpul.
Peta Manguntirto terbentang lebar. Mereka berbicara dalam bahasa asing. Taktik. Tekanan. Intrik.
“Kita serang dari dua sisi esok pagi. Paksa mereka menyerah sebelum bala bantuan datang,” ucap Blitix
“Jika mereka bertahan malam ini, mereka akan tumbuh jadi api.”
Ia tak tahu, api perlawanan itu sudah mulai menyala.
***
Beberapa mil dari desa Manguntirto...
Langit malam menggantung sunyi di atas lembah selatan. Bintang-bintang bagai diam dalam doa panjang, seolah tahu bahwa sesuatu yang besar sedang menunggu fajar.
Di atas sebuah bukit kecil berumput lebat, Pak Lanselod Suroso duduk tegak di atas punggung kudanya yang hitam legam. Angin berhembus lembut, menyibak ujung jubah lusuh yang dulu pernah ia kenakan di medan tempur puluhan kali. Selama ini, ia seorang pedagang tahu yang rendah hati. Tapi malam itu... aura sebagai seorang bekas komandan Garudha telah kembali padanya.
"Manguntirto..." gumamnya lirih, menatap arah utara yang jauh di balik kabut malam.
"Aku tak menyangka tanah damai itu akan menjadi medan perang."
Sebelumnya, ia hanya berniat sederhana—berkunjung menemui Shantand, pemuda penuh ide yang ingin diajaknya mengembangkan usaha tahu khas Shantand ke kota-kota kerajaan. Tapi semua rencana damai itu buyar ketika seorang kurir datang tergopoh membawa kabar:
“Pak Lanselod, desa tempat tinggal Shantand... diserbu pasukan asing! Banyak penduduk terluka. Ada yang bilang, para penjajah mulai membuat aturan sendiri dan menguasai semua wilayah desa !”
Saat mendengar kabar itu, wajah Lanselod seketika berubah. Matanya yang teduh menjadi tajam, napasnya tertahan dalam-dalam. Dahulu ia pernah bersumpah tak akan kembali memimpin pasukan setelah pensiun. Namun bagi Lanselod, pengkhianatan terhadap rakyat adalah panggilan jiwa yang tak bisa diabaikan.
Beberapa jam kemudian, ia berdiri di hadapan para petinggi kerajaan, membentangkan laporan singkat namun padat:
“Penjajah telah menyusup melalui dalih bantuan, mendirikan markas, dan mulai membuat aturan di luar kendali kerajaan. Mereka bukan sekadar pedagang asing. Ini adalah pengambilalihan terencana dan bisa mengancam kedaulatan Kerajaan.”
Para tetua dan panglima sempat berbisik-bisik. Tapi nama Lanselod masih memiliki kepercayaan tinggi di kalangan. Ia bukan hanya mantan prajurit. Ia adalah eks-Komandan Pasukan Elit Garuda, satu dari sedikit tokoh yang pernah mempertahankan dua kota besar dalam peperangan besar tiga dekade lalu.
Maka malam itu juga, perintah resmi dikeluarkan.
“Atas nama keamanan kerajaan dan integritas wilayah Manguntirto, kami menunjuk Lanselod Suroso untuk memimpin misi perlindungan dengan kekuatan seratus pasukan inti Garuda.”
Angin malam mengibarkan jubah tuanya yang lusuh, tapi dada pria itu tetap tegak. Di belakangnya, 100 prajurit berkuda dari kerajaan sudah bersiap, membawa panji-panji merah darah bertuliskan lambang Garudha Bhumi.
“Kalian semua tahu, desa yang akan kita bantu adalah tanah leluhur yang dulu kalian tinggalkan untuk kota. Hari ini, kita kembali bukan untuk bernostalgia—tetapi untuk menegakkan kehormatan sebagai bangsa yang berdaulat.”
Prajurit di barisan terdepan mengangguk, menegakkan tombak mereka.
“Mereka menganggap rakyat kecil tak punya harga diri. Tapi malam ini, kita tunjukkan bahwa... Manguntirto bukanlah daerah yang bisa mereka permainkan!”
Lanselod Suroso mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
“Bersiap! Kita jalan sebelum fajar. Api kita harus lebih dulu sampai sebelum cahaya matahari datang!”
Seratus prajurit berkuda berdiri membentuk formasi bulan sabit di belakang Lanselod. Mereka adalah pasukan pilihan, diam tapi mematikan. Setiap wajah mereka membawa kenangan pertempuran, namun malam ini mereka bukan prajurit untuk perang luar negeri—mereka adalah Garuda yang pulang menjaga sarangnya.
“Kita tidak datang untuk pamer senjata,” ucap Lanselod lantang, suaranya menghentikan semua bisik.
“Kita datang untuk menunjukkan... bahwa sejengkal tanah dan sepercik darah tak bisa dibeli dengan marmer asing dan senyum palsu!”
Seratus tangan menepuk dada. Seratus wajah menatap utara.
“Kita berangkat sebelum fajar menyingsing,” ucapnya lagi. “Bukan demi kejayaan, tapi demi mereka yang hari ini memilih melawan meski tak tahu cara berperang!”
Lalu ia menarik nafas, menatap kuda kesayangannya dan berkata pelan,
“Tunggu aku, Shantand... Garuda sedang terbang menuju ke sana.”
***
Sementara itu di Manguntirto...
Shantand berdiri di atas batu tua. Ia memandangi siluet sawah dan rumah yang gelap. Penduduk desa berkumpul di bawah, membawa lentera, kayu, bahkan alat dapur sebagai senjata.
“Hari ini kita berdarah. Tapi malam ini kita belajar... bahwa dengan bersatu kita akan mampu melawan siapapun yang akan berusaha mengambil alih tanah kelahiran kita ini! ”
Ia menatap mereka satu per satu.
“Dan besok, kita rebut kembali tanah ini—bukan hanya dengan amarah dan kekuatan, tapi dengan harga diri dan kehormatan yang harus kita perjuangkan.”
Malam itu, langit Manguntirto tak lagi sepi.
Karena di kejauhan... dentang langkah kaki kuda mulai terdengar.
***
Seorang anak kecil menunjuk ke arah selatan.
“Ibu... lihat! Ada cahaya obor... Banyak! Mereka datang!”
Dan malam yang sunyi itu, akhirnya punya lagu:
Dentum berjuta harapan yang datang dalam irama langkah seratus prajurit.