Sebuah rumah besar nan megah berdiri kokoh di tengah pedesaan yang jauh dari perkotaan. Rumah yang terlihat megah itu sebenarnya menyimpan banyak misteri. Rumah yang dikira biasa, nyatanya malah dihuni oleh ribuan makhluk halus.
Tidak ada yang tahu tentang misteri rumah megah itu, hingga satu keluarga pindah ke rumah tersebut. Lalu, mampukah mereka keluar dengan selamat dari rumah tempat Iblis bersemayam itu? Ikuti perjalanan mistis Bachtiar Purnomo bersama keluarganya!k
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 34
Bi Iren memindahkan kain putih yang tadi berada di atas meja.
Betapa terkejutnya mereka saat melihat apa yang ada di balik kain putih itu.
Mayat...
Itu adalah mayat bu Arum, tampak dari remangnya cahaya lampu dalam gubuk tersebut mayat yang masih utuh itu dipenuhi dengan kembang kantil dan melati di sekelilingnya.
Apa yang dilakukan bi Iren sekarang adalah cara untuk membangkitkan kembali jasad bu Arum. Ia memanggil sosok kegelapan untuk bersemayam dalam jasad tersebut, namun semua tidak berjalan sesuai rencananya.
Dia tidak bisa datang kalau tidak ada pewarisnya, tapi bi Iren tidak akan menyerah, dia akan tetap berusaha.
Jika berhasil membangkitkan bu Arum, maka cucunya akan terbebas dari menjadi tumbal selanjutnya.
"Bu Arum, saya sudah melakukan perintah terakhir Ibu. Saya mohon untuk kali ini, tolong selamatkan cucu saya, jangan jadikan dia tumbal dari perjanjian kita dulu," ucap bi Iren.
"Kak, nyawa kamu dipertaruhkan." Bella menatap Rendra yang saat itu tampak berkaca-kaca.
"Aku masih tidak mengerti, Bell," lirih Rendra.
"Tinggal sebentar lagi, kita hanya perlu menunggu bulan purnama, kalau Sisi dan Andini tidak kembali sebelum malam itu tiba. Salah satu dari mereka akan menggantikannya, karena sekarang sukma Bella telah dikembalikan. Rasanya Mulan tidak akan mencelakai mereka, saya harus bertindak cepat," gumam bi Iren.
Wanita tua itu tidak sadar kalau Rendra dan Bella tengah mendengar apa yang dikatakannya.
Mereka melihat segalanya, segala apa yang dilakukan oleh bi Iren.
***
Di desa karang, keluarganya Sisi sedang dipermainkan oleh Iblis penghuni rumah kediaman keluarganya, sedangkan dia di desa winara, saat ini sedang sibuk mengatur waktu untuk keluar dari desa tersebut.
Sisi sudah menjelaskan kepada pak Aji dan bu Santi, kalau dia sebenarnya adalah keturunan dari suaminya nyi Sukma.
Sedangkan Anggi, gadis itu adalah anak dari Mulan, wanita yang dijadikan tumbal oleh neneknya.
"Gi, aku tahu kalau kamu pasti sangat benci sama aku. Aku enggak masalah kalau kamu mau benci aku, tapi tolong .... Tolong ikut kita kembali, kamu harus bisa bersama dengan ayah kandungmu. Ini semua adalah permintaan ibu kamu," ucap Sisi, dia mencoba untuk membujuk Anggi.
"Ta-tapi, aku masih ingin di sini. Aku tidak kenal siapa pun di sana, Mbak. Aku enggak mau jauh-jauh dari ibu dan bapak." Anggi memeluk ibunya. Dari bayi dia sudah tinggal dan dirawat oleh bu Santi, mengira bahwa mereka adalah orangtua kandungannya. Lagian, bu Santi dan pak Aji juga sudah menganggap Anggi sebagai anak kandung mereka, sulit jika harus berpisah.
Anggi begitu erat memeluk ibunya.
Bu Santi mulai melepaskan lingkaran tangan Anggi yang melingkar di tubuhnya. "Kembalilah, Nak! Temui ayah kandung kamu, tempat ini juga tidak lagi aman untuk kamu," ucap bu Santi.
"Ibu kamu benar, Gi. Setelah kejadian tadi pagi, tidak mungkin pak Danang melepaskan kita begitu saja, semua warga sudah memandangnya sebelah mata, dan tidak ada lagi yang mau tunduk serta patuh pada aturannya. Namun, meskipun begitu, pak Danang tetaplah orang yang tidak akan menerima kekalahan dengan lapang dada, Anggi."
Anggi menghapus air matanya yang masih saja keluar. "Bapak, Ibu. Kalian berdua adalah orang yang sudah merawat aku dari kecil, mana mungkin aku bisa pergi begitu saja. Kalau pun aku pergi, kalian juga harus ikut," ucap Anggi.
Andini menarik tangan Sisi, dia mengajak Sisi untuk memisahkan diri dari mereka sebentar. Ada hal yang ingin dia katakan.
"Kita harus berangkat malam ini," ucap Andini.
"Gila! Malem-malem?"
"Yes, ini cara terbaik. Kita selamatkan Anggi, pertemukan dia dengan ayahnya, setelah itu tugas kita selesai."
"Sukma Bella sudah dikembalikan, apa lo enggak ngerasa sia-sia datang ke sini?" tanya Sisi.
"Sia-sia? Gue malah ngerasa kalau keputusan kita untuk datang ke sini, itu adalah keputusan yang tepat. Sisi, gue bisa ngelihat kalau salah satu dari keturunan nyi Sukma ada di sini. Siapa tahu dia bisa membuat keluarga lo bebas dari jerat Iblis itu, kalian bisa keluar dari sana tanpa ada rintangan apa pun." Andini meyakinkan temannya.
"Maksud lo, anak dari kakek gue ada di sini juga?" tanya Sisi memastikan.
"Iya, dan kita harus menemukan dia!"
Sisi bingung dengan omongan Andini yang dirasa berubah-ubah. Tadi Andini mengajaknya untuk segera pergi dari desa itu malam ini juga, dan sekarang malah mengatakan kalau mereka harus secepatnya menemukan salah satu keturunan Purnomo.
"Kenapa? Wajahnya kayak bingung gitu?"
"Jelas dong, gimana mungkin aku enggak bingung? Kamu ngajak aku untuk pergi malam ini, tapi di saat yang sama, kamu juga pengen kita untuk secepatnya menemukan pewaris kakek."
Andini tersenyum, ia berjalan menuju ruang tengah tempat Anggi dan keluarganya duduk. Dia pergi dan meninggalkan Sisi yang terus bertanya-tanya.
"Kalian habis dari mana?"
"Habis dari depan, Pak." Andini duduk lagi di dekat Anggi.
"Andini, Sisi. Kami setuju kalau kalian bawa pergi Anggi dari desa ini, perasaan saya mulai tidak enak, takutnya pak Danang telah menyiapkan seribu cara untuk melenyapkan keluarga saya. Kematian Andi, saya juga ikut terlibat di dalamnya, kalau warga di sini tidak mendengar arahan saya, sampai sekarang Andi pasti masih hidup." Pak Danang dengan berat hati mau melepaskan putri tercintanya.
Bu Santi terisak, ia teringat bagaimana bahagianya saat menemukan Anggi pertama kali di dekat hutan itu.
"Saya sangat bahagia, karena selama dua puluh lima tahun menikah, saya dan Bapak tidak punya anak. Kehadiran Anggi menjadi penawar rasa rindu kami terhadap tangis dan tawanya anak kecil, rumah jadi lebih rame sejak Anggi ada." Bu Santi menatap Anggi penuh kasih, ia belai lembut wajah putri kecilnya yang kini telah beranjak dewasa.
Sisi dan Andini juga merasakan kesedihan yang sama, suasana berselimut haru untuk sesaat. Hingga ketukan dan panggilan dari luar membuyarkan semuanya.
"Assalamu'alaikum! Pak Aji!"
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumussalam," jawab pak Aji. Beliau dan bu Santi segera keluar, sedangkan Anggi, Sisi, dan Andini. Mereka bertiga tetap berada di dalam.
Di luar, Ijal lagi-lagi membawa kabar buruk.
"Dimas sudah disekap oleh anak buahnya pak Danang, Pak," ucap Ijal.
"Kurang ajar! Dia berani berbuat seperti itu, saya tahu apa tujuannya." Pak Aji sekilas melihat ke arah sang istri.
Bu Santi menggeleng kuat. "Jangan, Pak. Bapak enggak boleh ikut campur soal Dimas."
"Bu, aku tahu ini sangat berisiko. Kamu tahu sendiri gimana si Danang itu kan? Dia akan melakukan segala cara untuk membuat lawannya kalah, dia tahu kalau aku akan menjaga setiap orang asing yang masuk ke desa kita, dia menyekap Dimas karena ingin aku berurusan dengannya. Dengan begitu, dia akan memiliki alasan untuk melenyapkan aku," tutur Pak Aji.
"Bapak tahu ini tujuannya, jadi Bapak tidak boleh ikut campur, kita pura-pura tidak tahu saja, Pak."
Istrinya tidak setuju, Sisi dan Andini keluar, mereka sudah mendengar semua pembicaraan pak Aji dan bu Santi.
"Apa Dimas itu orang kota? Sama seperti kami?" tanya Sisi.
"Betul sekali, sudah dua bulan dia di sini, selama itu pula dia tinggal di rumah singgahnya pak Danang, pak Danang tidak memberi kesempatan untuk dia pergi dari desa ini, entah apa alasannya."
Sisi menatap Andini dengan pandangan yang sulit diartikan.
Andini menyipitkan matanya, berusaha mencari tahu apa yang ada di pikiran Sisi.
"Ada yang tidak beres, Din."
"Gue juga ngerasa begitu, Sisi.
Malam ini, keduanya sepakat untuk menyelamatkan Dimas, Ijal mengatakan kepada mereka kalau Dimas dikurung di dalam gudang padi.