naya menbeci atasan nya yang bernama raka tapi berujung jadi jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arsifa nur zahra u, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35 * tanda - tanda yang menggetarkan *
Pagi itu, matahari belum terlalu tinggi saat Naya terbangun dari tidurnya. Raka masih terlelap di sebelahnya lengannya melingkar santai di pinggang Naya, nafasnya tenang. Tapi Naya tidak bisa merasakan hal yang sama. Ada rasa tidak enak di perutnya mual halus. Tidak seperti biasanya.
Ia duduk perlahan, memegangi perutnya. “Jangan-jangan aku masuk angin,” gumamnya. Tapi rasa tidak nyaman itu tetap di sana.
Beberapa menit berlalu. Ia bangkit pelan dari ranjang dan masuk ke kamar mandi, membasuh wajahnya yang pucat. Lalu dia melihat kalender yang digantung di belakang pintu dadanya langsung mencelos.
Sudah lewat lima hari.
Biasanya ia cukup teratur , Naya menggigit bibir bawahnya . Pikiran-pikiran liar mulai berkelebat di benaknya ia memang belum sempat beli alat tes karena terlalu sibuk dan terus menunda. Tapi sekarang... apa ini waktu yang tepat untuk panik?
Ia melirik cermin dan membisik pada dirinya sendiri, “Tenang, Nay. Jangan mikir aneh-aneh dulu.”
Saat Raka bangun, ia menemukan Naya duduk di sofa ruang tamu sambil memeluk bantal , wajahnya pucat dan matanya tampak kosong.
“Sayang, kamu kenapa?” tanya Raka sambil berjalan mendekat, menyentuh bahu Naya.
Naya menoleh, mencoba tersenyum. “Cuma pusing dikit.”
“Udah sarapan?” tanyanya lagi.
Naya menggeleng. “Nggak laper.”
Raka langsung mengernyit , Naya yang nggak lapar itu bukan hal biasa. Biasanya perempuan itu bangun langsung nyari kopi dan roti panggang , raka langsung tahu ada yang nggak beres.
“Nay, kamu sakit?”
Naya diam. Ia hampir menjawab, tapi bibirnya kelu. Bagaimana kalau ini hanya karena kecapekan? Tapi... bagaimana kalau memang tidak?
Akhirnya, Naya berdiri pelan dan memandang Raka. “Aku mau ke apotek .”
Raka makin bingung. “Beli apa?”
“Alat tes kehamilan,” jawabnya cepat, lalu buru-buru berjalan ke kamar, meninggalkan Raka yang berdiri membeku di ruang tamu.
Detik itu juga, dunia Raka seperti berhenti sebentar.
*
Naya melangkah cepat menuju apotek di seberang jalan apartemen. Sepanjang perjalanan, dia memeluk jaketnya erat-erat meski udara tidak begitu dingin. Setiap langkah terasa berat, seakan tiap detiknya menambah beban yang belum sanggup ia hadapi. Ia membeli test pack tanpa banyak bicara, lalu buru-buru kembali ke apartemen.
Raka sudah menunggunya di meja makan, dengan dua cangkir kopi yang sudah mulai dingin. Saat Naya masuk, dia berdiri, matanya mencari-cari jawaban di wajah perempuan yang ia cintai itu.
“Dapet?” tanya Raka pelan.
Naya mengangguk. “Aku mau cek sekarang.”
“Kalau kamu mau aku temenin…” ucap Raka, tapi Naya menggeleng.
“Bentar ya.” Ia masuk ke kamar mandi.
Raka menatap pintu kamar mandi yang tertutup itu seakan itu adalah pintu takdir yang akan menentukan segalanya. Tangannya mengepal. Jantungnya berdebar.
Di dalam, Naya menatap strip putih itu tanpa berkedip. Lima menit rasanya seperti lima tahun.
Dua garis.
Napasnya tercekat dunia seakan berhenti.
Setelah beberapa menit, ia keluar, masih membawa alat itu di tangan. Raka berdiri begitu melihat wajah Naya.
“Gimana?”
Naya tak bisa menjawab. Ia hanya mengangkat test pack itu dengan tangan gemetar.
Raka menatapnya. Dua garis merah matanya melebar. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan mendekat dan menarik Naya ke dalam pelukan.
“Kamu hamil?” suara raka nyaris berbisik.
Naya mengangguk di dadanya , air matanya mulai jatuh. “Aku takut.”
Raka mengusap punggungnya, mencoba menenangkan. “Aku di sini, Nay. Apa pun yang terjadi… kita hadapi sama-sama.”
“Tapi kita belum menikah. Dan kantor lagi panas, Raka…”
“Kalau kamu mau, kita bisa langsung nikah minggu ini,” ucap Raka cepat.
Naya mendongak. “Jangan buru-buru karena ini. Aku... belum siap jadi istri karena terpaksa.”
Raka memeluknya lebih erat. “Aku gak pernah anggap kamu terpaksa. Aku pengen nikah karena aku cinta kamu, Nay. Tapi kamu juga berhak milih waktunya.”
Suasana di ruangan itu berubah sunyi. Tapi bukan sunyi yang menakutkan. Ada kehangatan di sana, di antara ketakutan, ada pelukan yang menenangkan.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Naya sadar… ini bukan hanya tentang jatuh cinta. Tapi tentang melangkah ke masa depan yang mungkin tak direncanakan, tapi terasa sangat berarti.
*
Pagi berikutnya datang terlalu cepat untuk Naya. Matahari yang mengintip dari balik tirai tak bisa mengusir gelisah di hatinya. Raka masih tertidur di sebelahnya, tangannya melingkar di pinggangnya dengan posisi yang selalu membuat Naya merasa aman. Tapi pagi ini, rasa aman itu bercampur dengan jutaan kemungkinan.
Ia membelai pelan rambut Raka, memperhatikan wajah yang selama ini menjadi tempat ia bersandar, sekaligus sumber segala kekacauan manis dalam hidupnya.
"Raka..." bisiknya pelan.
Raka bergumam, matanya terbuka setengah. "Hmm? Kenapa?"
"Aku belum siap bilang ke siapa pun soal ini , bahkan ke Alia."
Raka membuka mata sepenuhnya sekarang. Ia mendekap Naya lebih erat. "Kita nggak harus bilang siapa-siapa dulu. Ini rahasia kita sampai kamu siap , Oke?"
Naya mengangguk. Tapi pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan di kepalanya. Bagaimana jika HR tahu? Bagaimana jika kehamilannya diketahui media? Dunia luar terlalu kejam untuk kisah mereka yang belum sempurna.
Raka mencium keningnya. “Hari ini kamu jangan mikir aneh-aneh dulu , kita libur . Aku pengen kamu bahagia satu hari aja, tanpa stres.”
Naya memaksakan senyum. “kita mau kemana?”
Raka bangkit, menarik tangannya. “Ke tempat pertama kali aku sadar kamu lebih dari sekadar bawahan.”
Mereka naik mobil dan berhenti di taman dekat kafe kecil yang dulu jadi awal keakraban mereka. Tempat itu masih sama bangku kayu, langit luas, dan pohon rindang.
Raka mengeluarkan selimut kecil dari bagasi dan membentangkannya di rerumputan. Naya tertawa pelan. “Romantis banget, kayak bukan kamu.”
“Banyak yang kamu belum tau tentang aku,” sahut Raka, duduk di sebelahnya.
Naya bersandar di pundaknya, dan mereka menikmati pagi itu tanpa kata-kata, hanya suara angin dan sesekali tawa kecil di antara mereka.
“Aku takut, Rak. Kalau aku salah ambil langkah...”
Raka menggenggam tangannya. “Kalau kamu jatuh, aku jatuh bareng kamu. Dan kalau kamu naik, aku ikut dorong dari bawah. Gak akan ninggalin kamu Nay , Selamanya.”
Kata “selamanya” bergema di kepala Naya lebih lama dari yang ia kira.
Untuk sesaat, dunia seperti berhenti memusingkan peraturan masa lalu, bahkan kantor.
Dan Naya untuk pertama kalinya merasa... mungkin, hamil bukan berarti akhir. Tapi justru awal.
Setelah momen damai di taman, Raka mengajak Naya ke sebuah restoran kecil di pinggiran kota. Tempat itu tersembunyi, penuh tanaman hijau dan suara gemericik air. Suasananya tenang, seperti dibuat khusus untuk bicara hal-hal serius tapi penuh cinta.
Mereka duduk di balkon kecil menghadap danau ,Raka menyentuh jemari Naya yang gelisah.
“Aku tahu kamu khawatir aku juga. Tapi, Nay... apa kamu pernah kepikiran untuk... menikah sama aku?” tanyanya pelan, tanpa tekanan, tapi tulus.
Naya menoleh cepat. “Kamu serius?”
“Lebih serius dari kapan pun.” Raka mengangkat alis. “aku selalu nanya ini sama kamu , Aku gak minta kamu jawab sekarang. Tapi... kita udah terlalu banyak lewati apapun bareng. Dan kalau kamu emang hamil, aku gak akan lari. Aku malah seneng aku pengen ada kamu... dan mini kamu atau mini aku di rumah kita nanti.”
Naya menunduk, wajahnya memerah. “Aku takut bukan karena aku nggak mau. Tapi karena... semua ini terasa cepat.”
“Cepat iya , tapi nyata. Kamu pikir aku nyerahin semuanya ke kamu cuma buat main-main?” Raka menatapnya lembut. “Aku gak sempurna, Nay. Tapi aku mau belajar jadi sempurna buat kamu dan anak kita nanti.”
Naya menahan senyum, matanya berkaca-kaca. Ia tahu Raka bukan tipe laki-laki yang mudah bilang ‘aku cinta kamu’ setiap jam. Tapi gestur, kata-katanya, dan cara dia memperlakukan Naya… semua itu lebih jujur dari seribu kalimat puitis.
“Kalau nanti kita nikah... maunya intimate atau besar-besaran?” tanya Naya tiba-tiba, setengah malu-malu.
Raka tertawa kecil. “Apapun yang kamu mau. Tapi... aku pengen kamu pakai gaun putih, dan aku yang buka kerudungnya.”
Naya tertawa sambil mencubit lengan Raka. “Belum tentu aku pakai kerudung!”
“Ya udah, aku yang buka... resletingnya aja nanti,” bisik Raka jahil.
Naya langsung mendorong pelan bahunya, tapi pipinya sudah semerah tomat.
Mereka menghabiskan sore itu dengan membicarakan hal-hal kecil yang membuat mereka tertawa. Mulai dari nama bayi, rumah impian, sampai siapa yang bakal gendong kalau anak mereka nangis tengah malam.
Dan untuk pertama kalinya sejak dugaan hamil itu muncul, Naya gak merasa takut.
Ia merasa dicintai , dihargai dan yang paling penting tidak sendiri.
*
Detak jantung baru
Pagi itu, aku duduk di ruang tunggu sebuah klinik kecil, mencoba menenangkan jantungku yang berdegup tak karuan. Di tanganku, ada formulir yang belum selesai kuisi. Bahkan namaku pun kutulis dengan sedikit gemetar.
Aku datang sendiri. Raka nggak tahu. Bukan karena aku nggak mau cerita, tapi karena aku belum yakin… dan belum siap kalau ternyata hasilnya mengubah segalanya.
“Bu Naya Pradipta?” sapa suster lembut, memanggil dari pintu.
Aku bangkit perlahan. Nafasku terasa pendek. Langkah kakiku ringan, tapi tubuhku berat karena pikiran yang berjejal.
Di dalam ruangan, dokter perempuan paruh baya menyambutku hangat.
“Apa yang bisa saya bantu, Nona Naya?” tanyanya.
Aku menunduk sebentar sebelum menjawab pelan. “Saya ingin test kehamilan. Tapi... saya nggak tahu harus mulai dari mana.”
Dokter mengangguk mengerti. “Kita lakukan beberapa tes ya, dan hasilnya bisa segera keluar hari ini.”
Setelah proses berjalan, aku duduk lagi, menatap jam dinding. Lima belas menit terasa seperti seumur hidup.
Dan saat dokter kembali, membawa selembar kertas kecil, aku bisa membaca ekspresi itu sebelum dia sempat membuka mulut.
“Selamat, kamu positif hamil.”
Dunia tiba-tiba jadi hening.
Tanganku gemetar. Aku menatap sekeliling, seakan mencari pegangan.
Bukan takut tapi campur aduk. Antara terkejut, panik, bahagia, dan... khawatir.
“Bayi ini sehat, dari hasil awal semua baik. Tapi kamu harus segera kontrol rutin, dan—” suara dokter terdengar samar karena pikiranku sudah melayang.
Apa aku harus langsung bilang ke Raka? Bagaimana reaksinya? Apakah dia akan panik? Bahagia? Atau...
Dan bagaimana kalau orang kantor tahu?
Aku keluar dari ruang dokter masih linglung. Kupandangi langit Jakarta yang mendung, dan untuk pertama kalinya, aku menyentuh perutku sendiri dengan rasa sayang.
“Aku belum tahu apa yang akan terjadi... tapi kamu sudah ada, dan itu cukup.”
Aku tahu, langkah selanjutnya adalah bicara dengan Raka. Tapi sebelum itu...
Aku butuh bahu untuk bersandar. Dan seperti biasa, orang pertama yang terpikir adalah sahabatku.
Alia.
g bertele-tele 👍👍👍👍👍
😘😘😘😘😘😘
gmn klo a ny jdi e😩😩😩😩