"Jatuhkan mobilnya ke jurang sekarang juga!" Dalian mendorong pundak Ayah.
Jalanan licin membuat mobil tergelincir.
"Kyaaa!!!"
Semua orang menjerit saat mobil melaju liar menuju tepi jurang hingga ke dalam.
"Jedderr!! Jedderr!!" Petir menyambar.
Seakan meramalkan malapetaka yang akan datang.
Dan dalam kekacauan itu, terdengar suara di tengah hujan dan petir, suara yang hanya Dalian yang bisa dengar.
"Selamat datang, gadis berambut hitam."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Inner Child Gadis itu Rela Berkorban
Dalian berteriak, air matanya mengalir. Namun, ia tahu ini adalah kesempatan satu-satunya. Ia menggapai telur berisi jiwa-jiwa itu dengan gemetar, mencoba bergerak meski tubuhnya lemah.
Pada saat itu, langkah lain mendekat cepat. Kaya muncul dari kegelapan, wajahnya tegas. Dalam sekejap, tubuh kecilnya bertransformasi menjadi wujud manusia dewasa—tinggi dan berotot, dengan aura kekuatan yang menggetarkan.
“Kaya?” Dalian menatap tak percaya.
“Kita harus pergi,” kata Kaya tegas. Ia meraih Dalian dengan mudah, menggendongnya seperti membawa anak kecil. “Pegang erat telur itu. Aku akan membawamu keluar.”
"Tapi, Cian?!"
"Sudah tidak sempat," potong Kaya.
Eclipse melangkah maju, matanya menyala marah melihat perubahan itu. “Wakaya… Kau pikir kau bisa kabur dariku dengan kekuatanmu yang setengah matang?”
Kaya hanya menatap Eclipse dengan tajam, lalu tanpa menjawab, ia melompat tinggi, menghindari akar-akar yang mencoba mengejarnya. Ia bergerak cepat, melewati rintangan hutan yang terus berubah. Namun, suara Eclipse masih menggema di belakang mereka, penuh ancaman. “Kau tidak bisa melarikan diri dari hutan ini, Wakaya! Waktu kalian hampir habis!”
Kaya menggertakkan giginya, memusatkan seluruh kekuatannya untuk melarikan diri. Ia tahu mereka belum sepenuhnya aman, tetapi selama ia bernapas, ia tidak akan membiarkan Eclipse menyentuh Dalian atau jiwa-jiwa itu lagi.
"Tidak akan kubiarkan!!!" Teriak Eclipse ketika Kaya mulai melompat jauh menuju cahaya pintu keluar.
Dengan seketika, Cian meledakkan diri sehingga memencarkan cahaya yang sangat menyilaukan pandangan. "Terima kasih, Dalian." Ucap Cian untuk terakhir kali.
Kaya berhasil menerobos keluar dari hutan inner child, napasnya memburu, dan keringat membasahi tubuhnya. Dalam pelukannya, Dalian tampak lelah namun tetap memeluk erat telur berisi jiwa-jiwa itu.
Cahaya terang menyambut mereka, menandakan mereka telah keluar dari dunia gelap penuh ilusi tersebut.
Namun, Kaya yang sedang melaju dengan kecepatan luar biasa tiba-tiba kehilangan keseimbangan. "Pegangan yang erat, Dalian!" serunya.
"Apa maksudmu?!" Dalian belum sempat bertanya lebih jauh ketika Kaya mendadak berhenti secara mendadak dan melepaskannya begitu saja.
"Bug!"
Dalian terlempar tepat ke tubuh seseorang yang terbaring di atas kasur kecil di UKS. Tubuhnya jatuh tengkurap di atas dada Karel yang tertidur pulas.
"Ugh!" erang Karel seraya membuka matanya.
Sementara itu, Dalian yang baru sadar apa yang terjadi langsung mendorong tubuhnya sendiri dari Karel, wajahnya memerah karena malu bercampur kesal.
"Ke- kenapa gue jatuh ke tubuh elo, Karel? Apa ini semacam lelucon, hah?!" bentaknya.
Karel yang masih setengah sadar hanya menatap diam ke arah Dalian, meski dia sudah tahu.
"Singkirkan tubuhmu. Singkirkan!!" Dalian mengerang kesal sambil memukul-mukulkan kepalan tangannya di udara.
Sedangkan, Karel tidak mempedulikannya. Dia masih fokus dengan kejadian yang baru saja terjadi. "Syukurlah, semuanya selamat."
"Apa maksud elo?" Tanya Dalian.
"Oh? Sorry, nggak sengaja," jawab Karel santai, wajahnya dipenuhi ekspresi polos yang jelas-jelas tidak meyakinkan.
Dalian berdiri dengan gusar, menepuk-nepuk bajunya yang kotor akibat jatuh tadi. "Nggak sengaja elo kata? Gue ini kayak benda yang bisa dilempar seenaknya! Dan kenapa juga gue harus jatuh di tubuh elo? Ih, gelay!!"
Karel mengangkat bahu dengan ekspresi tak bersalah. "Kenapa elo protes seolah gue yang salah? Lagi pula, gue yang ditindih!"
"DI-- DITINDIH?!" Wajah Dalian makin merah. "Hei! Gue bukan beban berat seperti itu!"
"Tenang, tenang." Karel meringis.
"Oh, elo benar-benar cari gara-gara, ya!" Dalian mengepalkan tangan kecilnya, bersiap memukul Karel.
"Udahlah, Dalian." Karel mencoba menahan Dalian dengan satu tangan seperti menahan anak kecil yang mengamuk. "Jangan tambah masalah."
Dalian menatap Karel dengan dramatis. "Gue nggak akan melupakan ini, Karel! Elo akan membayarnya suatu saat nanti!"
Karel hanya tertawa kecil sambil mengacak rambut Dalian dengan seenaknya. "Ya, ya, terserah kau saja, bocah."
Dalian makin gusar,"He-- hentikan itu!!"
Di samping mereka berdua, berdiri Chelsey yang mematung memandangi tingkah ubsurd mereka sambil memegang telur yang terlempar. "Hello... Kalian..." sapa Chelsey berbisik tapi cukup kesal dibuatnya.
"Che-- che-- chelsey?!" Dalian langsung turun dari ranjang. Merasa sangat canggung.
Namun, sebelum Dalian bisa bicara lebih jauh, pintu ruangan terbuka lebar dengan suara berderit, menciptakan suasana hening yang menegangkan. Mata mereka berdua tertuju pada sosok pria yang memasuki ruangan. Pak Pandita berdiri di sana, mengenakan seragam khasnya seorang guru, tetapi auranya membuat udara di sekitarnya terasa berat.
Pak Pandita memandang Dalian dengan tatapan tajam namun penuh makna. “Ada sesuatu yang harus kau ketahui, Dalian,” ucapnya sambil mendekatkan diri ke Dalian. Suaranya merendah menjadi sebuah bisikan yang hanya bisa didengar Dalian.
“Cian yang mengorbankan dirinya… dia adalah inner childmu sendiri.”
Pernyataan itu menghantam Dalian seperti badai. Tubuhnya membeku, matanya melebar tak percaya. “Apa? Tidak mungkin… Cian… dia…”
Pak Pandita mengangguk pelan. “Itu sebabnya dia mampu karena panggilan dari hatimu. Cian adalah bagian dari dirimu, bagian yang paling murni dan penuh kasih sayang. Sekarang, Kau kehilangan bagian itu."
Dalian melangkah mundur, perasaannya berkecamuk. Air mata yang telah lama ia tahan akhirnya tumpah. “Tidak… ini tidak benar. Aku tidak akan kehilangan inner childku sendiri. Cian..."
Pak Pandita menepuk pundaknya dengan lembut, tetapi tegas. “Jika kau ingin memperbaiki segalanya, kau harus menemukan jalan untuk mengembalikan bagian dari dirimu yang hilang. Jiwa-jiwa yang kau selamatkan tadi mungkin menjadi kunci.”
Dalian terdiam, menunduk dalam pergulatan batinnya. Karel melangkah maju, menempatkan tangannya di bahu Dalian. “Nggak ada waktu untuk menyesali apa yang sudah terjadi. Jika ada yang bisa menyelamatkan Cian, itu adalah kamu, Dalian. Fokus pada apa yang bisa kita lakukan sekarang.”
Entah kenapa, suara dan cara bicara Karel berubah menjadi seperti Kaya. Dalian menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Ia menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri. “Gue nggak tahu gimana caranya, tapi gue akan menyelamatkan semuanya. Gue nggak akan membiarkan pengorbanan Cian sia-sia.”
Pak Pandita tersenyum samar, lalu mengangguk. “Bagus. Maka kita harus bertindak cepat. Jiwa-jiwa itu harus segera disucikan dan disatukan kembali. Hutan itu mungkin masih mencoba mengklaim mereka.”
Pak Pandita menatap Dalian dengan senyum penuh makna. Suaranya yang tenang dan meyakinkan mengalir bagaikan aliran sungai yang menenangkan hati. Dalian menatap Pak Pandita, hatinya bimbang. Kata-kata pria itu seperti mantra yang membuat pikirannya kabur.
Dalian mengambil telur itu dari tangan Chelsey. Telur berisi jiwa-jiwa di tangannya terasa lebih berat, seolah-olah menyuruhnya menyerahkan semuanya pada Pak Pandita.
“Serahkan semuanya padaku, Dalian,” lanjut Pak Pandita, suaranya rendah namun penuh kuasa. “Kau sudah melakukan cukup banyak. Kau kelelahan. Kau butuh istirahat. Percayalah, aku akan memastikan semuanya baik-baik saja.”
Langkah kaki Dalian perlahan maju, seolah dia akan berjalan pergi bersama Pak Pandita.
aku sudah mampir yah kak "Fight or Flight"