Seorang pemuda tanpa sengaja jiwanya berpindah ke tubuh seorang remaja di dunia lain. Dunia dimana yang kuat akan dihormati dan yang lemah menjadi santapan. Dimana aku? Itulah kata pertama yang diucapkannya ketika tiba di dunia yang tidak dikenalnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mdlz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedelapan Belas
Di saat yang sama, semua orang sudah membayangkan bahwa Arsa akan berakhir dengan tragis, babak belur dihajar tanpa perlawanan oleh para pengawal dari Tuan Muda Nylon.
Di serang oleh tiga orang berbadan kekar seperti kingkong, adalah tidak mungkin bagi Arsa untuk melawan. Selain usianya yang baru lima belas tahun, perawakan tubuhnya juga terbilang kurus kerempeng.
“Sudah berakhir,” kata salah seorang pengunjung restoran, menaruh empati terhadap Arsa sang Tuan muda dari Keluarga Nugraha.
Namun di saat berikutnya, peristiwa yang terjadi membuat suasana di dalam restaurant itu kian sunyi, tidak ada lagi bisik-bisik dan aktifitas seperti sebelum adanya peristiwa.
Rahang setiap orang jatuh, semua mulut menganga membentuk huruf O, setiap pasang mata membelalak dengan rasa tidak percaya yang begitu hebat, seakan-akan kejadian di depan mata mereka ini tidaklah nyata.
Betapa tidak, ketiga pria kekar itu hanya berdiri diam, terpaku di tempat, tidak melakukan apapun seperti apa yang telah di bayangkan di benak semua orang yang berada di tempat itu.
Tidak diketahui apa yang sedang terjadi. Namun di tiga tarikan napas berikutnya, ketiga pria kekar itu jatuh berlutut dengan tubuh mereka yang gemetar, keringat dingin membasahi sekujur tubuh mereka.
“Apa yang terjadi? Kenapa mereka berlutut?” gumam salah seorang di titik kerumunan.
“Aku tidak tahu. Yang jelas, pemuda itu tidak melakukan apapun, dan hanya memandang ketiganya saja.” sahut orang di sebelah.
Sementara itu, lelaki tua yang sempat saling tatap dengan Arsa dalam anggukan kepala, membatin kaget dengan tatapan tidak berkedip sedikit pun, ‘Serangan jiwa.’
‘Darimana asal pemuda ini? Di usia semuda itu, dia mampu melakukan serangan jiwa dengan sangat baik,’ kagum meliputi pikiran si lelaki tua, membuatnya di penuhi tanda tanya. ‘Setahuku, Teknik Serangan Jiwa telah hilang sejak jutaan tahun yang lalu. Kenapa anak ini bisa melakukannya?’
*
Masih dengan tubuh gemetar, satu dari ketiga pria kekar itu berkata memelas, “Maafkan kami, Tuan muda. Kami terlalu lancang, Mata kami sungguh buta.”
“Hehehe…” Arsa terkekeh, menggeser pandanganya kearah Midun Nylon, “Apakah Tuan Muda kalian juga akan memberiku pelajaran?”
“Tidak! Tidak! Tidak! Ini sungguh kesalahpahaman. Aku minta maaf!” tanpa menunggu tanggapan Arsa, Midun Nylon bergegas, langsung berlari kencang ketakutan.
“Ck!” begitu Arsa mendecakkan lidah, dia menatap ketiga pria kekar silih berganti, mengusir ketiganya dengan lambaian tangan, “Kalian pergilah! Lain kali, jangan pernah lagi merendahkan orang lain.”
“Terima kasih Tuan Muda.” mengatakan itu, tidak menunda. Ketiganya langsung bangkit dan berdiri, berlari kencang menyusul Tuan Muda mereka yang sudah terlebih dahulu berlari.
Mengabaikan Midun Nylon dan para bawahanya, Arsa membalikan badan, menghampiri ketiga bocah yang masih tercengang, “Ayo, Adik-Adik! Kalian bertiga ikut bersama Kakak! Kakak akan mentraktir kalian hari ini.”
***
Panti Asuh
Setelah menyantap banyak makanan, Arsa dan adiknya meninggalkan restoran bersama ketiga bocah yang di ajak untuk bergabung oleh Arsa dalam acara makan-makan.
Sebelum meninggalkan restoran, ada banyak makanan yang dipesan oleh Arsa. Makanan itu di peruntukan bagi banyak anak-anak, teman-teman dari ketiga bocah kecil itu.
“Kakak Arsa, kenapa kakak tidak pernah datang kerumah kami! Aku sangat merindukanmu, “Suara kecil Mila, terdengar di telinga kanan Arsa. Yang saat ini, gadis cilik itu tergendong di punggung Arsa.
Dalam ingatan Arsa sebelumnya, ia sering berkunjung ke sebuah rumah, dimana rumah itu adalah sebuah panti asuh di Kota Dreams. Panti asuh itu menampung banyak anak, setidaknya dua puluh orang anak.
Panti asuh itu tidak hanya merawat anak yatim piatu, tapi juga menjadi rumah bagi anak-anak yang di tinggalkan oleh orang tua mereka, anak-anak yang malang yang hidupnya terlunta-lunta.
Pengelola Panti Asuh adalah sepasang suami istri paruh baya. Dibantu oleh ketiga anak mereka yang sudah dewasa, entah kenapa sepasang suami istri itu sangat senang merawat anak-anak yang kurang beruntung itu.
Bagi Arsa, keluarga kecil ini merupakan keluarga terhebat di dunia. Dengan sukarela, mereka mengabdikan diri untuk kehidupan anak-anak yang kurang beruntung.
“Ayah! Ibu! Kakak Arsa datang,” pekik Mila begitu tiba di pintu gerbang Panti asuh.
Mendengar teriakan Mila, sontak anak-anak yang sedang berada di dalam rumah, berhamburan keluar, menyambut kedatangan Arsa bak seorang pejabat negara.
Melihat Arsa yang tersenyum manis kepada mereka semua, anak-anak itu berlarian menghampiri, bersorak dengan gembira, “Horee…! Kakak Arsa datang!”
“Sebelum kalian bertanya macam-macam, ayo kita makan dulu! Kakak membawa banyak makanan,” ucap Arsa kepada anak-anak yang mengerumuninya.
Mengangguk patuh, semua anak bergegas menuju ruang makan yang dilengkapi dengan sebuah meja panjang, mereka duduk dengan rapih layaknya seorang murid yang sedang menunggu pelajaran.
“Tuan Muda, selamat datang.” sapa Paman Agus, seorang pria paruh baya, satu dari lima sosok yang merawat anak-anak terlantar ini.
Arsa tersenyum, badanya sedikit condong kedepan sebagai tanda hormat kepada yang lebih tua, “Lama tidak bertemu, Paman.”
Merasa tidak mengenal dan belum pernah melihat, istri Paman Agus bertanya, “Siapa gadis cantik ini?”
“Ini adikku, bibi. Dia sangat cerewet, “bisik Arsa kepada Bibi Agus.
“Kakak! Apa yang Kakak bicarakan! Bibi sendiri bilang aku cantik. Mana mungkin gadis cantik ini cerewet!” pekik Lita Nugraha protes, kakinya menghentak dengan kedua pipi menggembung.
Melihat tingkat lucu Lita Nugraha, membuat Paman Agus dan istrinya tertawa, “Hahaha…. Nona Muda benar. Nona Muda sangat cantik.”
“Paman, Bibi, berikan makanan ini pada adik-adikku disana! Jangan biarkan mereka menunggu!” kata Arsa sambil menyerahkan banyak bungkusan makanan.
Lita Nugraha menyela dengan ekspresi bersemangat, “Kakak, biar aku membantu membagikan makananya.”
Setelah memastikan jika semua anak mendapatkan makanan, Arsa bergegas ke ruang tamu bersama Paman Agus dan Istrinya, mereka mengobrol ringan tentang perkembangan anak-anak Panti asuh.
Arsa langsung membuka pembicaraan, “Paman, Bibi, maafkan aku. Akhir-akhir ini banyak kesibukan, jadi aku baru sempat untuk berkunjung. Bagaiamana keadaan adik-adikku selama ini?”
Istri Paman Agus langsung menanggapi, “Anak-anak baik-baik saja, Tuan Muda. tidak perlu merisaukan keadaan mereka.”
“Hanya saja, dalam beberapa bulan terakhir, kami agak kesulitan memenuhi seluruh kebutuhan. Seorang dermawan yang selama ini membantu, telah pindah ke Ibu kota Kerajaan,” desah Paman Agus terdapat kesedihan dalam nada suaranya.
Istri Paman Agus langsung menimpali. “Selain itu, kami hanya memiliki waktu satu tahun untuk tinggal di rumah ini. Setelah itu, kami harus pindah jika kami tidak bisa membayar sewanya.”
Sambil menundukkan kepala, Paman Agus menambahkan, “Penghasilan kami berlima tidak mencukupi, Tuan Muda.”
Arsa menghela napas pada awalnya, tapi tersenyum kemudian. Mengeluarkan sekantung koin emas, menyerahkannya kepada Paman Agus dan berkata, “Paman, mungkin ini bisa membantu adik-adikku untuk sementara. Selanjutnya, aku akan mencari solusi yang terbaik untuk adik-adikku dan Paman Sekeluarga.”
Mendapati banyaknya koin emas yang belum pernah mereka lihat, suami istri itu gemetar dengan jantung berdebar-debar di tambah perasaan yang campur aduk meliputi pikiran mereka.
Tanpa sadar, Paman Agus dan Istrinya berkata secara bersamaan, “Ini terlalu banyak, Tuan Muda.”
“Sewa rumah ini hanya tiga ratus koin emas setahun, tapi ini….” lanjut Paman Agus, masih terkejut dengan ribuan koin emas di tanganya.
Arsa melambai ringan, lalu menanggapi, “Ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan jasa Paman Sekeluarga, yang dengan sepenuh hati merawat semua anak-anak ini.”
“Terimalah!” imbuh Arsa, lalu melanjutkan, “belilah beberapa pakaian untuk mereka! Bagi yang usianya sudah cukup, ajari mereka cara untuk berkultivasi, agar kelak mereka bisa melindungi saudara-saudaranya.
Sebelum Paman Agus dan Istrinya menanggapi, Arsa berkata lagi, “Kemudian, untuk sewa rumah ini, cukup bayar saja untuk dua tahun kedepan.”
“Tuan Muda, ini sangat banyak. Sepuluh ribu koin emas, jangankan bermimpi, membayangkannya pun kami tidak pernah, “Ungkap Paman agus, jantungnya masih berdebar kencang.
Arsa tertawa hangat, “Hahaha… Paman dan Bibi memang tidak boleh membayangkan atau memimpikannya, tapi langsung mendapatkannya.”
Tidak bisa tidak, mata suami istri itu memerah. Terutama istri Paman Agus, yang tanpa sadar sudah meneteskan air matanya, menangis tersedu-sedu tanpa bisa dia tahan.
Hanya seorang pemuda belia, sama dengan pemuda kebanyakan lainnya. Tapi tindakannya bagaikan dewa penolong di mata suami istri itu.
Mendapati suami istri terhormat itu hendak berdiri, Arsa segera menghentikannya. Ia tahu keduanya ingin berlutut di hadapannya, oleh karena itu, segera Arsa bergerak.
Sambil memegang tangan kedua orang paruh baya itu, Arsa berkata dengan senyum, “Paman dan Bibi, kalian berdua dilarang berlutut di depan siapa pun di dunia ini.
Karena apa yang kalian lakukan, tidak bisa dilakukan oleh orang lain, bahkan oleh orang kuat sekalipun, oleh karena itu, aku ingin kalian berdua selalu menegakkan kepala.”
Secara tiba-tiba, Lita Nugraha muncul dari balik pintu, langsung menjulurkan tangan kanannya ke arah Arsa, “Kakak, apa Kakak punya koin perak? aku membutuhkannya.”
“Untuk apa?” tanya Arsa dengan alis kiri terangkat.
“Cepatlah! Aku membutuhkannya! Empat puluh koin perak,” desak Lita Nugraha tanpa menjawab pertanyaan Arsa.
Untuk menghindari adiknya mengomel lebih banyak, Arsa memberikan apa yang diminta, empat puluh koin perak di sodorkan ke tangan mungil adiknya itu tanpa merasa sayang.
“Terima kasih Kakakku yang tampan sedunia,” puji Lita Nugraha, langsung berlari kembali masuk ka ruang makan.
Penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh adiknya, Arsa dan kedua orang paruh baya itu bergegas mengikuti. Namun mereka tidak langsung masuk ke ruang makan, ketiganya berdiri di pintu, terhalangi oleh kain gorden.
Begitu melihat apa yang dilakukan oleh Lita Nugraha, Arsa saling bertukar pandang dengan Paman dan Bibi Agus. Ketiganya tersenyum hangat, tertawa kecil dalam gelengan kepala.
Meskipun sedikit konyol, Arsa sangat bangga dan bahagia terhadap adiknya. Tindakan adiknya itu adalah penanda, bahwa sang adik memiliki rasa peduli kepada anak-anak di Panti asuh ini.
Sementara itu, di ruang makan. Lita Nugraha berlagak layaknya seorang guru. Berjalan mondar mandir di hadapan banyak anak, kedua tangannya terlipat di belakang punggung.
Tanpa menghentikan langkahnya yang mondar mandir, Lita Nugraha berkata, “Nah, karena aku adalah adik dari Kakak Arsa, maka kalian harus memanggilku Kakak senior.”
“Sebagai Kakak senior yang baik hati, cantik dan tidak sombong, aku akan memberi kalian hadiah. Tiap orang akan mendapatkan dua koin perak dariku, “Lanjut Lita Nugraha dengan ekspresi serius. Seolah-olah dirinya adalah seorang master yang sedang memberi pelajaran kepada para murid-muridnya.
Karena akan mendapatkan koin Perak, semua anak menjawab dengan gembira dan serempak, “Terima kasih, Kakak Senior.”
*
Beberapa saat berbincang dan bermain dengan anak-anak, di bawah tatapan enggan semua orang yang berada di panti asuh, Arsa dan adiknya meninggalkan Panti asuh.
Tidak jauh dari Panti Asuh, dua orang sedang mengamati kepergian Arsa dan Lita Nugraha. Keduanya saling memandang, saling mengangguk kemudian tanpa bersuara sedikit pun.
Mendapati Arsa dan adiknya telah menghilang dari pandangan, kedua orang itu bergegas pergi ke Panti Asuh, menghampiri Paman Agus dan anak-anak yang masih berdiri di pintu gerbang.
“Hai, Adik-Adik. Selamat sore, Paman. Apakah ini Panti Asuh?” sapa seorang gadis muda, di temani seorang lelaki tua.
Dengan ramah Paman Agus menyambut, “Benar, Nona Muda. Apakah Nona Muda dan Tetua memiliki keperluan dengan Panti Asuh kami?”
“Oh, tidak. Kami hanya ingin berbagi untuk adik-adik kecil ini, “jawab gadis muda itu, pun dengan ramah, mengeluarkan seratus koin emas, dan menyerahkannya kepada Paman Agus.
“Terima kasih, Nona Muda, Terima kasih. Tetua. Anda berdua sungguh baik hati,” ucap paman Agus seraya menangkupkan kedua tangan penuh syukur.
Sambil menujuk arah tertentu, gadis muda itu bertanya kemudian, “Oh, iya. Jika boleh tahu, siapa pemuda dan gadis kecil barusan?”
Melihat arah yang ditunjuk, Paman Agus segera mengetahui siapa yang dimaksud, “Pemuda itu Tuan Muda Arsa, Nona muda. Beliau dari Keluarga Nugraha, dan gadis kecil itu adalah adiknya.”
“Kakak Arsa adalah orang yang baik. Jika aku besar nanti, aku ingin menjadi istrinya,” celetuk Mila, gadis cilik usia lima tahunan.
Mendengar apa yang diucapkan oleh mila, semua orang tertawa ringan. Terlalu lucu dan menggemaskan menurut semua orang, mendengar celoteh bocah cilik berusia lima tahun berkata seperti itu.
Namun Paman Agus segera bereaksi. Berkata dengan ekspresi menyesal, “Maafkan kelancangan anak kami, Nona Muda. Dia masih terlalu kecil dan belum mengerti apa-apa.”
“Tidak apa-apa, Paman.” sahut gadis muda itu sembari tersenyum. Lantas berjongkok sembari meraih tangan Mila.” Adik manis, Siapa namamu?”