Perjalanan seorang pemuda bernama Cassius dalam mencari kekuatan untuk mengungkap misteri keruntuhan kerajaan yang dulu merupakan tempat tinggalnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mooney moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Interaksi pertama dengan para Draconian
Cassius mengamati kembali para draconian yang kini tengah bersiap untuk menghabisi kadal magma. Dia memutuskan untuk tidak melewatkan kesempatan ini dan memperhatikan bagaimana mereka berburu.
Kadal magma yang terluka itu mencoba melarikan diri, tetapi salah satu draconian mengangkat tangannya, mengumpulkan api di telapak tangannya. Api itu tidak sekadar bola api biasa—warnanya lebih pekat, merah kehitaman, dengan kilatan oranye yang bergerak seperti aliran lava cair.
Dalam satu gerakan cepat, draconian itu melemparkan api tersebut, dan seketika tanah di depan kadal magma meledak, menciptakan dinding api yang menghalangi jalannya. Kadal itu terpaksa berhenti, menggeram panik.
Draconian yang membawa tombak melompat ke depan, gerakannya cukup cepat dan lincah meskipun bertubuh besar. Dia menancapkan tombaknya ke tanah, dan tiba-tiba, api menyebar dari ujung tombak, menjalar seperti aliran magma yang merambat di permukaan batu. Kadal magma itu mengayunkan ekornya, mencoba melawan, tetapi draconian kedua—yang tidak bersenjata—melompat ke udara, menghindari serangan dengan lincah.
Dengan gerakan cekatan, dia mendarat di atas punggung kadal, mencengkeram tubuhnya, dan menarik napas dalam. Dalam sekejap, napasnya berubah menjadi semburan api yang jauh lebih panas dari sebelumnya, membakar langsung bagian belakang leher kadal itu. Suara erangan kadal magma terdengar menyakitkan, sebelum akhirnya tubuhnya melemah dan jatuh dengan suara yang keras.
Cassius menyipitkan matanya, mengamati bagaimana api yang digunakan para draconian itu berbeda dari sihir api biasa. Tidak hanya panas, tetapi juga tampak lebih padat, lebih nyata, seolah mereka bisa mengendalikan bentuk dan aliran energi api dengan presisi luar biasa.
Mulgur menyeringai kecil. "Kau tertarik?"
Cassius tidak langsung menjawab, hanya tetap memperhatikan bagaimana para draconian memastikan mangsanya benar-benar mati sebelum mulai menyayat sisiknya dengan rapi.
Mulgur menepuk bahunya. "Tempat mereka sudah dekat. Akan lebih aman kalau kita menunggu mereka selesai berburu dan masuk ke wilayah mereka bersama mereka. Draconian lebih menghormati orang yang tahu caranya bersikap."
Cassius mengangguk pelan. Matanya masih terpaku pada para draconian yang tengah bekerja, pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan tentang bagaimana mereka bisa memiliki kendali seperti itu atas api mereka. Dan apakah dia bisa melakukan hal yang sama—atau bahkan lebih baik.
Waktu berlalu dengan cepat saat Cassius dan Mulgur mengamati perburuan para draconian. Mayat kadal magma kini tergeletak tak bernyawa di atas tanah berbatu yang masih panas. Asap tipis mengepul dari beberapa bagian yang dibakar di tubuhnya. Sementara darahnya yang berwarna merah mengalir perlahan, mendidih saat menyentuh permukaan yang panas.
Para draconian bekerja dalam diam, seperti sudah terbiasa dengan ritme ini. Mereka memotong bagian tubuh makhluk itu dengan cekatan, memasukkannya ke dalam wadah satu per satu, dan bagian daging yang bisa dikonsumsi dipisahkan dengan efisien. Bahkan darahnya yang masih basah pun tidak dibiarkan begitu saja, seolah semuanya memiliki tujuan tertentu.
Cassius memperhatikan semua itu dengan saksama. Gerakan mereka presisi, penuh pengalaman, dan yang paling menarik, tak ada satu pun dari mereka yang berbicara selama proses itu. Mereka hanya saling bertukar pandang sesekali, seakan komunikasi mereka lebih dari sekadar kata-kata.
Mulgur berdiri di sebelahnya, menyilangkan tangan dengan ekspresi santai. "Kau merasakannya, bukan?" gumamnya pelan.
Cassius mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya. "Mereka bukan sekadar pemburu biasa. Mereka bekerja dengan disiplin, seperti pasukan yang sudah bertahun-tahun bertempur bersama."
Mulgur tertawa kecil. "Lebih tepatnya, mereka berburu bukan sekadar untuk bertahan hidup. Mereka berburu dengan tujuan yang lebih besar dari sekadar makanan."
Cassius hendak bertanya lebih lanjut, tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, salah satu dari draconian menoleh ke arah mereka. Lalu, tanpa peringatan atau basa-basi, dia mulai berjalan mendekat. Langkahnya mantap dan berat, dengan tubuh besar yang sedikit menggetarkan tanah dalam setiap pijakan. Matanya yang bersinar bagaikan bara api menatap lurus ke arah Cassius dan Mulgur, penuh ketegasan namun tanpa niat bermusuhan.
Tak lama, draconian lainnya yang bertubuh lebih kecil ikut mendekat, mengapit yang pertama seakan hendak menghalangi jalan mereka. Cassius tetap diam, matanya menyipit sedikit saat mengamati mereka. Mulgur, meskipun santai, tetap mempertahankan sikap waspada.
Akhirnya, draconian yang pertama berhenti beberapa langkah dari mereka.
Tanpa ekspresi, tanpa sapaan, dia berbicara dengan suara dalam dan bergetar dalam dada, "Silahkan ikut kami."
Cassius mengangkat alis. Tak ada pertanyaan, tak ada kecurigaan, seolah mereka sudah tahu bahwa Cassius dan Mulgur akan datang.
Mulgur melirik Cassius sebelum berdeham pelan. "Yah, paling tidak mereka tidak langsung mengusir kita," bisiknya setengah bercanda.
Cassius tidak menjawab, hanya menatap lurus ke mata draconian itu sebelum akhirnya mengangguk pelan. Para draconian tidak menunggu lebih lama. Mereka langsung berbalik, melangkah menuju arah yang lebih dalam ke wilayah mereka, tidak peduli apakah Cassius dan Mulgur benar-benar mengikuti atau tidak. Cassius menatap punggung mereka yang tinggi dan lebar selama beberapa detik sebelum akhirnya melangkah mengikuti, sementara Mulgur menyeringai kecil dan berjalan di sampingnya.
"Sepertinya kita memang sudah ditunggu," gumam Cassius.
Mulgur mengangkat bahu. "Tentu saja. Kau pikir makhluk seperti mereka tidak tahu siapa yang masuk ke wilayah mereka?"
Cassius tidak menjawab, hanya menatap ke depan dengan mata yang penuh rasa ingin tahu.
Cassius dan Mulgur melangkah mengikuti para draconian, melewati jalan berbatu yang terasa semakin hangus dan kering seiring mereka mendekati jantung wilayah mereka. Udara di sekitar terasa lebih berat, hangat seperti ada bara api yang terus bersembunyi di bawah permukaan tanah.
Ketika mereka akhirnya keluar dari celah tebing yang sempit, pemandangan yang luar biasa terbuka di hadapan mereka—sebuah kuil kuno raksasa yang sebagian besar telah terkikis waktu, tetapi masih berdiri dengan megah dan angkuh.
Pilar-pilar besar menjulang tinggi di sekitar area itu, masing-masing dihiasi dengan obor yang menyala merah gelap—api yang tidak seperti api biasa. Nyala apinya terasa lebih padat, seakan mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar panas biasa. Bayangan dari api itu menari di dinding-dinding batu yang penuh ukiran simbol-simbol naga dalam bahasa kuno.
Di antara pilar-pilar itu, berdiri patung-patung naga dalam berbagai ukuran dan pose. Beberapa masih berdiri gagah, tetapi banyak yang telah kehilangan bagian tubuhnya—kepala yang terpenggal, sayap yang patah, atau cakar yang terkikis oleh waktu dan cuaca. Namun, meskipun rusak, aura kekuatan dari patung-patung itu masih terasa. Seakan mereka masih menyimpan sisa energi dari masa lalu.
Sebagian besar reruntuhan kuil telah beradaptasi menjadi tempat peristirahatan bagi para draconian. Ada bangunan-bangunan yang separuh runtuh, tetapi tetap digunakan sebagai tempat berteduh. Ada pula ruang-ruang terbuka yang tampak seperti tempat berkumpul, tempat para draconian duduk di sekitar api unggun kecil, mengasah senjata, atau sekadar berbincang dengan suara rendah.