Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Deon berdiri terpaku di koridor yang mulai lengang, keringat dingin mengalir dari pelipisnya meski AC di kantor masih menyala dingin.
Kata-kata terakhir Bastian tadi seperti peluru sunyi yang menancap di otaknya. “Jangan sering-sering buka berkas yang tidak seharusnya, ya.”
“Dia tahu... sial, dia tahu!” gumamnya panik, namun tetap memasang senyum palsu sambil melambaikan tangan ke arah punggung Bastian yang menjauh.
Begitu pria itu menghilang di tikungan lorong, Deon langsung membalikkan badan, berjalan cepat menuju lift, dan begitu pintu lift tertutup dia langsung menghantamkan kepalanya pelan ke dinding lift.
“Lo gila, Deon. Baru juga jadi Agra dua hari, udah kayak James Bond abal-abal. Dikepret dikit sama Bastian langsung ciut, hadeh.”
Tapi justru ucapan Bastian tadi bukan bikin dia mundur. Sebaliknya, rasa penasaran itu justru makin menjerat pikirannya kayak jaring laba-laba yang tak terlihat.
Dan malamnya, saat dia kembali ke hotel lebih tepatnya bersembunyi dari kontrakan karena trauma kejadian truk tempo hari. Deon mulai mengumpulkan semua catatan kecil yang dia tulis selama ini.
Potongan nama-nama. Hubungan misterius. Termasuk satu yang mencurigakan, divisi RDL.
"Gue gak peduli lo siapa, Bastian. Tapi sekarang, lo dan file-file bokap gue itu udah kayak teka-teki yang minta dibongkar."
Lalu mendadak bunyi ketukan di pintu hotelnya.
Deon terdiam. Siapa malam-malam begini?
Dia mendekat perlahan. Melihat dari lubang kecil di pintu kosong.
Deg.
“Jangan bilang ini kayak film horor!”
TAP. Suara amplop dilempar dari bawah pintu.
Deon mengambilnya dengan hati-hati. Tidak ada nama, tidak ada alamat. Hanya satu kalimat tertulis dengan huruf kapital rapi.
“BERHENTI SEBELUM TERLAMBAT.”
Deon menatap tulisan itu lama, lalu tertawa kecil.
“Yah, telat. Gue udah mulai, dan gue gak akan berhenti dan gak mungkin juga gue berhenti.”
__
Keesokan paginya, Deon berdiri di depan pintu kaca ruangan Direktur Operasional – Bastian Ramelan.
Tangannya membawa setumpuk dokumen palsu, hasil akal-akalan semalam. Berkas-berkas yang sebenarnya tidak perlu, tapi cukup meyakinkan untuk dijadikan alibi agar bisa masuk ke dalam.
"Morning, Pak Bastian nitip dokumen ini buat ditandatangani langsung katanya," ucap Deon pada sekretaris yang duduk tak jauh dari pintu.
Sekretaris itu mengerutkan kening. "Biasanya beliau lewat saya, kenapa sekarang langsung?"
"Dia bilang, kalau telat sejam, dia bakar semua meja di divisi ini.” Deon tertawa canggung. “Saya sih cuma magang ya, tapi gak mau meja jadi korban."
Sekretaris itu menghela napas, mengangguk pasrah, dan mempersilakan Deon masuk. Begitu pintu tertutup dan Deon melangkah ke dalam ruangan yang luas itu, detak jantungnya langsung naik satu level. Ruangan itu bersih, tertata rapi, tapi juga terlalu rapi. Seolah menyembunyikan sesuatu.
Bastian sedang tidak ada rapat, katanya.
Kesempatan emas.
Deon menaruh dokumen di meja lalu mulai berjalan pelan menyusuri rak-rak. Matanya liar mengamati tiap celah, tiap laci.
Hingga akhirnya, matanya tertumbuk pada lemari kayu terkunci di sudut ruangan. Deon merogoh saku jaketnya mengeluarkan satu pin kecil hasil nonton tutorial pembobolan kunci di YouTube semalam.
"Sumpah gue gak nyangka, tutorial cara buka gembok tanpa kunci ternyata beneran berguna."
Klik.
Lemari terbuka perlahan. Mata Deon membelalak.
Tumpukan map cokelat tanpa label, dan satu map merah mencolok bertuliskan tangan PROYEK LINGKARAN 12 - INTERNAL ONLY
"Proyek Lingkaran?" gumamnya.
Baru saja dia hendak menarik map itu, pintu ruangan terbuka tiba-tiba.
"Agra?"
Deon menoleh refleks. Bastian berdiri di ambang pintu, memandangnya dengan tatapan datar tapi jelas penuh kecurigaan.
Deon buru-buru menutup lemari, tersenyum lebar. "Pak! Waduh, saya lagi nyari tempat naro dokumen biar pas Bapak dateng tinggal tandatangan. Hehe."
Bastian melipat tangan di dada. "Kamu magang, bukan staf logistik. Kenapa rak paling pojok yang kamu pilih?"
Deg. Deon berusaha tetap tenang.
"Karena uh, feng shui-nya bagus, Pak. Beneran deh. Kalau posisi dokumen menghadap timur, katanya rejekinya ngalir lancar."
Ada jeda. Hening.
Lalu Bastian tertawa pelan. “Kamu lucu juga, Agra.”
Tapi nada suaranya tidak terdengar seperti pujian.
Deon langsung pasang senyum paling manis yang dia punya, senyum andalannya kalau lagi kepepet.
“Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Pak. Takut ganggu Bapak kerja,” katanya sambil mundur pelan menuju pintu, masih membawa map dokumen bohongan yang tadi dia bawa masuk.
Bastian tidak menjawab, hanya menatap Deon dengan mata menyipit seolah mencoba membaca gerak-geriknya.
“Terima kasih ya, Pak. Saya taruh dokumennya di meja, nanti Bapak tinggal tanda tangan aja.”
Dengan langkah setenang mungkin meski jantungnya nyaris loncat keluar dada Deon keluar dari ruangan itu. Begitu pintu tertutup, dia menarik napas dalam-dalam.
“Gila hampir aja,” gumamnya, buru-buru berjalan menjauh dari ruangan itu. Tapi dalam hati, dia tau dia belum selesai. Malah baru mulai.
Karena apa pun itu “Proyek Lingkaran 12,” Deon merasa itu bukan proyek biasa.
Dan dia harus cari tau, sebelum Bastian curiga lebih jauh.
Baru saja Deon melenggang santai dari depan ruang Bastian, berusaha terlihat seperti anak magang polos yang nggak tahu apa-apa, langkahnya terhenti mendadak.
Matanya tanpa sengaja menangkap adegan tak terduga di salah satu pojokan lorong dua orang karyawan, yang seharusnya ngisi laporan keuangan, malah ngisi waktu dengan ciuman panas berdurasi panjang kayak drama Korea episode terakhir.
Mata Deon membelalak, mulutnya nyaris ternganga. “YA ELAH! DI KANTOR, BRO?!” jeritnya dalam hati, tentu saja.
Dia buru-buru memalingkan muka, tapi langkahnya malah jadi kaku kayak robot rusak. “Gue liat apa barusan, ya Tuhan ini bukan PG-13 lagi, ini udah 21+!” gumamnya panik, mencoba berjalan lurus tapi malah nabrak meja fotokopi.
“Maaf, maaf mesin,” bisiknya ke printer, seolah benda itu bisa merasa.
Setelah berhasil sampai ke mejanya dengan wajah merah padam, dia duduk dan langsung nunduk ke keyboard. “Udah, fokus Deon lo lagi nyamar, bukan syuting FTV,” katanya pada diri sendiri.
Tapi adegan tadi terus terputar di otaknya. “Gue cuma magang tapi mental gue udah kerja 10 tahun di sini.”
Deon menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, berusaha menghapus memori yang baru saja dia lihat barusan tapi sialnya, otaknya malah muter terus kayak playlist auto repeat.
“Nah kan! Otak lo kayak CCTV, ngerekam terus tanpa permisi!” gerutunya pelan.
Belum sempat dia tenang, tiba-tiba salah satu senior lewat di dekat mejanya dan nyeletuk, “Eh Agra, lo pucat banget. Liat hantu ya?”
“Hampir…” jawab Deon lirih, masih trauma. “Tapi hantunya bukan setan, lebih kayak dosa kantor.”
Senior itu ngikik. “Wah gawat, jangan-jangan lo liat si Reta sama Pak Bima ya?”
Deon spontan noleh dengan kecepatan 180 derajat. “HAH?! SERIUSAN?!”
“Eh, gue cuma nebak doang Lah, jadi bener dong?!”
“ARGHHH!” Deon nyaris guling dari kursi, lalu buru-buru nutup mulut sendiri.
Kini, bukan cuma harus nyelidikin misteri perusahaan dan Bastian Ramelan, tapi dia juga harus hidup berdampingan dengan drama romantika rahasia kantoran yang ternyata lebih panas dari skandal perusahaan.
“Fix, ini kantor atau sinetron?” bisiknya, lalu mengetik di komputer sambil curi-curi pandang takut ada episode lanjutannya.
Baru juga Deon berhasil mengontrol detak jantungnya, eh… dari kejauhan dia ngeliat lagi sesuatu yang bikin matanya nyaris copot.
Seorang karyawan yang dikenal kalem dan alim yang biasa manggil semua orang mas dan mbak sambil senyum sopan tiba-tiba nyelonong masuk pantry sambil gendong kucing, pakai stroller, lengkap dengan pita pink dan tulisan Princess Meow.
Deon refleks berbisik pelan, “Gue di kantor atau di sitcom absurd sih?”
Belum habis rasa kagetnya, dia denger suara senior dari meja sebelah teriak, “Woy! Jangan lupa, hari ini jadwal cosplay Jumat Bebas, tema karakter anime, lo belum pakai wig lo, Gra!”
Deon langsung nengok pelan ke kiri, trus ke kanan, trus napas dalam-dalam.
“Wig? Karakter anime? Gue pewaris perusahaan, bro. PEWARIS!”
Tapi tetap aja, semenit kemudian dia sudah berdiri di toilet, ngaca, sambil mencoba memasang wig warna biru terang dan jubah hitam panjang.
“Astagaaaa! Agra Gunawan, lo tuh siapa sih sebenernya?!”
Dan saat dia balik ke ruang kerja, semua orang tepuk tangan.
"YEAAAH! ITU DIA AGRAKU SI ZORO KW!"
Deon tak bisa berkata-kata. Hanya bisa duduk dan menatap layar kosong, sambil dalam hati teriak, “Gue nyelidik rahasia perusahaan, bro, bukan ikut audisi OVJ!!”
Baru aja Deon duduk sambil menarik napas panjang, mencoba berdamai dengan wig biru dan panggilan “Zoro KW”, tiba-tiba grup WhatsApp kantor bunyi.
[HRD Super Galak]
“Selamat siang para pahlawan perusahaan! Jangan lupa hari ini ada lomba yel-yel antar divisi, yang menang dapet voucher kopi, yang kalah nyanyi lagu Baby Shark di lobi. No excuse ya!”
Deon melotot ke layar. “Lomba YEL-YEL?! Voucher KOPI?! Lo becanda, kan, Tuhan.”
Belum sempat dia menolak, temen sebelahnya si cosplay Naruto KW udah narik tangan Deon sambil nyodorin pom-pom warna-warni.
“Ayo Gra, lo bagian joget belakang sambil puter-puter wig lo ya!”
“GUE NYARI RAHASIA KANTOR, BUKAN IKUT MARCHING BAND!!” batinnya.
Lalu pas lomba mulai, mereka dikasih kostum ayam raksasa. Kostum. Ayam. Dengan sayap goyang-goyang dan ekor yang bunyi tek-tek-tek setiap jalan.
Deon akhirnya tampil sambil di video-in oleh semua divisi. Termasuk Bastian Ramelan yang nonton dari balkon lantai dua, ngopi sambil senyum tipis.
"Nice energy, Agra," katanya.
Setelah semua selesai, Deon langsung ke toilet, buka wig dan kostum ayam, ngaca sambil berkata lirih.
“Resign! Kayaknya bukan pilihan. Ini udah jadi kebutuhan pokok.”
Dan tiba-tiba pintu toilet kebuka, Gwen nongol sambil bawa minuman kaleng. “Lo ngapain di sini? Nangis?”
“Enggak,” jawab Deon sambil tetap ngaca.
“Gue lagi meratapi hidup!”
Gwen ketawa ngakak sambil nyeletuk, “Tenang Gra, minggu depan lombanya battle lipsync, lo cocok banget nyanyi dangdut!”
Deon pun menatap langit-langit, menimbang apakah harus resign atau pura-pura pingsan tiga hari ke depan.