Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 25
Asap pekat memenuhi ruangan, mencengkeram udara dengan aroma hangus dan debu yang menusuk tenggorokan. Dinding yang dulu kokoh kini retak dan berlubang, sementara pecahan kaca berserakan di lantai. Suara gemeretak kayu dan batu bata yang masih runtuh menggema di antara erangan orang-orang yang terluka.
Amina berlutut di samping seorang pria yang tertindih balok kayu, napasnya berat dan penuh debu. Ia meraba leher pria itu, mencari denyut nadi. Ada. Lemah, tapi masih ada.
"Hei, tahan sedikit lagi, aku akan mengeluarkanmu dari sini," ujarnya dengan nada mendesak.
Pria itu mengerang, matanya terbuka setengah. "Ledakan... siapa—siapa yang—"
"Pertanyaan bagus," gumam Amina, menggertakkan giginya sambil mencoba mengangkat balok kayu itu. Berat. Terlalu berat.
Tiba-tiba, sepasang tangan kuat muncul dari belakangnya, membantu mengangkat balok itu dengan mudah.
"Jangan memaksakan diri, detektif," kata Alexander dengan nada datar, tetapi matanya mengamati Amina dengan seksama. "Kami tidak butuh pahlawan mati."
Amina mengangkat alis. "Oh? Aku kira kamu lebih suka kalau aku lenyap."
Alexander mendengus. "Kalau kamu mati, siapa yang akan membongkar siapa dalang di balik semua ini?"
Amina menghela napas, menarik pria yang terluka ke tempat yang lebih aman sebelum menatap Alexander. "Kamu tahu ini bukan sekadar peringatan, kan?"
"Tentu saja." Alexander menyapu pandangannya ke ruangan yang hancur. "Ini deklarasi perang."
Sementara mereka berbicara, Lorenzo masuk dengan langkah cepat, wajahnya serius. "Kita perlu keluar dari sini sebelum mereka menyerang lagi. Aku tidak suka bertaruh, tapi kalau aku harus menebak, mereka tidak akan puas hanya dengan satu ledakan."
"Aku setuju," kata Michael, yang baru saja membantu seorang pria lain berdiri. "Kita tidak bisa bertahan di sini lebih lama."
Amina mengamati mereka satu per satu. Orang-orang ini mungkin bukan teman, tetapi untuk saat ini, mereka adalah sekutu yang sama-sama ingin bertahan hidup.
Beberapa jam kemudian, mereka telah menemukan tempat persembunyian sementara di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Dinding-dindingnya berkarat, bau minyak dan kayu lapuk memenuhi udara.
Udara malam terasa berat, disesaki aroma asap dan debu yang masih tersisa dari insiden ledakan. Markas sementara mereka—sebuah gudang tua yang tersembunyi di pinggiran kota—dipenuhi suara langkah tergesa dan bisikan. Semua orang sibuk, baik yang terluka maupun yang masih sanggup berdiri, berusaha memulihkan keadaan.
Amina duduk di sebuah meja kayu reyot di sudut ruangan, mempelajari catatan yang dia temukan di reruntuhan markas lama. Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi konsentrasi, matanya yang tajam menyusuri setiap baris tulisan. Namun, dia tidak sendirian.
"Aku nggak percaya kamu masih sempat membaca di tengah kekacauan ini," suara berat dan penuh sarkasme datang dari Lorenzo, yang kini duduk di seberangnya dengan santai, satu kakinya diangkat ke atas kursi lain. Pria itu memiliki rambut cokelat berantakan dan tatapan yang sulit ditebak—kadang penuh ejekan, kadang mengandung sesuatu yang lebih dalam.
Amina mendesah, meliriknya sekilas sebelum kembali fokus. "Kalau kita nggak segera mencari tahu siapa dalangnya, mereka akan menyerang lagi."
Lorenzo terkekeh. "Tentu saja. Tapi aku lebih tertarik dengan sesuatu yang lain." Dia menyandarkan tubuhnya ke belakang, matanya berkilat nakal. "Kenapa detektif seperti kamu masih ada di sini? Seharusnya kamu sudah kabur jauh-jauh, kan?"
Amina tidak langsung menjawab. Dia tahu Lorenzo hanya sedang mencoba menguji dirinya. Jadi, dia memilih membalas dengan nada ringan. "Karena aku nggak suka ditinggal dalam kegelapan. Dan aku benci kalau ada orang yang mencoba membunuhku tanpa memberitahu alasannya."
Lorenzo terkekeh lagi, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah. "Kamu menarik."
"Sama sekali bukan pujian." Amina membalik halaman catatannya, mencoba mengabaikan tatapan pria itu.
Sementara itu, di sudut lain ruangan, Alexander berdiri dengan kedua tangan menyilang di dada. Pria itu tidak banyak bicara sejak ledakan terjadi, tapi matanya terus mengikuti gerak-gerik Amina. Ia tak suka sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan, dan Amina, dengan segala keahliannya dan rahasia yang jelas dia sembunyikan adalah teka-teki yang masih belum dia pecahkan.
Michael, yang berdiri di sampingnya, mengamati peta di dinding. "Menurutmu, dia bisa dipercaya?" tanyanya, tanpa mengalihkan pandangan dari peta.
Alexander menghela napas, lalu berkata pelan, "Aku belum tahu."
Michael menoleh, menatapnya. "Biasanya kamu sudah membuat keputusan sebelum seseorang sempat berbicara lebih dari tiga kalimat."
Alexander tidak menjawab, hanya mempererat rahangnya. Memang, biasanya dia bisa membaca seseorang dengan cepat. Tapi Amina... dia berbeda.
Di tengah percakapan mereka, Theodore masuk dengan membawa tablet. "Aku punya sesuatu," katanya, meletakkannya di meja. "Data dari reruntuhan sudah dikumpulkan. Dan lihat ini."
Amina, yang sedari tadi mendengar dari jauh, ikut mendekat. Di layar, tampak rekaman dari kamera keamanan yang masih sempat menangkap sesuatu sebelum ledakan terjadi. Bayangan seseorang melintas, wajahnya tertutup topeng. Tapi ada sesuatu yang familiar dalam cara orang itu berjalan.
"Aku kenal gerakan itu..." gumam Amina.
Semua mata kini tertuju padanya.
"Kau mengenal orang ini?" tanya Alexander cepat.
Amina mengerjap, mencoba mengingat. "Aku pernah melihatnya di salah satu kasus lamaku."
Lorenzo bersiul pelan. "Wah, ini semakin menarik."
Dante, yang selama ini lebih banyak bercanda, kali ini terlihat serius. "Kalau dia bagian dari masa lalumu, berarti ini bukan hanya serangan terhadap kita. Ini juga personal buatmu."
Amina mengangguk pelan. "Sepertinya begitu."
Felix, yang sejak tadi diam, tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arah Amina. Tanpa berkata apa-apa, dia menyerahkan sesuatu, sebuah lukisan kecil yang tampak sudah tua.
Amina mengambilnya dengan bingung. "Apa ini?"
Felix hanya tersenyum tipis. "Petunjuk."
Amina mengernyit. Lukisan itu menggambarkan seorang perempuan berdiri di tengah badai, wajahnya nyaris tak terlihat, hanya siluet yang samar. Ada sesuatu yang mengganggunya dari gambar ini, tapi dia belum bisa memahami apa.
"Kau memang suka memberikan teka-teki, ya?" Amina mengangkat alis.
Felix hanya mengangkat bahu sebelum pergi lagi tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Lorenzo tertawa pelan. "Selamat datang di dunia kami, Detektif."
Amina menghela napas panjang. Dia memang sudah berada di dalam permainan ini dan kali ini, dia tak bisa mundur begitu saja.
Saat malam semakin larut, Amina duduk di depan meja dengan semua petunjuk yang sudah mereka temukan. Dia memutar kembali rekaman di tablet, mengamati gerakan orang bertopeng itu.
Siapa pun dia, dia bukan orang biasa. Dan dia jelas menginginkan sesuatu dari Amina.
Saat itulah Alexander berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya.
"Ada yang mengganggumu?" tanyanya.
Amina meliriknya, sedikit terkejut karena pria itu jarang berbicara tanpa alasan yang jelas.
"Banyak," jawabnya jujur.
Alexander mengangguk pelan, lalu menarik kursi dan duduk di sebelahnya. "Kalau begitu, kita cari tahu bersama-sama."
Amina menatapnya, mencoba mencari niat tersembunyi di balik kata-katanya. Tapi kali ini, dia tidak menemukan apa-apa selain keseriusan.
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.