Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan pernah berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan, Nadia,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika suatu hari nanti kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?”
“Tidak akan mungkin itu terjadi.”
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya berdasarkan pada kebutuhan ranjang semata? Akankah cinta bersemi diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Alasan Maura
Alasan Maura
“Maura?” Rizal terkejut begitu membuka pintu ruangannya dan menemukan Maura yang berdiri di depan pintu itu dengan mata berkaca-kaca.
Lebih terkejut lagi, saat tiba-tiba Maura memeluknya erat tak peduli tempat dan keadaan. Rizal sampai merasa risih karena beberapa perawat yang lewat di depan ruangannya itu melihatnya dengan pandangan aneh.
Tak ingin mengundang perhatian orang lebih banyak lagi, Rizal kemudian mengajak Maura masuk dan duduk pada kursi yang tersedia.
“Kamu kenapa?” tanyanya sembari mengulurkan tangan menghapus air mata di pipi Maura. Sejujurnya ia merasa sedih melihat Maura dalam keadaan seperti ini. Sejak Maura memutuskan menikah dengan Yudha, sejak saat itu pula ia selalu berharap Maura hidup bahagia. Pun berharap sahabatnya itu bisa membahagiakan Maura lebih dari dirinya.
Maura menghela napas sejenak, meredakan isak tangisnya yang tersisa. “Apa aku sebegitu tidak bergunanya jadi seorang istri hanya karena aku tidak bisa memberikan keturunan?” keluhnya dengan perasaan pilu bagai teriris sembilu.
Tidak hanya suara sumbang para tamu undangan yang membuat Maura sakit hati. Pun perkataan Elvi yang menghancurkan harga dirinya sebagai seorang wanita.
Maura merasa ibu mertuanya tersebut sudah termakan omongan-omongan tetangga juga teman-teman arisannya.
“Kamu tidak mandul kan, Maura? Keluarga Adyatama membutuhkan penerus. Percuma saya menikahkan Yudha dengan kamu kalau kamu ternyata tidak bisa memberikan keturunan.”
“Kalau sampai program hamil ini tidak berhasil, apa tidak sebaiknya kamu mulai memikirkan masa depan kamu sendiri, dan berikan Yudha kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaannya walaupun tidak dengan kamu?”
“Ingat, Maura. Saya menyetujui hubungan kalian itu karena Yudha yang memaksa. Padahal dulu saya sudah punya calon yang pantas untuk dia. Saya tahu kamu tidak setulus itu mencintai anak saya. Kamu hanya mengambil keuntungan dari pernikahan kalian ini. Benar bukan?”
Mengingat ucapan ibu mertuanya itu jelas Maura merasa sakit hati. Dahulu, jika bukan karena demi orangtuanya, Maura tidak akan mau menikahi Yudha. Keluarga Adyatama sudah banyak membantu menopang keuangan keluarganya. Karirnya sebagai model masih tidak bisa menutupi hutang dan kebutuhan keluarganya. Sehingga ketika Yudha menyatakan perasaannya, ia tidak punya pilihan lain selain menerima perasaan itu.
Seiring berjalannya waktu, lambat laun Maura pun mulai membalas perasaan Yudha walaupun belum sepenuhnya. Perhatian dan cinta yang dicurahkan Yudha untuknya saat itu lebih dari yang ia harapkan. Sehingga ia berpikir rumah tangganya akan baik-baik saja selama Yudha mencintainya.
Namun beberapa tahun lalu, Maura mulai merasakan rumah tangganya tidak baik-baik saja ketika ia tahu bahwa dirinya mengidap satu penyakit yang serius. Maura merasa frustasi dan sangat terbebani ketika disaat yang bersamaan pula keluarga Adyatama memintanya untuk segera mempunyai momongan. Sementara hal itu menjadi mustahil baginya saat penyakit itu menggerogoti tubuhnya.
Disaat Maura kehilangan harapan, merasa diabaikan disaat Yudha pun mulai berubah, masa lalunya hadir ditengah-tengah keputusasaannya.
Rizal menjadi satu-satunya tempat untuk ia mencurahkan semua kegundahan dan kesedihan yang menderanya.
“Aku tahu aku tidak sempurna. Sebagai istri aku juga ingin memberikan yang terbaik. Aku ingin membahagiakan keluarga kecilku. Apa mereka tahu, aku tidak pernah menginginkan keadaan ini,” keluh Maura lagi dengan titik air mata yang kembali berjatuhan dari sudut matanya.
“Salahku apa, Zal? Hanya karena aku tidak bisa memberikan seorang anak, lantas aku pantas diperlakukan seperti ini?” tambahnya mulai terisak.
Rizal mengulurkan tangan, mengusap lembut kepala Maura untuk menenangkannya.
“Aku tahu apa yang kamu rasakan. Tapi, Ra, aku minta maaf sekali. Sekarang aku lagi ada pemeriksaan pasien. Kita ngobrolnya nanti saja, ya? Tidak di sini.”
“Tapi, Zal ...”
Rizal berdiri, mengambil sebuah kunci dari laci mejanya. Lalu memberikan kunci itu pada Maura.
“Dua jam. Aku minta waktunya dua jam. Kamu bisa menungguku di apartemen. Setelah pekerjaanku selesai, aku akan segera menemuimu,” kata Rizal.
“Janji ya, kamu cepat datang.”
“Iya, aku janji. Aku keluar sekarang.” Rizal kemudian meninggalkan ruangannya, meninggalkan Maura yang tersenyum melihat kepergiannya.
****
Dua jam kemudian. Rizal benar-benar menepati janjinya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, ia pulang ke apartemen untuk menemui Maura yang sedang menunggunya. Ia punya waktu tiga jam sebelum kembali lagi ke rumah sakit.
Begitu masuk, ia malah dikejutkan oleh Maura yang sedang menenggak bir kalengan. Sudah dua kaleng bir yang kosong. Melihat itu jelas Rizal marah. Langsung direbutnya kaleng ketiga yang ada ditangan Maura.
“Aku sudah melarangmu minum minuman seperti ini. Kenapa kamu keras kepala? Minuman ini tidak baik untuk kesehatan kamu,” omel Rizal. Kemudian memungut semua kaleng bir di meja dan membuangnya ke tempat sampah. Lalu ia kembali duduk di samping Maura.
“Pak dokter, kamu sendiri juga tahu aku ini memang tidak sehat. Aku mandul. Aku perempuan mandul dan tidak berguna,” kata Maura setengah mabuk.
“Kamu masih bisa memberikan keturunan dengan inseminasi buatan atau bayi tabung. Walaupun kamu tidak punya rahim, tapi kamu masih punya sel telur. Kalian masih bisa menyewa rahim orang lain sebagai tempat tumbuh kembang bayi kalian.”
Maura menggeleng. Sudah berulang kali ide itu dicetuskan oleh Yudha. Tetapi Maura enggan, lantaran ia yang sudah terlanjur terluka dan sakit hati dengan omongan ibu mertuanya.
Hubungannya dengan Yudha sebetulnya ditentang oleh Elvi. Tetapi karena Yudha yang memaksa dan terus memohon untuk direstui, Elvi pun terpaksa memberi restu demi kasih sayangnya pada sang anak.
“Tidak. Aku tidak mau memberi keluarga itu keturunan. Aku tidak mau!” tegas Maura.
“Jangan egois, Ra. Tolong pikirkan juga bagaimana perasaan Yudha. Yudha itu sahabatku.”
“Terus gimana dengan perasaanmu sendiri? Kamu hanya memikirkan perasaan Yudha terus. Perasaan kamu sendiri gimana?”
Rizal tak menjawab. Dipandanginya saja wajah Maura.
“Apa kamu pernah bertanya perasaan aku bagaimana selama ini?” Maura menatap Rizal dalam-dalam. Matanya kembali berkaca-kaca.
“Aku kira menjadi istri orang kaya itu hidupnya enak. Tapi ternyata tidak seperti itu. Selama ini aku tertekan, Zal. Aku dituntut untuk menjadi sempurna.” Maura kembali menitikkan air mata. Tangan Rizal sigap mengusap air mata itu.
“Aku pikir tinggal di rumah besar dan mewah itu menyenangkan. Tapi ternyata rumah itu tidak lebih dari neraka, ” tambah Maura. Hatinya pilu mengingat rumah tangganya yang seperti tidak punya kebebasan. Walaupun mereka tinggal di rumah terpisah, bukan berarti mereka lepas dari pengawasan mertua. Tuntutan demi tuntutan dari keluarga itu membuatnya hampir depresi. Mungkin salahnya juga mengapa ia merahasiakan penyakitnya itu.
“Kamu cuma perlu bersabar, Ra. Selama Yudha masih mencintai kamu, semua akan baik-baik saja,” hibur Rizal.
“Kamu sendiri ... apa kamu juga masih mencintaiku?”
Rizal menelan ludah. Merasa tak pantas membuka kenyataan perasaannya yang masih mencintai Maura. Itu sebabnya mengapa ia masih betah sendiri, karena ada Maura yang masih mengisi hatinya.
“Diammu aku anggap sebagai jawaban. Asal kamu tahu, aku juga masih mencintaimu, Zal.” Maura tersenyum tipis tanpa melepas tatapannya. Sampai tatapan itu terputus saat matanya mulai memejam ketika Rizal membenamkan ciuman.
Entah siapa yang memulai, ciuman yang semula biasa-biasa saja itu kini semakin memanas. Desahan lembut Maura mulai terdengar manakala jemari kekar Rizal menjelajah di setiap lekuk tubuhnya. Membuat Maura tak kuasa menahan desakan gairahnya.
Tangan Maura bergerak membuka tautan kancing kemeja Rizal satu per satu. Kemeja itu hendak Maura tanggalkan dari tubuh kekar Rizal saat tangan Rizal kemudian mencegahnya.
“Jangan, Ra. Ini salah,” tolak Rizal. Padahal hasratnya pun kian tak terbendung lagi. Sudah membuncah, sampai membuat napasnya pun terasa sesak.
“Kamu mencintaiku kan? Tolong ijinkan aku bahagia dengan caraku sendiri, Zal.”
“Tapi, Ra_”
“Ya sudah. Kalau begitu aku pulang saja. Maaf sudah mengganggumu. Aku mungkin tidak akan datang menemuimu lagi selain konsultasi. Permisi.” Maura lekas berdiri, menyambar tasnya di meja. Lalu hendak beranjak saat kemudian tangan Rizal menarik pergelangannya sampai ia jatuh terduduk di atas sofa.
Pada kesempatan itu Rizal kembali menyerang, mencumbu Maura dengan perasaannya yang menggebu-gebu. Setiap sentuhan Rizal pun disambut baik oleh Maura. Tidak ada penolakan dari Maura disetiap pergerakannya.
Siang itu pun mendadak menjadi saksi bagaimana panasnya udara di luar sana bersaing sengit dengan panasnya suasana di dalam apartemen saat ini. Sofa itu turut menjadi saksi dimana sebuah batasan kini telah dilanggar.
Di atas sofa itu, Rizal dan Maura telah terlena dan tenggelam dalam lautan asmara, saling membantu dalam mencapai puncak kenikmatannya bersama.
-To Be Continued-
tapi gpp sih kalo ketauan... biar tau rasa tuh si Maura