Airilia hidup dalam keterbatasan bersama ibunya, Sumi, yang bekerja sebagai buruh cuci. Ayahnya meninggal sejak ia berusia satu minggu. Ia memiliki kakak bernama Aluna, seorang mahasiswa di Banjar.
Suatu hari, Airilia terkejut mengetahui ibunya menderita kanker darah. Bingung mencari uang untuk biaya pengobatan, ia pergi ke Banjar menemui Aluna. Namun, bukannya membantu, Aluna justru mengungkap rahasia mengejutkan—Airilia bukan adik kandungnya.
"Kamu anak dari perempuan yang merebut ayahku!" ujar Aluna dingin.
Ia menuntut Airilia membiayai pengobatan Sumi sebagai balas budi, meninggalkan Airilia dalam keterpurukan dan kebingungan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irla26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Andini
Keesokan harinya, Aluna terbangun ketika mendengar suara alarm yang dipasangnya tadi malam.
Semalam, ia sulit tidur setelah mengusir Airilia dari rumah ibunya. Pikirannya terus dipenuhi amarah dan kekecewaan.
Dengan malas, Aluna meraih ponselnya, berharap ada pesan atau panggilan balasan dari Reza. Namun, tidak ada satu pun.
Kesal karena Reza mengabaikannya, Aluna hendak membuka media sosial. Namun, tanpa sengaja, ia melihat Instastory milik Dinda yang memperlihatkan kemeriahan acara empat bulanan kehamilannya.
"Sialan kamu, Mas! Disaat ibuku meninggal, kamu malah asyik merayakan acara empat bulanan Dinda! Awas kamu!" batinnya geram, sembari meremas sprei dengan kuat.
Amarahnya semakin memuncak. Tanpa berpikir panjang, ia berulang kali mencoba menghubungi Reza. Untungnya, pada panggilan ketiga, Reza akhirnya mengangkat teleponnya.
"Ya, ada apa?" suara Reza terdengar datar dari seberang.
"Mas, kamu dari mana? Kenapa kemarin enggak bisa dihubungi? Kamu tahu enggak kalau ibuku meninggal?" bentak Aluna, suaranya penuh emosi.
"Maaf, Aluna. Kemarin aku sibuk dan enggak pegang ponsel seharian. Aku juga baru tahu kalau ibumu meninggal," jawab Reza, terdengar sedikit gugup.
"Sibuk? Sibuk ngurus acara empat bulanan Dinda, maksudnya?" sindir Aluna dengan nada menyakitkan.
"Maaf, Luna, aku..."
"Udahlah! Basi dengan alasanmu! Aku butuh uang untuk acara pengajian ibu, segera kirim sekarang!" potong Aluna dengan tegas.
"Iya, nanti aku transfer. Kapan kamu balik?" tanya Reza.
"Setelah acara pengajian ibu selesai," jawabnya singkat.
"Baiklah, aku tutup dulu. Mau berangkat ke kantor."
Tanpa menunggu jawaban, panggilan itu terputus.
Masih diliputi amarah, Aluna melemparkan ponselnya ke kasur dan melampiaskan kekesalannya dengan menendang serta membanting barang-barang di sekitarnya.
---
Di sebuah pemakaman umum, dua orang wanita tengah berdiri di depan sebuah makam.
Tangan mereka perlahan menaburkan bunga di atas pusara yang bertuliskan "Andini binti Dion."
Andira mengusap nisan dengan penuh kesedihan. "Andini, maafkan aku. Aku baru sempat mengunjungimu," ucapnya lirih.
Di sampingnya, Dinda hanya diam, memandangi makam sang kakak kembarnya dengan mata berkaca-kaca. Andira dan Andini adalah saudara kembar, dengan usia terpaut lebih dari 20 tahun dari Dinda.
"Jika saja aku bisa mencegah kepergianmu waktu itu, mungkin sekarang kamu masih ada bersama kami, bersama anak dan suamimu, Andini," batin Andira, menahan sesak di dadanya.
---
(Flashback 17 tahun yang lalu)
Di sebuah rumah, seorang wanita keluar dari kamar sambil menggendong seorang anak laki-laki berusia dua tahun. Di pundaknya tergantung tas, sementara tangan satunya menyeret koper.
"Andini, kamu mau berangkat sekarang?" tanya Andira yang melihat adiknya keluar dengan terburu-buru.
"Iya, Kak. Aku takut ketinggalan pesawat," jawab Andini, sambil menggeledah tasnya mencari ponsel.
"Kenapa harus buru-buru? Kamu enggak lihat di luar sana sedang hujan lebat?" Andira menatapnya khawatir. Hujan deras mengguyur sejak sore, dan jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam.
"Aku enggak bisa nunggu, Kak. Aku takut Mas Rakha..." Andini terdiam sejenak, suaranya bergetar menahan tangis.
Andira mengusap punggung adiknya, berusaha menenangkannya. Ia tahu bahwa suami Andini, Rakha, baru saja mengalami kecelakaan beberapa jam lalu dan sulit dihubungi.
"Kakak mengerti perasaan kamu. Tapi setidaknya tunggu hujan reda dulu. Kamu enggak kasihan sama Rehan?" ujarnya sambil menatap keponakannya yang terlelap dalam pelukan Andini.
"Aku tahu... tapi..." ucapan Andini terhenti saat ponselnya tiba-tiba berbunyi.
Ia buru-buru menjauh untuk mengangkat telepon. Beberapa menit kemudian, Andini kembali dan duduk di samping Andira dengan wajah penuh air mata.
"Kamu kenapa, Andini?" tanya Andira cemas.
"Sopir yang aku pesan enggak bisa datang. Dia berhalangan," jawab Andini sambil terisak.
Melihat adiknya putus asa, Andira berdiri dan membawa Rehan masuk ke kamar. Beberapa saat kemudian, ia keluar bersama suaminya, Sento.
"Andini, biar Kak Sento aja yang antar kamu ke bandara," ucap Andira.
Mata Andini berbinar penuh haru. "Terima kasih, Kak. Maaf sudah merepotkan Kak Sento dan Kak Andira."
Andira menggeleng pelan sambil tersenyum.
"Andini, biar Rehan sama Kakak aja, ya? Kalau ikut kamu, nanti kamu enggak bisa fokus merawat Rakha," bujuk Andira.
Andini tampak ragu. "Aku takut Rehan rewel, Kak. Aku juga enggak mau merepotkan Kakak terus."
"Enggak kok. Justru kalau ada Rehan, aku enggak akan kesepian di rumah. Kamu tahu kan, wajah kita mirip? Pasti Rehan tetap merasa aku ibunya," Andira mencoba meyakinkan.
Andini terdiam sejenak, lalu mengangguk. Dalam hatinya, ia juga berpikir bahwa ini bisa menjadi kesempatan bagi Andira yang sudah lima tahun menikah namun belum dikaruniai anak.
"Baiklah, Kak. Aku titip Rehan, ya," katanya akhirnya, sebelum memeluk Andira dan mencium putranya yang masih tertidur.
"Hati-hati di jalan, jangan ngebut," pesan Andira sebelum Sento menyalakan mobil.
---
Sento memilih jalan pintas menuju bandara agar mereka bisa tiba lebih cepat. Namun, jalan itu ternyata rusak, berlubang, dan minim penerangan.
Tanpa diduga, mobil yang mereka tumpangi menabrak pembatas jembatan dan terjun ke dalam sungai.
Tragedi itu merenggut nyawa Sento dan Andini.
Berita duka itu mengguncang keluarga mereka.
Andira terpukul.
Dan sejak hari itu, hidupnya tak pernah sama lagi.
Bersambung…