"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
Suasana rumah itu begitu sunyi. Hanya suara detik jam dinding di ruang tengah yang terdengar samar. Lampu di dapur menyala remang, membentuk bayangan dari tubuh seorang wanita paruh baya yang berjalan perlahan mengenakan daster bermotif bunga kecil.
Mama Lingga, yang terbangun karena haus, membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral. Ia meneguknya perlahan sambil sesekali menguap, matanya menyipit melihat jam digital yang tergantung di dekat televisi.
"23.48? Sudah jam segini rupanya," gumamnya. Alisnya sedikit berkerut. Ia memandangi ruang tamu yang sepi. "Lingga? Nak?" panggilnya dengan suara pelan.
Tak ada jawaban.
Ia menatap sekeliling, berpikir. "Mungkin dia udah pulang dan langsung tidur…" pikirnya. Namun firasatnya terasa aneh malam itu. Biasanya, walau pulang malam, Lingga selalu menyapa atau setidaknya meninggalkan pesan singkat.
Didorong oleh rasa khawatir, Mama Lingga melangkah ke arah tangga dan naik ke lantai dua. Sandal rumahnya bersentuhan lembut dengan anak tangga, menghasilkan bunyi halus di antara keheningan. Ia menghampiri kamar Lingga, yang terletak tak jauh dari balkon kecil.
Tok. Tok. Tok.
"Lingga… kamu udah tidur?" tanyanya sambil mengetuk pintu.
Hening.
Ia mengetuk lagi. Tak ada suara. Perlahan, ia memutar gagang dan mendorong pintunya.
Ternyata kamar itu kosong.
Tempat tidur rapi, bantal masih dalam posisi semula. Gorden tak ditarik. Jendela sedikit terbuka membiarkan angin malam masuk. Tidak ada tanda bahwa Lingga sempat kembali ke kamar itu malam ini.
"Kenapa dia belum pulang? Apa aku coba telepon dia ya..."
Panik mulai merambat ke dadanya. Mama Lingga segera turun, bergegas menuju kamarnya. Dengan tangan sedikit gemetar, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja rias dan langsung membuka kontak anaknya.
Satu panggilan. Tak diangkat.
Ia menunggu beberapa detik. Mencoba lagi.
Tak diangkat juga.
"Ya Tuhan... di mana kamu, Lingga?" bisiknya lirih. Napasnya memburu.
Ia mengetik pesan cepat di WhatsApp.
'Nak, kamu di mana? Mama khawatir... Tolong jawab.'
Terkirim? Tidak.
Hanya centang satu. Mungkin antara sinyal ponsel Lingga mati atau ponselnya kehabisan baterai.
Kini kecemasan benar-benar menggulung pikirannya. Ia memandangi layar ponsel, ragu, sebelum akhirnya membuka kontak Nayla.
Tut, tuuut
Panggilan tersambung.
Beberapa dering. Ia nyaris menyerah, tapi akhirnya…
"H-halo?" suara Nayla terdengar di ujung sana, lemah dan lelah.
"Nayla, ini mama Lingga. Maaf mengganggu malam-malam begini… Tapi, Lingga belum pulang. Mama coba hubungi dia, tapi nggak bisa. Apa dia lagi sama kamu sekarang?"
Ada jeda panjang. Di sisi lain, Nayla tercekat.
"Ma… saya juga nungguin dia dari tadi. Dia janji mau jemput jam sembilan, tapi sampai hampir tengah malam… nggak datang-datang. Saya telepon, tapi HP-nya mati terus. Nggak ada kabar sama sekali."
Hening sejenak.
"Astaga… ke mana sih ini anak?" suara mama Lingga mulai panik. "Dia nggak pernah kayak gini sebelumnya, Nayla. Bahkan kalau pulang telat pun dia selalu bilang!"
"Iya, Ma… saya juga bingung. Tadi sempat mikir, jangan-jangan dia kena musibah…" suara Nayla makin kecil. "Tapi saya takut mikir yang aneh-aneh."
Tiba-tiba Mama Nayla yang mendengar pembicaraan lewat telepon itu segera mengambil ponsel Nayla dengan lembut sembari memberi isyarat. Nayla mengangguk setuju.
"Halo? Ini mamanya Nayla, Bu," ucapnya sopan namun tegas. "Saya dengar pembicaraan kalian. Maaf sebelumnya, tapi saya paham bagaimana paniknya Ibu sekarang. Anak saya juga cemas dari tadi."
Mama Lingga menjawab cepat, "Saya nggak tahu harus gimana. Rasanya jantung saya udah mau copot. Lingga anak satu-satunya saya. Dia nggak pernah kayak gini sebelumnya."
Mama Nayla mencoba menenangkan. "Ibu, tenangkan dulu pikiran. Kita harus berpikir positif. Mungkin baterainya habis atau kuota-nya habis. Untuk saat ini, lebih baik kita berdoa. Kita berharap yang terbaik. Kalau sampai besok tidak ada kabar, saya sarankan kita lapor ke pihak berwajib. Tapi malam ini, coba Ibu istirahat. Saya juga akan bantu cari tahu lewat kenalan saya."
Suara mama Lingga terdengar lemas. "Iya… iya, Bu. Terima kasih ya. Saya… saya akan coba tenang."
"Sama-sama, Bu. Kita hadapi ini sama-sama."
Panggilan ditutup. Mama Nayla menatap Nayla yang kini berdiri mematung, matanya tampak berkaca-kaca.
"Ma… aku takut. Aku khawatir..."
"Mama juga, Sayang. Tapi sekarang yang penting kita jangan panik. Kita harus kuat."
Nayla mengangguk, lalu memeluk ibunya erat. Dalam dekapan itu, tak ada yang mereka bisa lakukan malam ini—selain menunggu, berharap, dan berdoa… agar Lingga tak mengalami hal buruk seperti yang ia pikirkan.
*
Cahaya mentari pagi menelusup lembut di antara dedaunan yang masih berembun. Langit mulai beranjak dari semburat ungu ke biru pucat. Embusan angin dari bukit kecil menggoyangkan rumput-rumput liar yang tumbuh tinggi di sisi jalan setapak.
Lingga berdiri di puncak bukit itu, menatap jauh ke bawah. Di kejauhan, di balik hamparan pepohonan dan ladang-ladang kecil, sebuah desa—atau mungkin kota kecil—membentang indah. Atap-atap rumah tampak berjejer, sebagian besar terbuat dari anyaman bambu dan ilalang, namun beberapa sudah berubin merah dan berdinding batu.
"Jadi di sana... Jarwadhi…" bisik Lingga lirih, mengingat ucapan Gandhara semalam.
Senyum tipis muncul di wajahnya yang masih sedikit lelah. Namun semangat mendorong langkahnya lebih cepat.
Ia menuruni bukit itu dengan hati-hati, namun juga tergesa, seperti ada magnet yang menariknya ke sana. Meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih, entah kenapa rasa lelah tak begitu terasa. Mungkin karena harapan bahwa di sana, ia bisa menemukan jawaban, atau sekadar tempat bernaung sementara.
Saat kakinya mulai menyentuh jalan datar yang dikelilingi pepohonan rendah, ia melihat sesuatu.
Seorang gadis.
Sedang jongkok di bawah pohon, memunguti kayu-kayu bakar yang berserakan.
Rambut panjangnya yang hitam legam diikat ke samping dengan pita kain sederhana. Bajunya lusuh namun bersih, rok panjang cokelat tua dan kemben putih yang menutupi bagian dada. Kulitnya kuning langsat, bercahaya di bawah matahari pagi. Peluh menetes dari pelipisnya, namun justru menambah pesonanya yang alami.
Lingga terdiam sejenak. Entah karena kagum… atau karena ia merasa gadis itu adalah bagian dari pesona dunia lain ini.
Lalu ia berlari kecil menghampirinya.
"Maaf, permisi… kamu butuh bantuan?" sapanya ramah.
Gadis itu mendongak dengan kaget, namun tak tampak takut ataupun curiga. Matanya yang besar berwarna cokelat gelap menatap Lingga penuh tanya.
"Ah… iya. Kayu-kayu ini jatuh. Tali pengikatnya lepas tadi saat aku bawa." jawabnya pelan, agak malu.
"Kalau begitu, boleh aku bantu?"
Gadis itu mengangguk, tersenyum simpul. "Boleh… terima kasih, Mas."
Lingga langsung jongkok dan mulai membantu memungut kayu satu per satu. Mereka duduk berdampingan dalam hening yang hangat. Sesekali tangan mereka bersentuhan ketika mengambil kayu yang sama. Hati Lingga berdetak lebih cepat setiap kali itu terjadi.
"Ah iya... ngomong-ngomong bamaku Lingga," katanya sambil tersenyum. "Kamu siapa?"
"Pramitha," jawab si gadis. "Tapi panggil aja Mitha. Semua orang di desa juga memanggilku begitu."
"Senang bertemu denganmu, Mitha."
"Aku juga, Mas Lingga."
Setelah semua kayu terkumpul dan diikat kembali, Mitha berdiri dan mengelap keringatnya dengan lengan bajunya. Ia memandang Lingga sambil sedikit menyipitkan mata.
"Kak Lingga dari mana? Bukan orang desa sini, kan?"
Lingga berpikir cepat. Ia belum siap menjelaskan semuanya. Maka, ia memilih menyederhanakan.
"Aku dari Agniamartha." katanya setengah bohong.
Mitha terbelalak. "Agniamartha?! Yang di utara? Yang ada istana kerajaannya itu?"
Lingga hanya tertawa kecil, sedikit gugup.
"Iya, tapi aku bukan bangsawan. Bukan anggota kerajaan juga. Aku cuma… seorang prajurit biasa. Sekarang sedang menjalankan tugas."
"Ohh…" Mitha tampak sedikit kecewa, namun rasa penasarannya masih besar. "Tugas apa? Berbahaya ya?"
"Haha... bisa dibilang begitu." jawab Lingga singkat. Ia tak ingin terlalu jauh berbohong, namun juga tak tahu sejauh mana ia bisa jujur tentang semua ini.
Mitha mengangguk pelan. Ia mengambil kayu yang sudah terikat, dan menggendongnya di punggung. Kemudian, ia menatap Lingga dengan senyum ramah.
"Karena Mas udah bantu aku… mau nggak mampir ke rumah? Istirahat sebentar. Jauh juga, ya, dari Agniamartha ke sini. Pasti Mas Lingga kecapekan."
Lingga menatap wajah Mitha. Ada kehangatan di sana, yang membuat dadanya terasa damai. Ia pun mengangguk.
"Aku nggak keberatan. Terima kasih atas tawarannya."
Mitha tersenyum lebar. "Ayo, rumahku nggak jauh dari sini kok."
"Baiklah..."
Mereka berjalan berdampingan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi semak dan ladang jagung. Langkah mereka lambat, namun perasaan di antara mereka mulai tumbuh, perlahan tapi pasti seperti pagi yang merangkak menjadi siang.
Namun, diperjalanan menuju pintu masuk desa, seorang pria bertubuh kekar bertelanjang dada menghadang Mitha. Wajahnya menunjukkan raut tak senang dan mungkin marah.
"Mitha! Siapa pria itu!"
***