Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?” tanya Nadia.
“Tidak akan mungkin itu terjadi,” sarkas Yudha.
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya sebatas ranjang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Dipecat
Dipecat
“Sudah siap menerima pemecatan?” tanya Yudha.
Bu Nana terkejut mendengarnya. Ia hanya bisa menelan ludah, tidak berani melayangkan pertanyaan apapun. Anggukan kepalanya itu cukup menjadi jawaban atas pertanyaan Yudha.
Sedangkan Nadia didera rasa bersalah yang teramat besar. Padahal yang salah itu dirinya, dan seharusnya ia yang dipecat.
“Sudah tahu apa kesalahanmu?” tanya Yudha lagi, masih dalam posisi duduknya sambil memangku sebelah kaki.
“Saya tahu saya salah, Pak. Untuk itu saya memohon maaf yang sebesar-besarnya, dan saya siap menerima konsekuensinya,” kata Bu Nana sedikit membungkukkan badannya. Jika ditanya, sebetulnya ia tidak siap menerima konsekuensi ini, tetapi mau bagaimana lagi. Hal ini tentu menjadi tanggung jawabnya sebagai HR Manajer.
Bu Nana juga tidak menyangka Yudha akan kembali menggunakan kamar itu setelah sekian lama pria itu disibukkan dengan pekerjaannya. Biasanya atasannya itu lembur dan memilih beristirahat di dalam kamar ini. Namun beberapa bulan belakangan pria itu memilih pulang ke rumah.
“Pak, tolong jangan lakukan itu, Pak. Saya yang salah. Saya yang memaksa Bu Nana mengijinkan saya bermalam di kamar ini.” Nadia berusaha membela Bu Nana. Tidak seharusnya wanita itu dipecat karena kesalahannya.
“Kalau kamu tahu aturan di sini lalu kenapa kamu memaksa?” tanya Yudha beralih memandangi wajah Nadia yang tampak bersih walaupun tanpa pulasan make up namun tetap terlihat manis.
“Sa-saya ... saya ...” Nadia terlalu malu sebenarnya mengakui ia tak punya tempat tinggal lagi sekarang. Ia baru saja diusir dari rumahnya sendiri yang sudah digadaikan mendiang orangtuanya beberapa tahun lalu.
“Dia tidak punya tempat tinggal. Dia baru saja mendapat musibah. Saya terpaksa mengijinkan dia tidur di kamar ini hanya untuk semalam. Tidak lebih karena saya merasa kasihan, Pak. Dia juga sudah berjanji akan pergi pagi-pagi sekali.” Bu Nana terpaksa memberitahu alasan sebenarnya mengapa ia mengijinkan Nadia bermalam di kamar pribadi atasannya ini. Semoga saja atasannya itu mengerti.
“I-itu benar, Pak. Bu Nana tidak salah, saya yang salah. Seharusnya saya yang dipecat, bukan Bu Nana. Dan saya sudah siap meninggalkan pekerjaan saya sekarang juga asalkan Bapak tidak memecat Bu Nana,” ujar Nadia, kemudian menoleh memandangi Bu Nana yang juga menoleh kepadanya.
Siap tidak siap, Nadia tetap harus menerima konsekuensi dari kesalahannya ini. Berani berbuat maka ia juga harus berani bertanggung jawab. Tadinya ia menganggap sepele hal ini. Ia pikir tidak akan ada yang tahu ia masuk ke dalam kamar pribadi Yudha. Dan lagipula Yudha sudah lama tidak menggunakan kamar ini, jadi ia pikir ia akan aman malam ini. Tapi ternyata hal ini malah membawa petaka buatnya.
“Sudah berapa lama dia bekerja di sini?” tanya Yudha mengalihkan pandangan pada Bu Nana.
“Baru beberapa hari, Pak,” jawab Bu Nana.
“Sebagai HR Manajer seharusnya kamu memperhatikan karyawan. Jangan sembarangan merekrut. Hotel ini dikenal karena pelayanannya yang baik. Lalu, jika karyawannya seperti ini, apa yang akan terjadi nanti dengan hotel ini? Yang jelas aku tidak mau kalau sampai citra hotel ini tercoreng hanya gara-gara kesalahan satu karyawan yang seperti ini.”
“Maafkan kesalahan saya, Pak. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi,” ujar Bu Nana seraya menunduk dalam. “Lain kali saya akan lebih memperhatikan karyawan dan tidak akan sembarangan merekrut. Jika itu sampai terjadi lagi, saya siap diberhentikan kapanpun,” tambahnya.
Yudha menghela napasnya panjang sembari matanya memperhatikan Bu Nana dan Nadia silih berganti. Raut wajahnya pun tampak serius.
Untuk kesalahan yang satu ini rasanya ia tidak perlu lagi untuk mempertimbangkan. Ia tahu keputusan apa yang harus diambilnya. Sebab selama ini belum pernah ada satu pun karyawannya yang berani masuk ke dalam kamar pribadinya ini selain diperintahkan untuk membersihkannya.
Pandangan Yudha kemudian terhenti sejenak pada wajah Nadia. Wajah semanis itu terlihat cemas, seolah ada ketakutan yang disembunyikan.
Pandangannya lalu turun ke bawah menyusuri sepanjang tubuh Nadia yang hanya berbalutkan celana training dan kaos oblong. Sangat sederhana, terlihat biasa saja namun tak mampu menghalangi pesonanya. Ia merasa aura Nadia sangat berbeda dengan wanita-wanita cantik dan seksi yang pernah ditemuinya.
“Kamu dipecat!” kata Yudha dengan tegas.
****
Rembulan malam tampak temaram di atas sana. Seolah enggan menampakkan sinarnya. Jam di ponsel sudah menunjukkan angka 12 tapi Nadia masih tak tahu ke mana ia harus pergi. Siap tidak siap ia harus tetap menerima konsekuensi dari kesalahannya itu.
Bu Nana masih diberi kesempatan, sedangkan dirinya diberhentikan tanpa diberi pesangon sepeserpun.
Nadia berjalan lesu di tepian jalanan yang sepi malam itu sambil menggeret koper tanpa arah dan tujuan. Wajah lelahnya terlihat cemberut. Di malam yang semakin larut ini ia tak tahu harus ke mana dan di mana ia harus berteduh. Kakinya terus melangkah tanpa tujuan.
“Kasihan sekali nasibmu, Nadia. Sudah tidak punya uang, diusir dari rumah, dipecat pula. Entah kamu mimpi apa semalam sampai nasibmu seperti ini,” keluhnya dengan perasaan sedih.
Nadia hanya bisa menghela napasnya panjang. Sungguh ia tak menyangka nasibnya seperti ini. Sudah kehilangan pekerjaan, kehilangan tempat tinggal pula.
Namun meski begitu, ia masih bersyukur karena Yang Kuasa masih memberinya tubuh dan jiwa yang sehat.
Sekarang, yang harus ia pikirkan terlebih dahulu adalah dimana sekiranya tempat yang bisa ia gunakan untuk beristirahat malam ini saja. Ia kemudian mengedarkan pandangan, mencari tempat berteduh malam ini.
Sembari melangkah pelan, matanya ikut mencari. Sampai pandangan matanya terhenti pada sebuah Mushola yang ada di seberang jalan.
Nadia mengembuskan napasnya lega. Malam ini ia bisa tidur di Mushola dulu. Besok pagi-pagi sekali ia akan mencoba mencari pekerjaan dan tempat tinggal dengan bermodalkan uang yang tidak seberapa.
“Malam ini aku tidur di Mushola itu saja daripada aku tidur di jalanan. Mudah-mudahan di tempat itu aku aman, setidaknya hanya untuk malam ini saja,” ujarnya kemudian melangkah pergi sambil menggeret koper.
Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat dua pemuda tak dikenal datang menghadangnya. Dua pemuda berpakaian preman itu memandanginya dengan tatapan genit.
“Hai manis ... mau ke mana malam-malam begini?” tanya salah seorang pemuda dengan tatapan genitnya memindai tubuh Nadia. Jakunnya terlihat naik turun menelan ludah melihat kemolekan tubuh Nadia.
Perasaan takut juga panik menyerang Nadia bersamaan. Kakinya mengambil langkah mundur perlahan untuk menjauhi dua pemuda itu.
“Kenapa bawa-bawa koper segala? Kamu pasti kabur dari rumah, ya? Ikut Abang saja, yuk. Kalau kamu ikut Abang, Abang pastikan kamu aman sentosa,” kata pemuda yang satunya lagi sembari mendekat.
“Tolong jangan mendekat. Jauh-jauh dariku. Kalau tidak, aku bakal teriak,” ancam Nadia dalam ketakutannya. Berharap dua pemuda itu gentar lalu pergi meninggalkannya.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Dua pemuda itu malah semakin mendekat, sampai berani menyentuhnya.
Nadia menghindar, menepis tangan nakal dua pemuda berandalan itu. “Jangan berani pegang-pegang, ya. Pergi kalian. Kalau kalian berani mendekat lagi, maka aku akan_”
“Aaah ... banyak bacot kamu.” Dua pemuda nakal itu tidak mempedulikan ancaman Nadia. Mereka malah nekat menarik tangan Nadia, menyeret Nadia untuk ikut bersama mereka.
“Lepaskan aku. Lepaskan. Jangan kurang ajar kalian ya.” Nadia berontak, menarik-narik tangannya dengan kuat agar terlepas.
Dua pemuda itu menertawakan Nadia. “Kita akan bersenang-senang, manis. Daripada kamu terlunta-lunta di jalanan, lebih baik kamu bersenang-senang bersama kami.”
“Tidak! Aku tidak mau! Tolong ...” Nadia memekik sekencangnya.
Malam itu terlihat sangat sepi. Kendaraan pun hanya beberapa saja yang melintas. Ketika dua pemuda itu menyeret Nadia, tidak ada lagi satu pun kendaraan yang lewat. Sampai kemudian tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam berhenti tak jauh dari mereka. Lalu dari mobil itu turun seorang pria gagah, datang menghampiri dengan langkah panjang, lalu kemudian ...
BUGH!
-To Be Continued-
ngomong rindu tp giliran diladeni ngomong capek ngantuk, kan pengin /Hammer//Hammer//Hammer/
suami mulai ada tanda tanda dengan bawahnya....klop deh