--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 25
Jadwal penyembuhan kutukan itu adalah malam ini.
Tapi sudah lewat dari waktu yang biasa, Aegle belum menunjukkan batang hidungnya.
Xavier masih menunggu tanpa beranjak dari ruangan sama yang biasa dia melakukan sesi itu dengan Aegle.
“Kita lihat apakah kau akan datang ....”
Tiga hari lalu, Satoru membawa kabar tentang Aegle, hasil dari menguntit sesuai perintah Xavier yang ditulis ninja itu di sehelai kertas.
Dia mendatangi bangunan seperti rumah, yang di dalamnya berisi para pria dan wanita bertopeng dengan pakaian gelap yang jumlahnya terhitung hanya sepuluh.
Lalu berlanjut panjang.
Aegle memiliki sejenis asosiasi, yang pekerjaannya terbilang sangat mulia. Katakan saja sejenis badan amal tersembunyi.
Mengapa tersembunyi? Tentu saja agar tersamar dari penciuman istana Kaisar. Tidak ada asosiasi apa pun yang bergerak tanpa izinnya apalagi beroperasi hanya saat malam hari saja.
Xavier sangat tahu poin aturan itu, dia tidak membuat asumsi sembarang.
Setiap malam Aegle dan anggotanya membagikan makanan pada para penduduk miskin---anak jalanan dan orang tua renta yang tak lagi mampu bekerja. Mereka yang muda terkumpul di tempat yang ditulis oleh Satoru, untuk mendapat bimbingan dan pembelajaran seperti sekolah bisnis. Dan Aegle adalah pemimpin dari asosiasi yang mulia itu.
Sesekali mereka melakukan pelatihan beladiri hingga berpedang dan lain-lain.
“Luar biasa,” gumam Xavier seraya memainkan bayangan dalam kepala. Ada kekaguman dari sorot matanya. Aegle dan dunianya yang gelap ....
Saat ini, langit malam dari jendela nampak tak secerah biasa. Tak ada bintang yang saling bicara dalam kedipan.
Mengingat laporan terakhir dalam tulisan tangan Satoru, membuat Xavier merasa sedikit resah. Sudah dua hari Aegle tak terlihat di antara rekan-rekannya di asosiasi itu.
“Dan malam ini pun mungkin dia tak akan datang untuk lanjutan penyembuhan kutukanku.” Kebingungan menyergap padanya seorang diri.
Dalam keadaan itu, ranjang single di tengah-tengah ruang dihampiri Xavier lalu merebah di sana. Dua tangannya melipat sebagai sanggaan kepala meskipun bantal begitu empuk. Memaksa memejamkan mata yang hanya bisa terpejam tapi tak bisa lelap, apalagi sampai menempuh mimpi.
“Aku tetap akan menunggu.” Dia memutuskan. Katup kelopak matanya terus berkedut-kedut, mungkin sampai besok tidak akan bisa tertidur.
Selang beberapa waktu, hampir menjelang pagi.
KRIEEET!
Derit suara pintu terdengar parau, lalu terbuka perlahan.
Mata Xavier yang hanya terpejam ayam sontak terbuka, lalu melirik cepat ke satu arah.
“Kau datang?!” Terperanjat dan langsung bangkit, mendapati Aegle sudah berdiri di dekat pintu.
“Ya! Maaf atas keterlambatanku,” kata Aegle seraya melangkah ke dekat kursi, lalu melepas jubah yang membalut badan.
“Apa ada masalah?” Xavier mendekat ke arah sama.
“Begitulah," jawab Aegle, gelas berisi air diambilnya lalu meneguk isi dengan gerakan seperti seharian tak jumpa minum.
Mata Xavier mengamatinya. “Apakah itu serius?” Dia tidak sedang mengomentari cara minum Aegle yang serampangan.
Sesaat Aegle terdiam, menatap Xavier dari balik topengnya dengan makna sulit ditebak. “Tidak terlalu serius, tapi cukup membuat pusing.”
“Kau baik-baik saja?”
“Ya. Lumayan baik hingga bisa sampai di sini dengan selamat.”
Tatapan Xavier mencuat ke mata itu, hanya mata. Terkadang dalam diam dia menyumpahi topeng sialan yang kenapa harus menghalangi apa yang sangat ingin dipandanginya.
“Apa kau perlu bantuanku untuk menghadapi kesulitanmu?” tanyanya lantas, lalu mengendurkan keseriusan dan memasang sikap yang mulai santai. “Ya, siapa tahu saja kau membutuhkannya. Aku akan dengan senang hati mengulurkan tangan.”
Untuk sekian detik Aegle terpaku diam, mencerna untaian kata yang dilontarkan Xavier, lalu menjawab setelah meraih keputusan tepat dalam kepala, “Tidak perlu!” tolaknya sembari membenamkan bokongnya juga, duduk berhadapan dengan lelaki itu. “Aku masih bisa membereskannya sendiri.”
“Tapi aku tak yakin kau dalam kondisi prima," timpal Xavier lagi. Dia jadi kedengeran sok perhatian. “Aku harap kau selalu baik-baik saja. Jangan sakit atau apa pun yang menyulitkanmu.”
Sementara membuat Aegle seperti berada dalam posisi tercenung. Tatapannya beku di wajah Xavier. Pria itu mendadak banyak bicara.
Mungkin ada sedikit kesalahpahaman dalam cara Aegle menanggapi sikap Xavier yang seperti itu, jadilah konyol karena terbawa perasaannya.
“Tatapanmu.”
Satu kata Xavier yang itu berhasil membuatnya terperanjat.
“Ke-kenapa? Memangnya ada apa dengan tatapanku?” Sembari membuang wajah dan salah tingkah.
“Jangan buat tatapanmu seperti itu. Jangan salah paham. Aku ingin kau tetap baik-baik saja karena penyembuhanku masih di tahap tengah. Aku punya istri yang harus kubahagiakan. Kecuali ada sisi lain dalam dirimu yang bisa membuatku berpaling darinya.”
What?!
Kenapa terdengar aneh di telinga Aegle.
Sekarang dia jadi resah sendiri. “Apa yang kau bicarakan sebenarnya? Memangnya kau pikir apa yang kuharapkan?”
Dan dengan tanpa dosa, Xavier malah mengangkat bahu.
“Cih!" Sikap itu membuat mood Aegle jadi sedikit berantakan. Membanting wajah dengan dengan kerlingan mata yang bermakna tak habis pikir.
“Jangan terbawa apa pun! Fokuslah pada pengobatan sekarang. Hargai dirimu sendiri yang sudah memaksakan datang walau kau punya masalah.”
Lagi!
Sampai akhir Aegle mengalah karena tak punya kata yang tepat untuk menimpal. Pria itu jadi seenak jidat.
“Baiklah. Siapkan dirimu,” katanya, mendadak ingin cepat keluar.
Xavier patuh.
Ini kebutuhannya.
Sesi langsung dimulai tanpa babibu setelah Xavier melepas baju.
Bagian perut hanya sekejap karena tidak terlalu lebar. Aegle juga masih punya tenaga dan nampak segar.
“Hah, akhirnya ...!” Dia menarik napas. “Ke bagian selanjutnya saja agar cepat selesai dan aku bisa terbebas dari tugasku.”
“Kau yakin?” tanya Xavier.
“Ya! Cepatlah!” Aegle tak sabar.
Tapi ngomong-omong ....
“Sekarang bagian bawah tubuhku? Apakah aku harus membuka celana?”
DOENG!
“Benar!” Aegle baru ingat itu dan seketika melebarkan mata. “Bagian atas tubuhnya sudah sempurna putih. Dan sekarang? ... Ya, Dewa! Bagian bawah! Betis ... paha ... dan ....”
“I-itu ... te-tentu jaja k-kau arus bu-buka celana!” jawabnya dengan nada berantakan karena malu.
Xavier terkekeh kecil. “Baik, sesuai harusnya.”
“Aku harus profesional,” Aegle memejamkan mata seraya meringis, terus menekan diri agar hatinya tak bergemuruh. “Ayo buka saja! Keburu pagi jika lama berpikir. Aku tak ingin dilihat orang di saat matahari mulai keluar.”
“Aku tidak akan berpikir lama," sergah Xavier seraya berdiri. “Justru aku menunggu dirimu. Siapa tahu kau akan terganggu dengan aku yang tanpa celana.”
Aegle menelan ludah. “Dengan kalimat yang sangat lancar, dia bahkan tak canggung membuka celana di hadapanku.”
Dia memang sering menyembuhkan orang, tapi sampai buka-buka celana begini, tentu saja itu pertama kali.
Jadi sangat canggung.
JRENG!
Dengan kesat ludah di mulut Aegle didorong lagi ke tenggorokan.
“Aku siap! Bagaimana kau akan melakukannya?!”
Selesai. Xavier sudah duduk kembali dalam keadaan hanya bercelanadalam.
Aegle memejamkan mata lagi, sesaat saja, menarik napas dan mengembuskannya perlahan, lalu .... “Baiklah. Ayo lakukan!”
“Profesional! Profesional!” Mantra dalam hati Aegle.
“Ini sungguh tidak baik untuk jantungku!" Lalu ingin tenggelam saja.
Tapi ....
“Aku hanya perlu memejamkan mata. Akan kulakukan dengan cepat!”
Perlahan namun pasti, Aegle menempelkan dua tangannya, terbagi kiri dan kanan kedua bagian paha Xavier.
Sebenarnya bukan hanya Aegle, Xavier juga merasa tak nyaman untuk kali ini, hanya dia bisa menutupi dengan caranya. Telapak tangan dingin Aegle yang menempel di kedua paha terasa seperti menyengat sesuatu dalam dirinya. Tapi dia terus menepis keresahan itu dan mulai menekan diri untuk segera berkonsentrasi.
“Fokus! Fokus! Fokus!”
Setelah merapal itu lagi, Aegel mulai menarik mana dalam dirinya, mengalirkan melalui kedua telapak tangan. Seketika cahaya biru benderang menguar di lingkup itu.
Masing-masing perasan konyol telah tenggelam dalam keseriusan.
Xavier mulai meringis menahan sekuat tenaga rasa panas yang membakar bagian bawah tubuhnya.
Entah disadari atau tidak, setelah beberap saat, dua telapak tangan Aegle naik merambat hingga ke bagian pangkal paha Xavier.
Dan itu mengejutkan Xavier sendiri sampai ....
“Cukup!”
Aegle sontak membuka mata, cahaya biru dari mana-nya langsung meredup hilang.
“Ada apa?!” tanyanya.
Xavier diam sesaat, lalu balik bertanya, “Apakah gerakanmu barusan itu bagian dari penyembuhan ini?”
“Apa?" Aegle bingung, lalu paham saat Xavier mengkode dengan matanya, langsung dia merunduk melihat ada di mana kedua telapak tangannya berada sekarang.
JREEENG!
Saat itulah dunia Aegle terasa runtuh, mata dalam lingkaran topeng membelalak sempurna.
Dua telapak tangannya ditahan Xavier, letaknya ada di bagian yang paling mulia sedunia tubuh lelaki itu.
Barulah Aegel sadar dan menjerit, “Aaaarrrgh!”
😍😍😍
😘😘😘🔞🔞🔞