Kamar jenazah, bagian dari rumah sakit yang agak dihindari. Misteri dan kisah mistis apa yang dialami oleh Radit Krisna yang bekerja sebagai petugas Kamar Jenazah. Tangisan yang kerap terdengar ketika menjalani shift malam, membuat nyalinya terkadang ciut.
Berhasilkah Radit melewati gangguan yang terjadi dan mengungkap misteri tangisan tersebut?
===
Hanya untuk penggemar kisah horror. Harap tidak membaca dengan menabung bab ya.
Follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25 ~ Jenazah Siapa?
Deo berteriak seakan kesetanan, meninggalkan kamarnya menuju kamar sebelah. Yaitu kamar Dio. Mengetuk dengan kencang sambil terus berteriak. Pintu kamar akhirnya terbuka, Dio yang masih mengucek matanya hampir saja tersungkur karena didorong oleh Deo dan langsung menutup pintu dan menguncinya.
“Kamu kenapa sih?”
“Di kamar aku, ada … yang jahat.”
“Hah, pencuri?” tanya Dio. “Kita cek dulu, gimana kalau dia bawa senjata terus ….”
“Tidak usah, malam ini aku tidur di sini. Terserah kamu mau di sofa atau di lantai,” titah Deo lalu merebah di atas ranjang. Merasakan dingin dari pendingin udara karena tidak mengenakan atasan hanya celana pendek saja.
“Ck, sudah numpang, tapi galak.” Dio menuju sofa, melirik kakaknya menarik selimut menutupi tubuhnya.
Cukup lama tidak bisa terlelap, sedangkan Dio sudah terbuai di alam mimpi terdengar dari dengkuran halusnya.
“Bisa-bisanya dia langsung tidur.”
Brak.
Terdengar suara dari pintu balkon kamar Dio. Perasaan Deo sudah tidak karuan, pandangannya tertuju ke arah pintu. Namun, tidak terdengar apapun lagi selain dengkuran Dio dan detak jam dinding.
***
Radit tidak peduli lagi dengan Deo, ia hanya fokus menghindari gangguan dari arwah Mirna yang kembali datang. Karta sempat menghubungi Radit, ujung-ujungnya mereka sempat berdebat karena pria itu yakin Deo memang tidak bersalah.
Dari pada merusak persahabatan mereka, Radit pun mengatakan terserah dan tidak peduli dengan masalah Deo.
“Kamu kenapa Dit, ibu perhatikan kamu gelisah terus.”
“Oh, nggak apa-apa Bu,” jawab Radit tidak ingin membuat ibunya khawatir.
“Jangan kebanyakan minum kopi, lebih baik wedang jahe biar tidak masuk angin.” Saran ibu mengingat malam ini, ia kembali melaksanakan shift malam dan besok off bertugas.
“Iya, bu. Aku pamit ya,” ujar Radit.
Baru jam delapan malam, tapi ia sudah meninggalkan rumah meskipun jadwalnya akan dimulai jam sepuluh malam. sambil menunggu jam kerjanya, Radit berada di kantin untuk minum kopi dan merokok bersama Zul yang juga sudah ada di sana.
“Muka lo nggak enak banget dilihatnya, kayak yang … frustasi gitu.”
“Perasaan gue nggak enak. Ck, nggak tahulah,” sahut Radit, ia khawatir kalau Mirna kembali mengganggunya. Kenapa juga harus mengusik ketenangannya bukan Deo yang jelas-jelas jahat dan harusnya mempertanggung jawabkan kesalahannya selama ini.
“Namanya juga bergelut sama jenazah, wajar kalau perasaan lo nggak enak.”
Radit mengajak Zul ke kamar jenazah karena sudah ada Lena di sana dan ia diejek oleh Zul karena berhasil mendapatkan cinta sang dokter. Padahal keberadaan Lena untuk membuktikan kalau memang Mirna kembali lagi dan penasaran.
“Kerja ditemani pujaan hati memang beda, rasanya semangat-semangat gimana gitu,” cetus Zul lalu terkekeh.
Ada meja baru di samping meja administrasi, Lena duduk di sana sibuk dengan tablet dan ponselnya. Sedangkan Radit dan rekan-rekannya sudah mulai beraktifitas. Ada keluarga menjemput jenazah, lalu disibukan dengan merapikan tempat pemandian jenazah.
Sudah hampir pukul satu pagi, tidak ada gangguan apapun. Bahkan Lena sampai memasuki ruangan bagian dalam di mana ada lemari penyimpanan jenazah. Tidak melihat keanehan atau penampakan Mirna, meskipun ia melihat sosok lain yang memang biasa dilihat olehnya.
“Udah tenang kali,” gumam Radit.
“Ya baguslah, kalau memang begitu.”
Zul dan rekannya menjemput jenazah pasien VIP. Rekan yang satunya sedang giliran istirahat dan pergi mencari makan. Radit bersiul sambil mempersiapkan kedatangan jenazah, saat pintu ruang dalam terbuka sendiri.
“Astaga,” ucap Radit. Yang ia tahu cukup sulit membuka pintu itu dan sekarang pintu itu terbuka sendiri, padahal selalu dalam keadaan terkunci.
Srek
“Mulai dah,” ujar Radit berusaha untuk tetap berani meskipun kakinya seakan gemetar mendengar suara tirai digeser. “masing-masing aja, kita sudah beda alam,” cetus Radit entah ditujukan untuk siapa.
“Kamu bicara dengan … astagfirullah,” pekik Lena. Ia mendengar Radit bicara lalu memasuki ruang tengah. Teriakannya membuat Radit terkejut dan sempat mengumpat.
“Ngagetin aja,” ujar Radit.
“Dit, dibelakang kamu,” tunjuk Lena ke arah belakang.
“Jangan bercanda, ah.” Lena menggeleng pelan. Radit menarik nafasnya, sebelum perlahan berbalik dan melangkah mundur melihat Mirna , ya Mirna duduk di dipan tempat memandikan jenazah.
“Mirna, kembali ke tempatmu. Di sini bukan lagi dunia kamu,” usir Lena.
Mirna yang duduk dengan wajah menunduk perlahan mengangkat wajahnya. penampilanya seperti penampakan jenazahnya saat ditemukan. Luka di dahi dan di lehernya membuatnya terlihat menyeramkan.
“KAMU SUDAH MEMBANTU DEO MEMBUNUHKU!” tunjuk Mirna pada Radit. “AKU AKAN BAWA KAMU IKUT DENGANKU!”
Grap. Brak.
“Aaa.”
Tubuh Radit terpental hanya dengan gerakan tangan Mirna.
“Radit tidak bersalah, Deo yang sudah membunuhmu. Lepaskan dia, jangan menjadi iblis yang jahat. Sewaktu kamu hidup, kamu orang baik jangan jadi arwah penasaran. Kembali ke asalmu,” tutur Lena.
Radit beranjak sambil memegang kepalanya yang berdarah karena terbentur dinding.
“Mirna, aku tidak kenal kamu dan tidak ada urusan dengan hubungan kalian. Bagaimana bisa aku bantu Deo membunuhmu. Memang Deo meminjam motorku, tapi aku tidak tahu kalau akan digunakan untuk mengantarkan kamu dan berakhir dengan pembunuhan.”
“Hiks … bohong.”
“Pergilah atau kami akan paksa kamu pergi dari dunia ini,” ancam Lena.
Sosok Mirna tidak lagi menangis. “DIA BERJANJI AKAN MENGANTARKU!” teriak Mirna lalu … hilang.
“Hah, kemana dia?” tanya Radit, Lena bergegas memeriksa kepala Radit yang terluka. “Apa mungkin Mirna mencari Deo.”
“Urus saja kepalamu sendiri, lihat nih … berdarah.”
Telepon di meja administrasi berdering, Radit bergegas menjawab. Ia hanya mengatakan baik dan siap lalu mengakhiri percakapan. Lena sibuk membersihkan dan mengobati luka di kepala Radit sambil pria itu menjawab telepon.
“Ada jenazah dalam perjalanan, keluarga minta proses otopsi.”
“Pembunuhan?” tanya Lena dan Radit hanya mengedikkan bahu.