NovelToon NovelToon
JANJI Yusuf Dan Sari

JANJI Yusuf Dan Sari

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / nikahmuda / spiritual / Pengantin Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: David Purnama

Kisah asmara antara Yusuf seorang pemuda yang sedang dalam pencarian jati dirinya dengan Sari sang bunga desa. Lika-liku perjuangan kehidupan dan jalan yang telah digariskan mempertemukan mereka. Novel ini bercerita tentang cinta, persahabatan, kondisi sosial dan semangat pantang menyerah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon David Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24 RESTU

Berjalan kaki dari jalan besar menuju ke rumahku di desa Tunggal tidak pernah semelegakan ini. Meski waktu itu matahari juga belum sepenuhnya muncul sehari semalam di dalam bus benar-benar membuat badanku pegal-pegal.

Hampir satu minggu aku meniggalkan ibuku sendirian di rumah. Aku mengunjungi mas Hadi dan juga isterinya yang kini sudah mendiami rumah kontrakan baru. Aku juga untuk pertama kalinya berjumpa dengan keponakanku. Menginap di sana melihat bagaimana sebuah rumah tangga dengan segala kesehariannya terasa mendamaikan. Meskipun terkadang diselingi dengan perbedaan pendapat tapi memang seperti itulah layaknya sebuah hubungan. Aku senang melihat mas Hadi begitu bahagia bersama dengan anak dan isterinya. Mungkin kebersamaan inilah yang membuatnya rela untuk berganti pekerjaan meskipun harus dengan upah yang lebih sedikit dan memulai segala sesuatunya dari awal lagi.

Tujuanku ke Jakarta tidak hanya untuk ke rumah mas Hadi saja tapi aku juga begitu senangnya karena aku bisa berkunjung ke rumah bapak untuk pertama kalinya. Rumah bapak adalah salah satu diantara rumah-rumah yang terletak di komplek perumahan para pekerja yang disediakan oleh perusahaan dimana tempat bapak bekerja. Meskipun rumah itu terbilang kecil tapi aku bersyukur sekarang aku bisa menemui bapak kapan saja.

Berjalan dengan santai sambil menikmati pemandangan di kiri kanan aku membayangkan bagaimana jika suatu saat nanti jalanan menuju rumahku ini akan berubah menjadi jalan-jalan seperti yang aku temui di kota-kota besar itu. Pemandangan hijau seperti ini hanya bisa dinikmati ketika bus yang aku tumpangi melewati daerah kota-kota kecil itu pun sudah jarang-jarang. Udara sejernih ini pun sama sekali tidak aku rasakan ketika aku menginjakkan kaki di kota. Rasanya rindu juga walaupun aku hanya beberapa hari saja pergi dari sini.

Pintu rumah terbuka mungkin ibuku sedang keluar. Aku masuk ke rumah lalu segera saja aku duduk di kursi dan menaruh tas bawaanku di meja. Aku meregangkan otot-ototku. Aku mendengar suara. Suara itu berasal dari dapur yang terletak di bangunan rumah paling belakang. Ketika aku menajamkan pendengaranku mataku melihat sebuah kertas yang terletak di meja dimana aku menaruh tasku. Aku mengambil kertas itu lantas aku ingin membaca tulisan apa yang ada di kertas itu sebelum suara yang berasal dari dapur itu semakin terdengar lebih jelas. Itu sebuah percakapan. Itu suara Ibuku dia berada di rumah. Aku mendekatkan diri ke dinding kayu yang berada di luar ruangan itu. Aku dekatkan telingaku di sela-sela bilik kayu. Aku pun mencuri dengar.

“Aku minta tolong sama mbak Yati.”

“Pasti mbak juga merasakan bagaimana perasaan seorang ibu. Kita ini sama-sama perempuan. Tentu saja kita ingin anak-anak kita hidup dengan kebahagian yang jelas tidak hanya soal perasaan saja. Aku juga ingin melihat anakku hidup dalam berkecukupan tanpa adanya masalah pelik soal kebutuhan-kebutuhan hidup. Mbak pasti tahu apa yang aku bicarakan. Kita ini sama-sama pernah merasakannya mbak bagiamana awalnya kita dulu sama-sama di sini.”

“Sari itu masih muda. Suatu saat nanti dia juga akan mengerti.”

“Mbak sendiri tahu bagaimana sekarang nasib anak itu. Dia baru saja mulai kerja. Hidupnya masih belum jelas. Mbak tahu kan bagaimana riwayat keluarganya. Bapaknya pergi. Ibunya pergi.”

“Aku takut mbak terjadi hal-hal seperti itu menimpa anakku.”

Dari nada bicara yang tadinya begitu marah kini Mbak Sri seperti begitu mengiba ketika berbicara kepada ibuku.

“Iya Bu”, jawaban ibuku yang terdengar gemetar.

“Bukannya aku membenci atau tidak suka padanya atau keluarganya mbak. Aku juga ikut bersyukur jika memang dia masih hidup.”

Aku mulai bingung dengan pembicaraan antara ibuku dengan Mbak Sri ini.

“Sari sekarang sudah mulai lupa dan sudah bisa menerima orang baru. Apalagi hubungan ini juga sudah berjalan ke arah yang serius. Jadi aku benar-benar minta tolong sama mbak Yati untuk merahasiakan kabar ini untuk sementara waktu saja. Jangan sampai Sari tahu. Soal mas Dul biar aku yang bilang kepadanya.”

“Iya Bu.”

Percakapan itu selesai dengan suara isak tangis dari Mbak Sri yang masih terdengar olehku. Ia pun pulang melalui pintu belakang yang terdapat di dapur. Aku bergegas masuk ke dapur mendapati ibuku sedang duduk bersimpuh dilantai tanah dengan linangan air matanya.

Ibuku masih terdiam ketika melihatku. Aku mengurungkan niatku untuk bertanya ada apa sebenarnya. Biarlah dia yang mulai bercerita dahulu. Sesaat aku teringat dengan sebuah kertas yang kuambil dari atas meja, kertas itu masih berada dalam genggaman tanganku. Aku pun membalik kertas itu dan mencari tulisan apa yang terdapat di kertas itu. Kini aku pun duduk termangu dilantai tanah dapur bersama ibuku.

Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaanku saat itu. Surat itu dari Yusuf. Ternyata dia masih hidup. Dalam surat itu juga ada tulisan-tulisan yang seharusnya aku berikan kepada Sari.

Ada perasaan senang mendengar kabar bahwasanya sahabatku itu tidak jadi mati. Tapi tidak bisa dipungkiri sekarang rasa marah benar-benar memenuhi kepala dan dadaku. Setelah berunding dengan ibu kami pun sepakat untuk memberitahukan kabar ini kepada bapak. Rasanya aneh juga jika benar Yusuf masih hidup kenapa bapak belum tahu kabarnya sampai sekarang. Soal Sari dan juga keluarganya Ibuku melarangku untuk ikut campur karena memang itu adalah urusan keluarga mereka. Ibu juga menjelaskan bahwa hubungan antara Sari dan mas Bambang sudah masuk ke jenjang yang serius antara kedua keluarga.

Sore harinya aku dan Ibu pergi ke rumah Yusuf kami merasa kabar ini sudah menjadi hak neneknya untuk mengetahui bahwa cucu satu-satunya masih hidup. Tapi mungkin saat itu kami lupa akan satu hal. Nenek memang sejak di hari pertama menerima kabar tentang kematian Yusuf dia sudah tidak percaya dan meyakini kalau memang cucunya masih hidup. Sesampainya di rumah nenek kami disindir habis-habisan.

“Kalian dulu mengatakan aku ini gila. Sekarang siapa yang gila?”, kata nenek.

Ketika Ibuku menyinggung sola kabar ini dan juga kaitannya dengan Sari nenek bilang. “Iya Ti aku sudah tahu. Aku tidak bakal ngomong-ngomong dulu sampai cucuku pulang.”

Belum genap satu hari tiba di rumah aku harus mengulang perjalanan yang sama untuk pergi lagi ke tempat Bapak di Jakarta. Tapi memang persoalan ini tidak bisa ditunda-tunda.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!