Karna, seorang pemuda sebatang kara yang dipungut sejak masih bayi oleh Mpu Angalas pada masa kerajaan Majapahit. Karna kemudian dididik berbagai ilmu kesaktian yang mengambil inti sifat Alam, yaitu Tirta Gumulung (Air), Tapak Dahana (Api ), dan Bayu Bajra (Angin). Di samping itu, Karna yang kemudian dikenal sebagai Ksatria Angker mendapat anugerah ilmu dari Alam Semesta yang merangkum semua sifat alam dalam ajian Sapu Jagad yang bersifat Langit dan Bumi. Ilmu inilah yang harus disempurnakan oleh Ksatria Angker dalam setiap petualangan dan pertempuran.
Setelah dinyatakan lulus belajar ilmu kerohanian dan bela diri oleh gurunya, Ksatria Angker berangkat ke Kota Raja Majapahit. Di sana ia bertemu dengan Mahapatih Gajah Mada dan direkrut sebagai Telik Sandi ( mata-mata) yang bertugas melawan musuh-musuh Negara yang sakti secara pribadi untuk mewujudkan impian Gajah Mada mempersatukan Nusantara.
Novel fantasi dunia persilatan ini bukan hanya bercerita tentang perkelahian dan jurus2 yang mencengangkan, namun juga ada intrik politik masa silam, strategi tugas mata-mata, juga dilengkapi dengan berbagai latar belakang sejarah, istilah-istilah Jawa Kuno yang diterjemahkan, serta penggambaran cara hidup masa lalu yang diharapkan mampu membuat pembaca ikut tenggelam ke alam pikiran pada masa Majapahit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agus Amir Riyanto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25 KUDA PUTIH SI JULIG
Setelah makan besar berupa ayam goreng dan lalapan lengkap dengan sambal tomat dan terasi yang dipesan sebagai pembalasan dendam telah dikerjai Kidang Panah, Julig santai setengah berbaring menyelonjorkan kaki bersandar di dinding kayu warung. Perutnya agak membuncit dan badannya sedikit berpeluh kekenyangan. Sambil memejamkan mata menikmati perut yang terisi penuh, Julig mengipasi tubuhnya dengan kipas anyaman bambu yang tersedia di warung.
Perawakan Julig yang sedikit lebih mungil dibandingkan dengan kebanyakan laki-laki ditambah kulitnya yang putih bersih dan wajahnya yang sangat tampan hingga berkesan ayu membuat sekilas seperti seorang bocah nakal sedang kelelahan setelah bermain. Pada saat bersamaan, pemilik warung masuk ke ruangan untuk menanyakan apa ada lagi tambahan pesanan makanan. Melihat Julig berbaring, ia mengira Julig adalah anak Kidang Panah yang tertidur karena lelah.
" Maaf, Raden. Apa tidak sebaiknya putra Anda tidur di kamar yang sudah kami siapkan?' tanya pemilik warung.
Kidang Panah menoleh ke arah Julig, demikian juga dengan Karna.
Kidang Panah mengerutkan kening. Ia tidak bisa memastikan pemilik warung itu sedang bicara dengan siapa. Dengan dirinya atau dengan Karna yang dikira ayahnya Julig. Maka ia diam saja.
Karna yang melhat penampilan mungil tampan Julig maklum kalau pemilik warung mengira Julig adalah seorang bocah. Tiba-tiba timbul keinginannya untuk menggoda Julig. Ia diam-diam menikmati suasana saat Kidang Panah mengerjai Julig. Ternyata kehidupan di dunia ramai menyenangkan juga kalau dibawa bercanda. Maka, dengan terlebih dulu menepuk lengan Kidang Panah untuk memberi isyarat diam, Karna berkata, " Oh...iya, Kang. Dia keponakan kami. Umurnya masih dua belas tahun. Kasihan, tampaknya kelelahan karena perjalanan jauh. Kalau Kakang ada pembantu, mohon keponakan kami digendong saja ke kamar tidur."
Kidang Panah menahan tawanya mendengar Karna berkata bahwa umur Julig masih dua belas tahun. Tapi sebenarnya yang membuat Kidang Panah lebih geli karena melihat Karna ternyata bisa juga bercanda, sementara sejak pertemuan pertama selalu bersikap serius dan terlampau sopan..
Mendengar permintaan Karna, pemilik warung segera memanggil pembantunya, " Wito, sini! Pondong adik kecil ini ke kamar tidur!"
Pembantu pemilik warung yang bernama Wito segera datang. Ia seorang laki-laki bertubuh kekar dengan otot yang menonjol di sekujur lengan. Tampaknya Wito adalah pembantu spesialis angkat berat. Tanpa mengucapkan kata sepatah pun Wito melangkah menuju tubuh Julig untuk mengungkapkan. Sementara Julig masih memejamkan mata dan asik menikmati kenyangnya perut sama sekali tidak mendengar dan tidak tahu sedang dikerjai Karna.
Lengan Wito yang kekar sebesar dahan pohon mangga dengan gampang menyusup ke bawah tekukan kaki Julig yang ukurannya tak lebih dari setengah lengannya. Hanya sekali gerakan tubuh Julig terangkat dalam bopongan Wito.
Julig terkejut begitu membuka mata melihat dirinya sudah dibopong orang asing bertubuh besar. Seketika ia berontak, '" Apa-apaan ini? Aku mau dibawa ke mana?"
Tapi Wito bukannya menjawab, justru memeluk tubuh Julig lebih kuat hingga Julig tak mampu meloloskan tubuhnya selain menggeliat-geliatkan tubuh dengan sia-sia. Semakin Julig memberontak, makin kencang dekapan Wito.
" Ba...baaa...baaaa...baaaaa, " Wito berkata tak jelas maksudnya.
Karna dan Kidang Panah mengerutkan kening tak paham mengapa Wito hanya bicara 'ba-ba-ba'. Mereka menatap pemilik warung secara bersamaan.
Pemilik warung yang merasa ditatap Karna dan Kidang Panah berkata untuk menjelaskan," Maaf, Raden. Pembantu saya Wito ini gagu karena lidahnya cacat sejak lahir. Ia hanya bisa mendengar, tapi tidak bisa bicara. "
" Oooo....dia gagu?" ujar Kidang Panah.
Karna yang sedang menikmati asiknya bercanda meneruskan rencananya untuk mengerjai Julig.
" Tidak masalah kalau Kang Wito gagu, yang penting adik kecil ponakan saya yang nakal ini bisa dia bawa tidur di kamar, " ujar Karna.
Pemilik warung mengangguk, " Iya, Wito. Bawa saja adik kecil itu ke kamar."
Mendengar kata-kata Karna, Julig jadi tahu bahwa ia sedang dikerjai Karna. Julig sama sekali tidak menyangka bahwa Karna bisa jahil juga. Tapi Julig justru senang, ia bisa membalas Karna atas situasi itu.
Dengan menggeliat-geliatkan badan seperti anak kecil mengamuk, Julig berteriak, " Aku mau bobok asal didongengi dulu sama bibi Savitri. Kalau paman Jaka Wingit ndak bisa manggil bibi Savitri ke sini, aku ndak mau bobok!"
Mendengar nama Savitri disebut, wajah Karna berubah memerah dadu. Sebagai seorang lelaki yang sedang jatuh cinta, mendengar nama wanita yang dicintainya disebut, seketika hatinya terlanda rindu. Karna tidak menyangka kalau Julig ternyata tahu rahasia perasaan terpendamnya pada Savitri. Seketika Karna mati kutu tidak mampu bereaksi. Keluguan keperjakaannya membuat wajah Karna menunduk wajah malu.
Kidang Panah yang jauh lebih berpengalaman dalam hal asmara segera paham pasti ada hubungan istimewa antara Karna dengan wanita yang bernama Savitri, meski ia belum kenal dengan pemilik nama itu. Melihat reaksi Karna yang tertunduk malu, ia merasa kasihan dan bermaksud mengakhiri kekakuan itu.
" Kakang pemilik warung, dia bukan anak saya, tetapi adik saya. Namanya Jaka Julig. Dia bukan anak kecil, tapi karena terlalu tampan dan tubuhnya mungil jadi sekilas seperti anak kecil. Coba dilihat lagi."
Pemilik warung itu menatap Julih lebih seksama. Setelah diamati, dia baru sadar kalau Julig tidak semuda yang ia bayangkan. Perawakan yang agak kecil dibandingkan rata-rata lelaki, kulit yang bersih halus dan wajah yang sangat tampan membuat tampilannya sekilas seperti perempuan atau bocah.
" Maaf, maaf...saya tidak tahu, Raden, " ujar pemilik warung dengan agak gugup takut disalahkan. " Wito, turunkan Raden Jaka Julig!"
" Baaaa...baaaa...ba," jawab Wito sambil menurunkan tubuh Julig.
Julig yang belum puas membalas dendam pada Karna tertawa mengikik, " Kenapa kakang Jaka Wingit diam? Kangen ya sama mbokayu Savitri? Hihihi...."
Kidang Panah melirik wajah Karna yang masih memerah. Ia menepuk-nepuk bahu Karna untuk mengalihkan perhatian, " Wingit...Wingit... tidak perlu khawatir. Nanti sesampai di Kotaraja, jangankan hanya satu Savitri, ribuan wanita yang lebih cantik dari Savitri pasti tergila-gila begitu melihat kesaktianmu."
Karna diam tak menjawab, gantian Julig yang tidak terima, " Kang Kidang bilang begitu karena belum pernah saja lihat mbokayu Savitri. Cantiknya mbokayu Savitri itu liar biasa. Kalau saya sih yakin, belum tentu ada putri kraton yang lebih cantik dari Savitri. Ya kan, Kang Wingit?"
Karna menghembus napas pendek. Ia kembali menguasai perasaan yang sesaat dilanda rindu pada sosok Savitri. Dengan halus ia berkata, " Mohon maaf, Kakang pemilik warung. Dari tadi saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Jaka Wingit. Mohon diterima salam saya, " ujar Karna sembari menangkup tangan hormat.
Pemilik warung itu terkesiap melihat sikap Karna yang demikian rendah hati. Dengan sangat segan ia membalas hormat Karna, " Ah, Raden ini. Harusnya saya memperkenalkan diri terlebih dulu malah keduluan. Nama saya Subagya, lebih sering dipanggil Bagya sesuai nama warung saya, Warung Bagya. Sembah bhakti saya untuk Raden bertiga."
" Baik, kang Bagya. Sebenarnya kami ingin membeli seekor kuda yang cukup baik untuk adik kami Jaka Julig. Apa ada penjual kuda di sekitar sini?"
" Ah, tidak perlu membeli, Raden Jaka Wingit. Di sini banyak pedagang kuda. Tapi sayangnya kuda hasil ternak Ya namanya kuda ternakan, mana bisa setangguh kuda liar. Saya sendiri kalau ada saat sela suka berburu dan menjinakkan kuda liar. Koleksi kuda saya banyak. Silahkan pilih saja. Tak perlu membayar."
" Tidak bisa begitu, Kang Bagya. Sebutkan saja kuda terbaik yang kakang punya. Saya bayar sesuai harganya," sahut Karna.
Julig yang mendengar percakapan itu tiba-tiba nyeletuk dengan nada tinggi, " Ini yang mau menaiki kuda itu aku atau siapa sih?"
Karna menatap Julig, " Tentu saja kau, Julig."
" Kalau aku yang naiki kudanya, harusnya aku yang milih. Bukan kang Wingit yang menentukan. Memangnya aku anak kecil?'
' Ya, Julig. Maaf, silahkan kau yang bicara dengan kang Bagya. Maafkan aku."
Julig menahan ketawanya. Ternyata Jaka Wingit yang ia kenal masih juga lugu mesii tadi sempat mengerjainya, tapi tidak tahu bahwa ia hanya pura-pura marah.
" Aku mau kuda warna putih. Pokoknya kuda warna putih sesuai warna kulitku dan harus beda dengan kudanya kang Kidang maupun kang Wingit!" ujar Julig meneruskan pura-pura marahnya. Padahal ia hanya menggertak saja.
Wajah Bagya tiba-tiba berubah sumringah dan tertawa, " Hahaha...Jagad Dewa Bathara! Justru kuda terbaik punya saya yang akan saya tawarkan memang berwarna putih mulus. Namanya si Seta ( Putih). Cerdas, bregas ( sigap), tangkas. Pokoknya sempurna."
" Hah?" Julig gantian yang kaget. Maksudnya hanya bercanda untuk mempersulit Karna, tapi justru Bagya memiliki kuda putih yang sangat langka. " Kang Bagya benar-benar punya kuda putih?"
" Benar, Raden Jaka Julig. Kuda Seta saya adalah kuda terbaik di kota ini. Saya sangat bangga bila si Seta menjadi tunggangan Tuan."
" Oh... bisa dibawa sekarang?" tanya Julig penasaran.
" Tentu saja. Kandangnya ada di belakang warung. Tunggu sebentar biar saya tuntun ke sini sekarang juga."
Tanpa membuang waktu Bagya mengundurkan diri untuk mengambil kuda Seta.
Tak lama kemudian, seekor kuda putih mulus yang sangat tampan penampilannya dibawa Bagya di depan warung. Mata Karna dan Kidang Panah yang sangat memahami kualitas kuda dibuat terkagum-kagum oleh penampilan kuda Seta. Sementara Julig kegirangan mendapatkan kuda yang luar biasa bagus sekelas dengan kuda Gelap milik Karna segera melompat ke punggung kuda itu untuk mencoba laju larinya.
Seperti bocah mendapatkan mainan idaman, Julig mencongklang kuda untuk membuktikan kemampuan istimewa yang diceritakan Bagya. Ia memacu kuda Seta berlarian bolak-balik di sepanjang jalan deoan warung.
Sementara Julig masih asik bermain-main dengan kuda barunya, Kidang Panah membuka percakapan sambil mengunyah sirih, " Karna, aku mau membicarakan tugas berat yang harus selesaikan."
Karna mengangguk, " Iya, kang Kidang. Tapi Julig masih asik mencoba kudanya. Nanti saja setelah Julig selesai, kita baru bicara."
Kidang Panah mengerutkan alisnya, " Ini tugas antara kita berdua saja."
Karna tersenyum, " Bukan kita berdua. Tapi kita bertiga."
" Maksudmu Julig harus tahu juga? Apa Julig punya kemampuan berkelahi seperti kamu? Ini tugas yang sangat berat. Kemungkinan yang akan kita hadapi orang-orang sangat sakti. Apa Julig bisa? Julig kau ajak hanya untuk menghibur di perjalanan kan? Bukannya aku merendahkan Julig, aku juga sangat suka pada kemurnian pribadi Julig. Ia kuanggap sebagai adikku. Lihat saja, sekarang dia malah kesenangan bermain dengan kuda barunya. Apa justru tidak membahayakan keselamatan jiwanya jika ia dilibatkan dengan urusan pelik menghadapi orang-orang sakti?"
Karna tersenyum, " Saya akui, saya mengenai Julig baru sepekan ini. Tapi Julig telah menunjukkan banyak kelebihan yang tidak saya miliki. Saya kira, masalah kehidupan tidak semuanya bisa diselesaikan dengan kekuatan atau kesaktian, tapi juga dengan kecerdikan. Julig memang berpenampilan seperti bocah, tetapi sesungguhnya itu hanya masalah pembawaannya. Ia memiliki banyak kemampuan yang jauh lebih berguna daripada kesaktian di saat-saat khusus. Saya bisa berkata begini karena saya pernah mengalami, saat kecerdikan Julig menyelesaikan masalah yang tidak mampu saya pecahkan di pelataran Wisma Gagak Nagara, Kang."
" Kau yakin Julig harus dilibatkan dalam misi kita ini?"
Karna mengangguk. " Saya yakin kemampuan Julig akan biss membantu kita menyelesaikan masalah kita."
Kidang Panah menatap mata Karna untuk menilai sejauh mana keyakinannya pada Julig. Setelah menilai kesungguhan tatapan mata Karna, ia pun berkata, " Baik, kau panggil Julig sekarang juga. Kita tidak memiliki banyak waktu untuk tugas Negara ini. Nanti selambat-lambatnya matahari menggelincir ke Barat, penghubung dari Wilwatikta pasti datang ke sini untuk menyampaikan perintah langsung dari Mahapatih Gajahmada tentang apa yang harus kita lakukan hari ini di kota ini "
Karna terkejut mendengar nama Gajahmada sebagai pejabat kepala pemerintahan harian Negara di bawah Raja disebut. Berarti tugas yang akan diemban mereka sungguh tidak main-main. Tingkatnya sudah kepentingan Negara tertinggi, konsekuensinya, kegagalan atau keberhasilannya berdampak pada nasib jutaan kawula Majapahit.
" Mahapatih Gajahmada, Kang?"
" Iya, " Kidang Panah menghembuskan napas dalam. " Makanya, aku tadi tanya padamu, apa Julig harus ikut memikul beban tugas yang tidak boleh gagal karena menyangkut nasib jutaan kawula semajapahit, bahkan se-nusantara ini. Tapi karena kau tampaknya sangat yakin, baiklah. Panggil Julig sekarang."
Karna sejenak termangu setelah membayang besarnya tugas yang harus ia selesaikan. Sempat terbersit juga rasa ragu apa Julig memang harus dilibatkan. Namun karena mengingat kejadian di pelataran Wisma Gagak Nagara di mana dengan mudah Julig mampu menyelesaikan masalah yang menurutnya sangat rumit, ia segera memanggil Julig.
" Julig, sini! Biar kuda Seta istirahat makan. Kau ke sini sekarang juga!"
Mendengar teriakan Karna, Julig menarik kekang secara mendadak hingga kuda Seta meringkik menaikkan dua kaki depannya. Julig menuntun kuda itu lalu menambatkan dan berjalan memasuki warung.
" Ada apa sih kang Wingit? Iri ya lihat saya punya kuda bagus?" kata Julig cengengesan.
Karna tidak menanggapi gurauan Julig. Dengan raut serius berkata, " Sini duduk. Ada hal yang sangat penting mau disampaikan kang Kidang."
Julig meski sering cengengesan sebenarnya sangat cerdas. Melihat ekspresi kesungguhan di wajah Karna, ia pun membuang sikap candanya.
" Iya, Kang. Saya siap mendengar."
***
alurnya TDK terfokus pada satu pemeran
author mencoba gaya novelis zaman ko ping ho
matur nuwun 🙏
berkah untuk Jaka Julig
sungguh sukses mampu mencampuradukkan perasaan 😆