Arya Susena, adalah seorang pemuda yang berniat untuk melakukan sesuatu untuk orang yang sangat ia cintai. Dendam yang telah membara ia gantikan dengan upayanya membebaskan penderitaan rakyat dari kekejaman para penguasa. Dengan adanya kelompok kegelapan yang ia dirikan berharap meringankan penderitaan rakyat. Saat itu ia mengatakan sebuah kebenaran pada Raden Kanigara Lakeswara tentang dirinya yang sebenarnya. Bahwa ia bukanlah putra dari Prabu Maharaja Kanigara Rajendra, melainkan dari Prabu Maharaja Kanigara Maheswara.
Demi mengembalikan tahta ke tangan yang sah!. Arya Susena dan Raden Kanigara Lakeswara bekerja sama. Keduanya bersumpah akan membebaskan penderitaan rakyat dari kekejaman pemimpin yang sangat serakah.
Meskipun tidak mudah?. Namun bagi mereka itu adalah perjuangan yang akan mereka kenang sepanjang hidup mereka. Bahwa hati mereka menjerit sakit ketika melihat penderitaan rakyat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Retto fuaia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEBUAH TINDAKAN
...***...
Sekitar lima orang prajurit yang telah meronda di desa Sumur Tua, mereka hanya ingin memastikan apakah ada rakyat yang masih meminta bantuan dari kelompok pendekar kegelapan atau tidak.
"Hei! Kalian!." Wanki memanggil beberapa teman-temannya.
"Ada apa kakang?." Ranki salah satu anak buahnya.
"Apakah kalian merasakan? Ada yang aneh dengan desa ini?." Ia melihat sekitarnya.
"Saya rasa tidak ada yang aneh." Balasnya. "Memangnya apa yang kakang lihat?." Ia terlihat bingung.
Plak!.
Kepalanya menjadi sasaran dari amukan Wanki yang terlihat sangat ganas.
"Kenapa kakang memukul saya?." Ia terlihat takut. "Apa salah saya?." Ia meringis sakit.
"Apakah kau tidak lihat?!." Bentaknya dengan suara yang sangat keras. "Tidak ada satupun penduduk di sini!."
Mereka juga melihat keadaan sekitar, memang tidak ada satupun orang di sana.
"Tidak mungkin mereka semua pergi ke ladang!." Kali ini ia melihat ke arah teman-temannya. "Bahkan anak-anak dan wanita yang biasanya lalu lalang pun, tidak terlihat di sini!."
"Memang agak aneh kakang." Ia berjalan beberapa meter ke depan. "Rumah mereka, tertutup sangat rapat." Lanjutnya. "Tidak ada tanda-tanda orang di sini kakang." Ia telah memastikannya. "Apa yang harus kita lakukan kakang?."
"Kalian, hubungi pihak istana." Jawabnya. "Aku merasakan firasat yang buruk." Lanjutnya. "Jangan sampai, mereka merencanakan hal yang aneh-aneh."
"Baik kakang."
Tiga orang prajurit lainnya segera pergi dari tempat, hanya tinggal Wanki dan Ranki saja.
"Bagaimana dengan kita kakang?."
"Kita lihat keadaan sekitar."
"Baiklah, mari."
Akan tetapi beberapa langkah ia hendak meninggalkan tempat?.
Shukh!.
"Eagkh!."
"Ranki!."
Wanki sangat terkejut, tiba-tiba saja Ranki berteriak dengan sangat keras, ada sebuah belati kecil yang menancap di punggungnya.
"Kakang."
"Ranki!."
Wanki mencoba membantu Ranki untuk duduk, jantungnya berdetak kencang melihat bagaimana darah segar mengalir di punggung Ranki.
Prajurit yang lainnya juga ikut membantu, mereka melindungi Ranki yang tampak kesakitan.
"Sakit sekali kakang." Ia meringis sakit.
"Tenanglah ranki." Wanki mencoba untuk mencabut belati itu.
"Sepertinya ada penyusup di desa ini kakang." Entah kenapa ia malah berpikiran seperti itu. "Sebab tidak mungkin rakyat lemah di desa ini berani melakukan ini."
"Kalau begitu aku yang akan mencarinya." Wanki membantu Ranki untuk berjalan.
"Aku rasa tidak perlu." Suara seorang wanita yang berbicara?.
Saat itu ada sekelebat bayangan yang melompat ke arah Wanki dan Ranki.
"Kalian tidak akan keluar dari sini dengan selamat." Sorot mata itu seperti seekor HArimau yang telah siap memangsa.
"Hei! Siapa kalian?." Tunjuknya dengan kasar. "Ada urusan apa kalian kemari?! Hah?!." Wanki sangat panas melihat itu.
"Tentu saja membunuh kalian." Balasnya dengan senyuman lebar. "Memangnya apa lagi?."
"Bedebah!." Wanki mengumpat dengan kasarnya. "Berani sekali kau berkata seperti itu padaku!." Bentaknya. "Apakah kau tidak mengetahui? Kau sedang berhadapan dengan siapa?! Hah?!." Hatinya semkin panas.
"Prajurit bodoh utusan raja kejam." Balasnya. "Aku tahu itu." Darsana mendengus kecil.
"Kurang ajar!." Wanki sedikit berjongkok, menurunkan Ranki. "Tenanglah ranki." Ucapnya dengan pelan. "Tunggu akau sebentar di sini." Perlahan-lahan ia menurunkan Ranki. "Biar aku ringkus kedua cecunguk busuk ini." Ia membantu Ranki untuk terbaring di tanah.
"Kakang." Tatapan matanya sangat sedih. "Jangan terlalu lama." Lanjutnya. "Aku bisa kehabisan darah." Suaranya hampir saja tidak terdengar.
"Aku janji." Balasnya. "Dalam sekali gebrakan saja." Ucapnya dengan penuh percaya diri. "Akan aku bunuh kedua pendekar itu." Ia kembali berdiri, dan menatap tajam ke arah Patari dan Darsana.
"Apakah telingamu masih sehat darsana?." Patari tersenyum lebar. "Rasanya aku sangat takut mendengarkan ucapannya." Ucapnya dengan perasaan aneh. "Jika dia ingin mengalahkan aku?." Tunjuknya ke arah dirinya sendiri. "Dalam satu gebrakan saja?." Ia mendengus kesal.
"Ya, dia memang mengatakan seperti itu tadi." Respon Darsana sangat santai. "Lantas kau mau apa?." Darsana kali ini merasa bosan. "Dia itu prajurit pilihan loh?." Darsana berbicara seakan-akan memanasi Patari.
"Wah? Dia prajurit ya?." Patari malah berkata seperti itu. "Aku jadi takut." Raut wajahnya memang menggambarkan betapa takutnya ia saat itu.
"Kalian tidak usah banyak bicara!." Hatinya terasa tidak bisa dikendalikan lagi. "Berani sekali kalian merendahkan aku!." Wanki merasa terhina dengan ucapan mereka.
"Lihat?." Darsana menepuk pundak Patari. "Dia mulai marah padamu." Darsana mencolek kepala Patari dengan sangat isengnya.
"Kau ini sangat menyebalkan!." Saat itu tangannya melayang ke arah Darsana, akan tetapi pemuda itu menunduk.
Duakh!.
"Eagkh!." Wanki berteriak kesakitan, ia terkena pukulan keras itu.
"Ahaha!." Darsana tertawa keras. "Kau ini memukul ke arah mana?." Ucapnya dengan nada mengejek. "Aku di sini loh?." Lanjutnya dengan raut wajah aneh. "Masih depanmu." Darsana malah menertawakan Wanki yang terjungkang setelah mendapatkan pukulan keras itu.
"Diam kau bedebah!." Patari jengkel dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh Darsana. "Berani sekali! Kau menghindari serangan dariku!." Hati Patari sangat panas.
"Kalau kau belum puas?." Balas Darsana. "Maka kau bisa mengejar aku." Darsana sengaja mengatakan itu, dan setelah itu ia langsung mundur beberapa langkah.
"Ucapanmu itu tidak sesuai dengan apa yang kau katakan." Patari semakin tersulut emosi.
...***...
Tempat persembunyian.
"Kakang warsa jadi." Rampus memberi hormat.
"Oh? Kau rupanya." Warsa Jadi terlihat sedikit terkejut.
"Ada apa kakang?." Rampus memperhatikan keadaan Warsa Jadi. "Sejak bertemu dengan si sombong wira surya, kakang terlihat sangat murung sekali."
"Kau melihat kedatangan mereka?."
"Saya hanya melihat dari kejauhan saja." Jawabnya. "Saya malas sekali berbicara dengannya." Lanjutnya. "Lebih baik saya memotong kayu di hutan, dari pada berbicara dengannya."
"Hahaha!." Warsa Jadi tertawa mendengarnya. "Kau ini bisa saja."
"Memangnya? Apa yang kakang bicarakan dengannya?."
Warsa Jadi terlihat menarik, dan menghela nafas pelan. "Ini masalah yang dilakukan arya susena."
"Maksud kakang, mengenai kabar terbunuhnya? Raden kanigara lakeswara?."
"Ya." Jawabnya. "Ia bertanya, apakah arya susena menceritakan rencana pembunuhan itu pada saya atau tidak." Sorot matanya sangat jauh sekali. "Dia berkata, dia diusir arya susena." Lanjutnya dengan tawa kecil.
"Diusir arya susena?." Rampus bingung.
"Ya, dia diusir arya susena."
"Anak kakang satu itu sangat berani sekali."
"Haduh!." Keluh Warsa Jadi dengan perasaan heran. "Dia itu kalau sudah tidak suka pada seseorang, jangan harap dia akan menaruh hormat pada orang itu."
"Sama halnya dengan mendiang Gusti Patih." Ingatannya tertuju pada sosok Patih Arya Saka. "Arya susena benar-benar salinan sempurna Gusti Patih, ketimbang kakangnya."
"Ya, itu sangat benar."
"Lantas? Bagaimana pendapat kakang sendiri?."
"Mengenai kabar itu?."
"Ya."
"Saya sangat percaya, arya susena memiliki rencana baik." Jawabnya. "Ia tidak mungkin, melakukan tindakan yang gegabah."
"Saya rasa memang seperti itu kakang." Responnya. "Semoga saja, arya susena secepatnya memberi kabar baik itu pada kita kakang."
"Ya, semoga saja adi."
Hanya itu saja harapan mereka semua.
...***...
Istana.
Prabu Maharaja Kanigara Rajendra baru saja kembali dari wisma Putra, tidak sengaja bertemu dengan istrinya.
"Ada kanda?." Ratu Aristawati Estiana mendekati suaminya. "Kenapa kanda terlihat murung seperti itu?."
"Di mana kedua putra kita?." Kening sang Prabu terlihat mengkerut. "Kenapa keduanya tidak ada di istana ini?."
"Kanda mencari putra kita?." Ratu Aristawati Estiana tersenyum lembut.
"Kanda ingin bermain-main dengan mereka."
"Tadi, keduanya pamit pada saya."
"Pamit?." Sang Prabu sangat terkejut. "Pamit ke mana?."
"Katanya, mereka ingin menikmati suasana kota Raja." Jawab Ratu Aristawati Estiana. "Katanya, sudah sangat lama sekali, tidak jalan-jalan ke kota Raja."
"Bersama siapa mereka ke sana?." Prabu Maharaja Kanigara Rajendra semakin cemas.
"Kanda tenang saja." Ratu Aristawati Estiana tersenyum lembut. "Ada triasti yang menjaga mereka."
"Oh?." Respon Prabu Maharaja Kanigara Rajendra. "Baiklah kalau begitu."
"Kanda sudah tenang?."
"Kalau mereka bersama triasti." Jawab sang Prabu. "Kanda tidak perlu cemas lagi."
"Kalau begitu, mari temani dinda."
"Ke mana?."
"Ke taman istana."
"Mari dinda."
"Terima kasih kanda."
Prabu Maharaja Kanigara Rajendra memperlakukan istrinya dengan sangat romantis, membuat Ratu Aristawati Estiana merasakan kebahagiaan yang luar biasa.
...***...
"Kegh!." Wanki meringis sakit, dadanya terasa sangat sakit. "Sial!." Umpat Wanki kesal. "Aku hampir saja tidak bisa bernafas." Wanki mengatur tenaga dalamnya.
"Hei!." Teriak Patari, suaranya sangat keras. "Jangan main kabur-kaburan saja kau!." Patari masih saja mengejar Darsana yang menertawakan dirinya?.
"Kau itu kan pendekar?." Darsana terus berlari, menghindari serangan Patri. "Lah? Kok galak-galak gitu? Ahaha!." Darsana semakin mengejek. "Nanti kau terlihat semakin jelek."
"Kurang ajar!." Umpat Patari penuh kemarahan yang membara. "Rupanya kau ingin! Merasakan jurus milikku!." Patari memainkan sebuah jurus yang sangat tidak biasa.
"Huwoh!." Darsana sedikit takut melihat itu. "Kau ini memang sangat menyeramkan sekali nini." Darsana sedikit bergidik ngeri melihat itu.
"Kau rasakan jurus milikku ini." Ia telah sia-siap dengan jurusnya. "Jangan coba-coba untuk menghindari serangan dariku kali ini!." Matanya melotot tajam.
"Memangnya siapa yang takut?." Balas Darsana. "Pada seorang wanita pemarah seperti kau." Darsana terus bergerak, dan ia sampai di depan Wanki.
"Awas saja kalian!." Wanki mencoba bangkit. "Akan aku balas apa yang telah kalian lakukan padaku." Wanki mulai bisa bergerak, ia hendak menghajar Darsana yang membelakanginya. "Mati lah kau bajingan busuk!." di tangannya telah siap golok yang tajam.
"Serang aku kalau kau bisa." Darsana memanasi Patari yang telah siap-siap melepaskan pukulannya yang dilambari dengan tenaga dalam yang ia miliki.
"Kau rasakan ini! Hiyah!." Patari tidak tanggung-tanggung menyerang Darsana.
Namun disaat yang bersamaan, Wanki yang hendak menyerang Darsana dari belakang?.
"Maaf saja." Darsana melompat tinggi. "Tubuhku masih mulus, aku tidak mau jadi korban amukan kalian berdua."
Sehingga ketika Patari melepaskan pukulan batu menghantam pohon, pukulan itu malah mengenai dada Wanki dengan sangt telak
Duakh!.
"Egakh!." Wanki berteriak dengan sangat keras, dadanya seakan-akan terasa hancur setelah menerima hantaman itu. Ia terguling di tanah dalam keadaan terluka parah.
"Kakang!" Ranki sangat terkejut mendengarkan suara teriakan ketuanya. "Apa yang terjadi padamu kakang?." Dalam keadaan sakit seperti itu ia mencoba untuk bangkit.
"Uhuk!." Wanki muntah darah. "Sial!." Umpatnya. "Rasanya sangat sakit sekali." Dalam hatinya mengutuk apa yang telah ia alami.
"Huwoh!." Darsana melotot melihat itu. "Kau benar-benar menghajarnya nini." Darsana malah bersorak kegirangan.
"Kenapa kau malah senang?." Bentak Patari. "Aku sedang marah padamu, bangsad!." Umpatnya lagi.
Sementara itu Raden Kanigara Lakeswara bergidik ngeri melihat bagaimana cara mereka menghajar prajurit itu.
"Bagaimana menurut Raden?." Arya Susena menatap Raden Kanigara Lakeswara dengan raut wajah menyeramkan. "Inilah kehidupan kelompok pendekar kegelapan."
Belum ada tanggapan dari Raden Kanigara Lakeswara.
Saat itu juga Patari Dan Darsana mendekati mereka.
"Ada kabar penting, yang ingin kami sampaikan padamu arya." Ucap Patari.
"Katakan."
"Desa kembang agung." Balasnya. "Menurut keterangan yang kami dapatkan, desa itu sedang bahaya." Lanjutnya. "Ada sebuah tambang emas, yang tidak bisa diusik." Patari menjelaskan. "Namun, petinggi istana ingin menguasai tambang itu."
"Kenapa tambang itu tidak bisa diusik?." Arya Susena penasaran.
"Katanya, tambang itu dijaga oleh lelembut dari leluhur kepala desa kembang agung." Jawabnya. "Sayang sekali, kepala desa kembang agung dibunuh, karena tidak mau menyerahkan tambang itu."
"Kurang ajar." Umpat Arya Susena dengan perasaan kesal.
"Jika tidak segera dihentikan, maka akan terjadi bencana di sana."
"Karena kemarahan lelembut itu?."
"Begitulah."
"Kalau begitu aku akan ke sana."
"Sendirian saja?."
"Memangnya? Kalian ingin melihat wujud lelembut itu?."
Deg!.
"Tidak!."
"Sebaiknya tidak."
Patari dan Darsana sangat takut.
"Raden, tetaplah bersama mereka." Ucap Arya Susena. "Hamba tidak akan lama."
"Baiklah." Balas Raden Kanigara Lakeswara. "Apakah tidak apa-apa? Jika kau sendirian ke sana?."
"Sebaiknya Raden di sini saja." Ucap Patari dengan cepat. "Makhluk gaib itu menyeramkan." Lanjutnya. "Raden bisa tumbang, jika tidak sanggup melihat wujud mereka."
"Ya, Raden tetap di sini saja." Darsana sangat setuju. "Biarkan saja, si sinting arya yang pergi ke sana sendirian."
Duakh!.
"Eagkh!." Darsana berteriak kesakitan.
"Kau ingin aku jadikan tumbal? Hah?." Arya Susena sangat geram mendengarkan ucapan Darsana.
"Tidak mau." Darsana merengek kecil.
"Pfuh!." Raden Kanigara Lakeswara tertawa geli melihat sikap mereka yang seperti itu.
"Kenapa Raden malah tertawa?." Darsana sangat tidak terima.
"Maafkan saya." Raden Kanigara Lakeswara berusaha menahan tawanya. "Kalian ini sangat lucu juga."
Mereka hanya tersenyum kecil, mendengarkan ucapan Raden Kanigara Lakeswara.
"Ya sudah." Respon Arya Susena. "Aku pergi dulu." Arya Susena segera melompat, meninggalkan mereka, dan yang paling mengejutkan adalah, ia berubah dalam wujud burung gagak hitam.
Deg!.
Siapa yang tidak terkejut dengan perubahan wujud itu?.
"Saya rasa, yang lebih menyeramkan itu adalah arya susena." Ucap Raden Kanigara Lakeswara menahan getaran tangannya. "Dia bisa mengubah wujudnya lebih menyeramkan, dibandingkan para lelembut."
"Hamba rasa Raden benar." Darsana menarik nafas dalam-dalam. "Dia lebih menyeramkan, daripada lelembut."
"Kalian jangan keras-keras kalau berbicara." Patari terpaku di tempatnya. "Nanti dia malah balik lagi, menyerang kita dengan jurus mautnya itu.
Deg!.
Tubuh mereka semakin menggamang.
"Sebaiknya kita segera pergi dari sini." Darsana menguatkan langkahnya. "Aku merasakan ada getaran langkah kaki kuda, yang hendak menuju ke arah sini."
"Baiklah kalau begitu."
Patari, Darsana, dan Raden Kanigara Lakeswara segera meninggalkan lokasi.
"Arya susena itu, dia memang sangat menyeramkan sekali." Dalam hati Raden Kanigara Lakeswara sangat cemas. "Bersyukur saja aku, karena tidak bermusuhan dengannya." Dalam hatinya sangat lega. "Apa jadinya? Diriku ini bermusuhan dengan siluman gagak seperti arya susena." Hatinya sangat tidak kau itu terjadi.
Bagaimana kelanjutannya?. Apakah yang akan mereka lakukan selama Arya Susena pergi?. Next.
...***...