Fabian dipaksa untuk menggantikan anaknya yang lari di hari pernikahannya, menikahi seorang gadis muda belia yang bernama Febi.
Bagaimana kehidupan pernikahan mereka selanjutnya?
Bagaimana reaksi Edwin saat mengetahui pacarnya, menikah dengan ayah kandungnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myatra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 31
Sepeninggalan Fabian dan Febi, suasana mendadak hening dan mencekam. Semua teman Fabian yang berada di sana merasa bersalah, meski mereka tidak ikut membully Febi.
Apalagi Indah, teman Fabian yang tadi melakukan perundungan pada Febi, dia hanya termenung, memikirkan kemarahan Fabian yang terlihat jelas dari sorot matanya.
Tiga puluh menit berlalu, ponsel mereka serentak berbunyi, sebuah pesan masuk ke chat grup mereka, permohonan maaf dan pemberitahuan left grup dari Fabian.
Serentak semuanya saling berpandangan, lalu tatapan beralih pada Indah, meskipun tanpa kata, tapi sorot semuanya menyalahkan Indah, atas perbuatan cerobohnya.
¤¤FH¤¤
Fabian membawa Febi ke area mesjid agung yang terletak di area alun-alun. Jika weekday suasana di sana sangat tenang dan sejuk, karena banyak pohon-pohon besar dan rindang di sisi-sisinya.
Fabian ingin menenangkan sejenak dirinya yang sangat marah. Febi menyodorkan air mineral pada Fabian yang langsung diminumnya. Dinginnya air ternyata berefek pada jiwa Fabian yang sedang panas sedikit lebih sejuk.
"Sayang, maafin aku!"
"Tak ada yang salah, Om nggak perlu minta maaf.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja."
Setelah mengobrol ke sana kemari, Fabian melajukan kendaraan roda duanya ke arah toko miliknya.
Memasuki toko, semua karyawan Fabian memandang ke arah Febi dengan pandangan sedikit berbeda. Fabian meminta Febi untuk duduk di meja kasir seperti kemarin lusa, sementara dirinya masuk ke ruangan tempat brankas, dan memanggil Mayang ke dalam.
Fabian sadar tatap beda karyawannya pada Febi, sehingga, Fabian harus menanyakan sesuatu dengan Mayang, karena Mayang wakilnya di toko ini.
"Mayang sudah tahu kecelakaan Mutia pemilik toko baju di belakang?"
"Sudah, A."
"Trus?"
"Kami tahu dari karyawannya, dia bilang ke hampir semua karyawan toko-toko di sini, dan dia juga menuduh teh Febi penyebab semua ini."
Mendengar itu, Fabian mengepalkan tangannya menahan geram dan emosi.
"Mayang tahu yang sebenarnya terjadi?"
"Iya, A."
"Mayang bantu Aa, meluruskan ini. Nggak harus ke seluruh karyawan di plaza ini, cukup bilangin ke karyawan yang ada di toko ini saja. Aa nggak mau mereka memandang salah pada Febi. Febi tak tahu apa-apa."
"Baik, A.
Mayang lalu keluar, sedang Fabian tetap di dalam, ingin melihat bagaimana Febi menyikapi hal ini, dan melihat bagaimana perlakuan karyawannya pada istrinya.
Fabian mengeluarkan ponselnya, membuka laman aplikasi hijau, dan mengklik chat grup yang dia ikuti. Fabian menulis pesan
'Mohon maaf saya harus keluar dari grup ini. Maaf jika selama berteman banyak salah yang saya perbuat. Terima kasih.'
Lalu Fabian mencari tombol keluar grup, dan memencetnya.
Fabian merasa harus melakukan ini, dia tak suka kehidupan pribadinya di usik. Toh dia cuma keluar dari grup, tak memblokir nomor ponsel teman-temannya.
Fabian teringat set perhiasan yang ingin dia berikan pada Febi. Fabian mengambilnya dan menyimpannya di slingbag miliknya. Semoga Febi suka, untuk menebus rasa bersalahnya karena masuk pada masalah yang tak diinginkannya.
Makan siang Fabian tak mengajak Febi pulang, dia hanya memesan makanan online dan memakannya di toko.
Sejak tadi ponselnya terus bergetar, banyak pesan masuk dari teman-temannya, pasti mereka mempertanyakan keputusannya keluar grup. Belum ada satupun pesan yang dibukanya, Fabian menunggu hatinya sedikit tenang, agar tak terjadi kesalah pahaman lagi.
¤¤FH¤¤
Sore hari saat pulang dari toko, Fabian tak langsung pulang, tapi dia membawa Febi ke sebuah cafe yang tak begitu jauh dari rumahnya.
"Lho, Om ko terus lurus, kita mau kemana?" tanya Febi setengah berteriak, karena mereka sedang di atas motor.
Namun Fabian tak menjawab, hanya memberi senyuman melalui kaca spion.
Fabian menghentikan motornya di parkiran sebuah cafe.
"Ngapain kita ke sini, Om?"
"Mau numpang ke toilet!" jawab Fabian dengan santai.
Febi mencubit perut Fabian, yang dicubit malah ketawa.
"Habis pertanyaannya aneh, kalau ke cafe ya pasti mau makan dong."
"Tapi belum waktunya makan malam, masih sore."
"Kalau malam, rame, banyak orang, nggak seru."
Fabian menggenggam tangan Febi, dan jalan bersisian masuk ke dalam cafe.
"Om pegel,," Febi menghentikan langkahnya dan memijat-mijat betisnya.
Wajar febi merasa pegal, karena tempat yang dituju ada di rooftop di lantai empat, sedang mereka baru sampai dilantai dua. Tak ada lift di cafe ini, karena sepanjang tangga bisa di jadikan spot photo, instagramble.
"Mau ngapain, Om?" Fabian jongkok di depan Febi.
"Ayo naik!"
"Jangan, Om. Malu... Ayo berdiri!" Febi mencoba menarik lengan suaminya, tapi Fabian bergeming.
"Ayo naik!" gantian Fabian yang menarik lengan Febi dan memposisikan badan Febi di punggungnya.
Fabian menggendong Febi dan mulai berjalan. Meski cafe belum terlalu rame, sepanjang jalan orang-orang yang melihat tersenyum memandang ke arah Fabian. Sedang Febi menyembunyikan wajahnya di punggung Fabian.
Akhirnya Fabian sampai di tempat yang ingin dia datangi, Febi memandang takjub, karena dari atas sini, dia bisa melihat sebagian pemadangan daerah Garut. Bahkan Febi bisa melihat balkon rumahnya.
"Jadi tempat tinggi yang kelihatan dari balkon itu, tempat ini, Om?"
"Iya, sayang. Suka?"
"Bangeeeettt, tempatnya bagus!"
"Sini duduk, sayang!" Fabian mengajak Febi duduk di kursi terdekat
Febi mengeluarkan ponselnya, dan menekan menu kamera,
"Sini lihat, om!" Febi mengarahkan kameranya ke Fabian, dan mereka berswafoto bersama. Beberapa kali Febi mengambil potonya bersama suaminya.
"Sayang, mau makan sama apa?"
"Aku lagi pengen makan pasta, Om."
"Ada spagethi dan lasagna. Kamu mau apa?"
"Lasagna, aja, minumnya jus mangga aja kalau ada.
"Oke."
Fabian memesan makanan yang dia dan istrinya inginkan. Kekesalan Fabian pagi tadi berganti keceriaan, melihat wajah istrinya yang selalu ceria dan menampilkan senyum.
Fabian baru sadar jika Febi akan terlihat judes sama orang baru, tapi akan sangat menyenangkan jika sudah mengenalnya dekat.
Pesanan sampai, keduanya segera menyantap hidangan yang tersaji di meja, Fabian ternyata memesan beefsteak dengan minuman lime squash.
Keduanya sangat menikmati makanan yang ada, sesekali mereka saling menyuapi makanan, ditambah suasana yang belum terlalu ramai, membuat keduanya benar-benar menikmati quality time mereka.
Makanan sudah habis di makan, keduanya mengobrol, saling bertanya untuk saling mengenal pribadi masing-masing.
Tiba-tiba Fabian membuka resleting tasnya, dan mengeluarkan sebuah kotak berlapis kain bludru berwarna biru, lalu menyodorkannya pada Febi.
"Apa ini, om?" Febi memegang kotak tersebut.
"Buka aja!"
Pelan Febi membukanya, dan terperangah begitu membuka isinya.
"Cantik.. Terima kasih, Om!"
Fabian beralih duduk di samping Febi, "Aku pakein ya!"
Fabian menyingkapkan rambutnya Febi, dan melepaskan pengait kalung yang Fabian berikan sebagai mas kawin. Fabian bahkan mencuri mencium pundak Febi, sehingga membuat Febi kaget.
Fabian mengambil liontin, memasangkannya di kalung, lalu memakaikan kembali pada leher Febi.
"Bagus, om?"
"Cantik banget."
Liontin bermata batu biru dengan pinggiran manik-manik putih kecil, sangat mencolok di kulit putih Febi. Fabian juga membantu memasangkan gelang dan cincin di tangan dan jari lentik Febi.
Fabian mencium punggung tangan Febi, setelah memasangkan cincin di jari tengah Febi. Lalu berbisik di telinga Febi, "Ini nggak gratis, harus dibayar!"
Febi memandang heran ke arah Fabian.
BERSAMBUNG.
Terima kasih tak terhingga untuk yang sudah baca cerita ini, dukung author dengan like, vote, komen dan jangan lupa tambahkan ke rak buku favorit kalian.
Mon maaf nggak balas komen satu-satu, tapi saya baca dan like.
Jangan lupa baca juga cerita saya lainnya
♡HARUS MENIKAH LAGI♡
SELAMAT MEMBACA.
penasaran terus
gak enak banget dibaca
semoga bian dan Febi bahagia selalu
kan katanya sejak kecil Fabian kurang kasih sayang mama