Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 25
Sudah hampir dua minggu Gisela berada di luar negeri. Sengaja menjauh dari Abram setelah urusan perceraian mereka benar-benar selesai sekitar tiga minggu lalu. Kepergian Gisela bukan karena takut kepada Abram, tetapi lebih memilih untuk menghindar dan tidak ingin ada perdebatan. Ia yakin kalau Abram tidak akan tinggal diam setelah diceraikan begitu saja.
Kepergian Gisela bukan untuk menetap di sana. Hanya sekadar jalan-jalan dan menyegarkan pikiran. Entah kapan terakhir kali ia pergi ke luar negeri. Meskipun saat ini terkadang Gisela merasa kesepian dan bingung karena hanya sendirian di sana.
"Hallo, Pa."
Gisela tersenyum senang saat melihat wajah sang papa yang memenuhi layar ketika mereka sedang melakukan video call. Gisela rindu. Sejak berpisah dari suaminya, ia baru menyadari bahwa lelaki yang paling tulus menyayanginya adalah sang papa.
"Bagaimana kabarmu di sana, Gis?" tanya Hendarto. Ikut senang ketika melihat senyum Gisela yang menghiasi bibir wanita itu.
"Sangat baik, Pa," sahut Gisela antusias. Ia sengaja melakukan itu agar sang papa tidak khawatir padanya.
"Syukurlah. Kalau hatimu sudah lebih baik, cepatlah pulang. Selain papa merindukanmu, papa juga tidak tenang kamu sendirian di sana. Mama mu juga sangat cerewet selalu menanyakanmu," keluh Hendarto.
"Mungkin dua tiga hari lagi, Pa. Aku juga bosan di sini sendirian. Bingung mau pergi sama siapa." Gisela tergelak. Berbicara sangat jujur kepada papanya. Hal itu pun membuat Hendarto ikut tersenyum lebar.
"Biarkan Dirga menyusulmu," usul Hendarto.
Senyum Gisel memudar saat mendengar ucapan sang papa. Bahkan berganti cebikan kesal. Hendarto yang melihat perubahan raut wajah putrinya pun lantas terkekeh.
"Aku tidak ingin dengan siapa pun, Pa. Aku sedang butuh waktu untuk menyendiri. Lagi pula, Dirga itu seorang dokter, jadi dia tidak mungkin bisa pergi sembarangan." Gisela menolak usulan sang papa.
"Hahaha iya, baiklah. Papa hanya bercanda. Jaga diri kamu baik-baik di sana. Papa mencintaimu, Sayang."
Setelah mereka cukup puas mengobrol, panggilan tersebut pun terputus begitu saja. Gisela segera menaruh ponsel di samping tepat tidur. Des*han napas kasar terdengar memecah keheningan di kamar tersebut.
Entah mengapa, Gisela merasa kalau sang papa seolah sengaja menjodohkan dirinya dengan Dirga. selalu ingin mendekatkan dengan lelaki itu padahal Gisela ingin sekali melupakannya. Ia sedang tidak ingin dekat dengan lelaki mana pun lagi. Merasa trauma setelah beberapa kali gagal menjalin cinta.
Ketika baru saja memejamkan mata, Gisela mendengkus kasar saat bayangan Abram datang menggoda. Mengganggu pikiran dan membuat mata Gisel urung untuk terpejam.
Gisela hanya bisa menghela napas panjang setiap kali menyadari kalau dirinya sekarang adalah seorang janda. Status yang tidak pernah ia sangka akan disandangnya. Menyesal? Tentu saja ada sedikit rasa menyesal. Namun, semua sudah jalannya dan Gisela hanya bisa menerima saja.
***
"Pokoknya mama tidak setuju kamu menikah dengan dia!" Telunjuk Farah mengarah kepada Stevani yang sedang duduk menunduk. Abram pun hanya diam dan menatap pasrah.
Ia tidak tahu lagi bagaimana cara agar bisa membuat sang mama setuju pada hubungannya dengan Stevani. Empat tahun lebih Abram meminta restu, tetapi Farah sama sekali tidak memberikannya.
"Tapi, Ma. Dia sudah hamil anak Abram, jadi mana mungkin Abram lepas tanggung jawab begitu saja." Abram pun pada akhirnya membongkar semuanya. Membuat Farah begitu tersentak bahkan sampai menatap sang putra dengan sangat tidak percaya.
"Jangan bercanda, Bram. Mama tidak suka kamu bermain dengan hal seperti ini!" bentak Farah.
"Maafkan Abram, Ma. Tapi memang itu kenyataannya." Abram pun berbicara lirih. Ia mengambil hasil USG dari dalam tas milik Stevani lalu menunjukkan kepada Farah.
Wanita paruh baya yang awalnya tidak percaya pun kini hanya bisa menutup rapat mulutnya saat melihat itu. Ia menatap Abram dan Stevani bergantian. Setelahnya duduk bersandar dengan sedikit kasar.
"Astaga. Abram ... bagaimana bisa seperti ini? Padahal kamu belum ada sebulan resmi bercerai, tapi kamu sudah menghamili wanita ini. Bagaimana tanggapan orang-orang nanti," gumam Farah frustrasi. Sungguh, wanita itu tidak menyangka jika putranya akan berbuat sampai sejauh itu. Membuat dirinya merasa malu.