NovelToon NovelToon
Pedang Dari Masa Depan Jatuh Melalui Sebuah Meteorit

Pedang Dari Masa Depan Jatuh Melalui Sebuah Meteorit

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Fantasi / Mengubah Takdir
Popularitas:46k
Nilai: 5
Nama Author: Wafi_Shizukesa

Peristiwa meteorit jatuh yang anehnya hanya bisa dirasakan oleh Yamasaki Zen, seorang pelajar SMA berusia 15 tahun selepas aktivitas belajarnya di sebuah Akademi Matsumoto. Kejanggalan itu membuatnya terkejut dan bingung setelah suara dentuman keras berhasil membuat telinganya kesakitan. Namun anehnya, kedua orang tuanya sama sekali tidak merasakan dampak apa pun.

Di suatu tanah lapang di bukit rendah, dirinya melihat kilau meteorit dari kejauhan. Setelah selesai memeriksa meteorit itu, suatu hal absurd, kini ia menemukan sebuah pedang di dalam meteorit yang sesaat sebelumnya lapisan luarnya telah hancur dengan sendirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wafi_Shizukesa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 011. 2

Bagian 2

Kembali ke masa kini.

Akademi Matsumoto, divisi sekolah menegah atas.

Di dalam kelas, baru saja bel istirahat telah berbunyi.

.

"Pokoknya, jika kamu ingin berkomunikasi denganku. Kamu jangan khawatir terhadap orang di sekitarmu. Dan juga, siapa tahu pemilik baru dari pedang Natech 004 adalah orang yang dirimu kenal."

.

Yamasaki Zen duduk dalam diam di kursinya, sepintas, perkataan Natech 002 kemarin malam terlintas dalam benaknya.

“Orang yang aku kenal, ya.”

Yamasaki berujar pelan, tidak lama setelahnya, tampak Hayashi Yuuki yang tengah duduk di kursinya tiba-tiba saja beranjak bangun dari duduknya, lalu berbalik, Hayashi pun bertanya kepada Yamasaki:

“Hai, mau ke kantin?”

“Boleh.”

Yamasaki mengangguk menyetujui, lalu menjawabnya singkat.

***

Di kantin sekolah.

Setelah membeli makan siangnya berupa gyudon teishoku di atas nampan yang sedang dibawa Yamasaki, sementara Hayashi sendiri, dia membawa nampan dengan menu katsudon di atasnya.

Mereka berjalan bersama—tengah mencari tempat duduk untuk makan siang yang belum ditentukan.

“Hai, Yuuki, apa mungkin… kamu sudah terlebih dahulu menentukan tempat duduk sebelumnya?”

Pertanyaan Yamasaki bukan tanpa dasar. Saat melewati tempat duduk yang sebagian besar sudah ada para murid yang menempatinya. Beberapa kursi masih ada yang kosong—bukan hanya satu atau dua, tetapi ada yang sampai empat kursi kosong dalam satu baris.

Didukung dengan luas kantin yang cukup besar dan diperkirakan mampu menampung sekitar lima ratus murid sekolah menengah atas.

Bahkan jumlah tersebut sudah melampaui jumlah keseluruhan murid yang totalnya adalah 480 di Akademi Matsumoto divisi sekolah menegah atas.

Selain itu, atmosfer di dalam ruangan kantin itu terbilang sangat baik dan cukup nyaman. Itu dapat membuat kantin ini tidak pernah menurun jumlah rata-rata murid yang setiap harinya datang berkunjung.

Sebenarnya, kesan positif yang sudah dijelaskan sebelumnya mungkin tidak akan pernah didapatkan tanpa pengaturan tata letaknya yang juga memiliki peran penting.

Di kantin ini, setiap area makan terdapat beberapa petak yang dipisahkan oleh sekat sebuah tanaman. Area makan yang terdiri dari bagian depan, bagian tengah, dan bagian tepi ruangan kantin… masing-masing area memiliki pengaturan tipe ukuran meja makan yang berbeda-beda.

Pengaturan tipe ukuran meja makan hanya terdiri dari tiga jenis, yaitu, meja yang dapat mengisi hingga delapan kursi, meja dengan empat kursi, dan meja dengan dua kursi.

Ambil contoh, area makan di bagian tengah dan bagian tepi.

Untuk bagian tengah, beberapa petak di sana mengisi setidaknya satu jenis meja panjang untuk delapan murid, lalu dua jenis meja panjang untuk empat murid, dan tiga jenis meja persegi untuk dua orang di setiap meja makan.

Lalu kemudian, fokus area makan di bagian tepi, beberapa petak di sana mengisi setidaknya satu jenis meja panjang untuk delapan murid, satu jenis meja panjang untuk empat murid, dan tiga jenis meja persegi untuk dua orang di sana.

Di samping itu juga, sebuah jalan yang sedang dilalui mereka memiliki luas yang cukup.

“Woah… ternyata kamu cepat sekali menyadarinya, ya?”

Hayashi pun membalas pertanyaan dari Yamasaki sebelumnya. Lalu dilanjutkan dengan anggukan kepala “*Um…*”\, Hayashi kembali melanjutkan perkataannya:

“…sebenarnya, aku mengajak teman dekatku juga, dan dia aku suruh untuk menjaga tempat makan siang yang sudah aku tentukan.—Ah, tempatnya di sana!”

Di saat-saat terakhir perkataannya, membuat fokus Yamasaki Zen teralihkan melihat area pojok kantin. Benar perkataannya—seseorang telah menunggu di sana. Sepertinya dia sedari tadi menunggu kedatangan mereka berdua.

Pernyataan itu dibuktikan dengan menu makan siangnya yang tampak sudah dihabiskan.

“Lah, kok? Arata, makan siang-mu sudah habis?”

“—Habisnya, kamu lama sekali datangnya.”

Pertanyaan itu diikuti oleh langkahnya yang berhenti, begitu pun dengan Yamasaki. Lalu, seorang pria yang dipanggil nama “Arata” menjawabnya seakan-akan semua ini adalah salah dari Hayashi Yuuki. Namun, dengan segera pernyataan itu disangkal:

“—Tidak, sepertinya tidak selama itu...”

“Sudah-sudah, masalah itu, mungkin nanti aku akan minta saja bagian makan siang-mu.”

Dengan mudahnya Arata mengatakan hal itu.

“Liciknya...”

Hal ini sudah menjadi biasa bagi dirinya.

Mengacu kepada perkataan Aoki Arata, Hayashi Yuuki menganggap omongannya hanyalah sebuah candaan. Respons yang diberikannya pun bersifat positif.

“Jadi, namamu Yamasaki-kun, kan?”

Tiba-tiba Aoki Arata mengganti topik untuk memastikan sebuah nama.

“Ya. Namaku Yamasaki Zen. Senang bertemu denganmu!”

“Tidak perlu formal seperti itu. Ngomong-ngomong, senang bertemu denganmu, juga! Namaku, Arata. Aoki Arata. Duduklah, tidak baik terlalu lama berdiri dengan keadaan yang seperti itu.”

Entah sudah dipersiapkan sebelumnya, atau hanya perasaan Yamasaki Zen saja.

Meja panjang yang seharusnya terdapat empat kursi malah menjadi berkurang satu, karenanya—meninggalkan sebuah ruang kosong di baris kursi yang berseberangan dengan tempat duduk Aoki Arata yang kini sudah ditempati oleh Hayashi.

Mau tidak mau, itu memaksa Yamasaki untuk duduk di samping Aoki.

“Lah, kok? Rasanya ada yang aneh? Kenapa kamu tidak bertanya ‘kenapa kamu tahu namaku?’, atau semacamnya—ah, apa mungkin ini yang dinamakan insting siswa yang terkenal, bukan?”

Aoki melontarkan sebuah pertanyaan, lantas dirinya membagikan sebuah asumsi miliknya di saat Yamasaki baru saja hendak selesai untuk duduk.

“Dari caramu memanggil namaku yang seakan-akan sudah benar-benar mengenalku... itu sudah jelas, bukan? Dari mana lagi coba, kalau bukan karena gosip yang tersebar mengenai diriku?”

“Ternyata kamu cepat memahaminya juga, ya? Akan tetapi, mengenai gosip itu... itu benaran terjadi, bukan?”

“Ya.”

Yamasaki mengangguk membenarkannya.

“Kalau begitu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, bukan? Lagian, gosip itu tidak akan muncul kalau kamu tidak melakukan aksi heroik itu di depan umum.”

“Itu memang benar sih, tetapi, hal itu semakin diperparah dengan adanya sistem peringkat itu.”

Yamasaki mencoba memperjelasnya, di sisi lain, Hayashi Yuuki yang tengah bersiap menyantap makan siangnya sambil berkata “—Selamat makan”, lalu merapatkan kedua tangannya. Tindakan itu secara bersamaan dilakukannya aktivitas lain, “Eh? Memangnya, kamu tidak suka dengan peringkatmu saat ini?”, saat Aoki melemparkan sebuah pertanyaan untuk Yamasaki.

“...”

Tidak ada jawaban yang diberikan.

Lalu, Yamasaki pun gilirannya untuk bersiap menyantap makan siangnya sambil merapatkan kedua tangannya, lalu dia pun berkata “Selamat makan”, setelahnya, Aoki kembali melanjutkan perkataannya:

“Sayang sekali, padahal tujuanku menyiapkan tempat dudukmu di sampingku hanyalah untuk mengambil sebagian kecil kepopuleranmu kepadaku. Namun, kamu sendiri seperti tidak peduli dengan peringkat itu.”

—Terlalu jujur. Kalau begitu, kenapa tidak kamu tempati saja peringkat kedua itu?

Yamasaki berkata dalam hati dengan ketidakpeduliannya, mengingat dia tidak perlu membutuhkan sebuah kasta untuk dipandang tinggi oleh sebagian orang. Lalu kemudian, dia pun kembali melanjutkan makan siangnya.

Bagian 3

Di awal, sebelum gosip itu terjadi.

Akademi Matsumoto, divisi sekolah menegah atas. Di halaman depan sekolah, pukul 7:00 AM.

Pada hari itu, hari di mana aku memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi.

Sekolah menengah atas.

Jujur saja, aku sedikit gugup saat memulai jenjang pendidikan yang baru.

Kau harus bertemu orang asing, melukai dan dilukai, belajar soal orang lain dan dirimu sendiri. Aku sendiri bukanlah tipe seseorang yang anti-sosial, aku tidak mempermasalahkan jika seseorang ingin berteman denganku. Aku hanya mengikuti arus waktu, memutuskan sesuatu hal jika itu merupakan yang terbaik bagiku baik itu juga berhubungan dengan yang namanya pertemanan.

Bahkan Jika orang lain menganggap diriku sebagai seorang yang selektif, aku tidak menutupi hal itu, memang itulah kenyataannya.

“Hem?”

Yamasaki Zen menghentikan langkahnya, dari kejauhan, dirinya melihat sesuatu yang cukup menarik perhatiannya.

Apa yang dilihatnya adalah seorang siswi tahun pertama… sama seperti dirinya yang tampak terlihat sedang dihalangi jalannya oleh beberapa siswa yang lebih tepatnya berjumlah tiga orang—mereka adalah sekumpulan orang yang dipanggil dengan sebutan “senior” oleh sistem peraturan di setiap sekolah. Sekilas, sepertinya senior itu sedang berusaha menggoda siswi itu.

“Hai, gadis cantik. Boleh kami tahu namamu?”

“Maaf, aku tidak ada urusan dengan senior saat ini, permisi!”

Siswi itu ingin berniat pergi meninggalkan para senior itu.

Namun para senior itu tidak mengizinkan siswi itu untuk pergi begitu saja, salah satu dari mereka bahkan berusaha menahan pergerakan siswi itu dengan menggenggam bahu kanan daripada siswi itu.

“Hai, kamu tidak sopan dengan kami. Kami hanya ingin tahu namamu saja, kok.”

“Kalian lah yang sudah tidak sopan denganku, kumohon biarkan aku pergi!”

“Tidak, tidak akan kubiarkan kamu pergi sebelum kami mengetahui namamu.”

Para senior itu memaksa, bersikeras agar siswi itu dapat mengatakan namanya kepada mereka bertiga. Namun tanpa peringatan, lengan kiri senior yang sedang menahan pergerakan siswi itu tiba-tiba saja dipegang erat oleh Yamasaki.

“Ha?”

Itu sempat membuat senior sedikit geram dan bertanya-tanya mengenai kehadiran Yamasaki di sana.

“Senior, kenapa kamu memaksa junior-mu sendiri agar dirinya memberitahukan namanya kepada kalian? Aku serius bertanya?”

“Cih, memangnya siapa kamu?”

Melepaskan tangannya dari atas bahu siswi itu. Dia mengubah arah tangannya berbalik menargetkan kerah seragam Yamasaki yang digenggam erat. Senior itu pun melanjutkan perkataannya:

“—Kamu hanyalah siswa tahun pertama di sini, jangan sok jadi jagoan agar dirimu mendapat perhatian dari gadis itu.”

“Perhatian? Aku sama sekali tidak membutuhkan itu. Cukup jawab saja pertanyaanku sebelumnya.”

“A-apa katamu...”

Perkataan Yamasaki tanpa sedikit pun emosi ditampilkan.

Melihat respons lawan bicaranya, senior itu seketika menjadi naik pitam setelah jawaban langsung dari siswa itu yang terkesan telah menjatuhkan harga diri mereka.

Di sana, suasana pun menjadi tegang.

Mereka berdua mendadak menjadi pusat perhatian siswa dan siswi di sana. Terkadang, para siswa dan siswi di sana berbisik membicarakan perilaku dari seniornya itu.

“—Hai, lihat itu! Bukankah itu senior dengan murid tahun pertama?”

“—Benar, kenapa senior melakukan hal seperti itu kepada murid tahun pertama di sini?”

“—Seniornya menakutkan...”

Beberapa bisikan dari mereka sempat terdengar sampai ke telinga senior.

Mengetahui kesan buruk yang baru saja disadari, senior itu berdesis “Cih” lalu perlahan melepas kedua genggamannya dari kerah seragam Yamasaki.

“Mungkin untuk hari saja, kamu terbebas untuk tidak berhadapan denganku secara serius. Namun, jika kamu berani muncul di hadapan kami lagi, jangan harap kamu bisa lolos untuk kedua kalinya.”

“Jika itu yang kalian inginkan… baiklah, aku akan menurutinya.”

“Bagus, kamu bisa menurut juga bocah. Siapa namamu?”

Saat senior bertanya kepada Yamasaki, terlebih dahulu Yamasaki sudah pindah dari tempat sebelumnya berdiri.

Dirinya pergi menghampiri siswi itu hanya sekadar untuk menanyakan keadaannya.

“Kamu tidak apa-apa?”

“Ah, iya! Aku baik-baik saja. Terima kasih, sudah menolongku.”

Siswi itu berterima kasih, membungkukkan rendah bahunya ke arah Yamasaki.

“Tidak apa, syukurlah kalau kamu tidak apa-apa. Kalau begitu, aku pergi duluan, ya. Lain kali berhati-hatilah!”

Yamasaki Zen berseru, dirinya pun lantas berjalan pergi meninggalkan siswi itu di sana.

Sementara itu… dalam keadaan kedua tangannya yang mengepal erat, wajah sang senior yang sebelumnya berbicara dengan Yamasaki Zen tergambarkan jelas emosi kemarahan karena merasa begitu tidak dihargai dirinya setelah insiden yang tidak disengaja barusan.

“Ke-ketua?”

“Aku akan membuat kamu mengingat siapa diriku yang sebenarnya di sekolah ini.”

Perkataannya terdengar pelan dan cukup berhati-hati. Dari nada bicaranya, sepertinya sang senior serius dengan perkataannya sebelumnya.

Sementara itu dari kejauhan, tindakan heroik Yamasaki sebelumnya sedari tadi sudah diawasi oleh salah satu siswa dari depan pintu gerbang sekolah.

“Eh... sepertinya murid-murid di sini terkesan menarik sekali.”

Di sana, siswa itu berkata.

***

Aula olahraga.

Saat upacara penerimaan siswa-siswi baru.

Semua murid-murid terduduk diam di kursi mendengarkan bapak kepala sekolah yang sedang menyampaikan kata-kata kepada semua murid baru.

“Baiklah semuanya, saya harap kalian semua...”

“—Psstt...”

Seseorang telah berdesis, ditujukan kepada Yamasaki yang sedang duduk fokus mendengarkan perkataan kepala sekolah. Pandangannya segera berpaling ke arah belakang, melihat seseorang yang berdesis sebelumnya yang ternyata merupakan seorang siswa.

Dia juga merupakan orang yang sama yang memerhatikan di depan gerbang sekolah sebelumnya. Benar, kalau kau ingin tahu, orang itu merupakan, Hayashi Yuuki.

“Hai, kamu bisa saja terkenal menjadi siswa populer di seluruh murid sekolah ini, tahu.”

“…”

Dalam diam, untuk sesaat perkataan itu berhasil membuat Yamasaki Zen hanyut dalam kebingungan. Lalu,

—Siapa orang ini, tiba-tiba saja mengatakan sesuatu yang tidak jelas.

Yamasaki pun berkata dalam hati, respons pertamanya, dirinya merasa aneh dengan siswa itu.

Yamasaki berusaha untuk tidak menggubris perkataan itu secara langsung, lantas dalam diamnya, dirinya kembali memalingkan wajahnya seperti semula.

Bersambung...

Next. Chapter 012 : “Jadi kamu masih menganggap kalau aku adalah makhluk yang berbahaya, ya?”

By, Wafi Shizukesa.

Like dan jadikan favorit novel Author di rak buku kamu ya... salam hangat. 🤗✌️

\==========================

1
Wafi_Shizukesa
syapp!
Not Found
semangat kak 😊❤️
Ananda
sangat keren dan menginspirasi
Hibr 'Azraq
11, 12 sama si Taewoon wkwkwk.
Hibr 'Azraq
Fufufu, Tidak baik menolak rezeki Zen...
Hibr 'Azraq
Anak pintar....
Wafi_Shizukesa
lah, kamu mampir dong 😅
Hibr 'Azraq
gila novelnya keren..! semangat Thorrr
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!