Ditengah kemeriahan pesta perjamuan makan malam yang diadakan keluarga Sanjaya dalam rangka penobatan putra bungsunya, Doni Sanjaya, menjadi Chief Executive Officer di PT. Sanjaya Group, tiba-tiba seorang gadis belia datang menghampiri Doni dengan membawa setangkai bunga yang baru saja dia petik dari salah satu vas di tempat tersebut.
"Om Doni, I love you." Gadis tersebut tanpa basa-basi menyodorkan setangkai mawar merah kepada Doni, dengan senyumnya yang mengembang sangat manis.
"Hah, tidak salah? Gadis ingusan ini, nembak aku?" Doni sangat terkejut, mendapati kenyataan bahwa yang menembaknya adalah gadis belia yang merupakan putri seorang pengusaha terkenal, dimana perusahaan keduanya menjalin kerjasama bisnis sejak lama.
Sementara ayah si gadis, menepuk jidatnya dengan keras mendapati ulah salah satu putri kembarnya itu. "Lili... apa yang kamu lakukan nak? Dia bahkan lebih pantas kamu panggil om!" gerutu om Devan dengan kesal.
Bisakah Doni melupakan masa lalunya dan membuka hati untuk gadis belia tesebut?
Akankah kisah cinta mereka berlanjut dan berhasil mendapatkan restu dari orang tua si gadis?
Nantikan terus kisah mereka berdua, hanya di :
Om Doni, I Love You.
🌷🌷🌷🌷🌷
Jangan lupa masukkan favorit yah/ klik tombol hati, karena aku menuliskannya dengan sepenuh hati 🥰🥰
Biasakan pula jempol kalian untuk klik : like, kasih komentar dan juga hadiah... yang banyak ya bestie 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kalian Tidak Boleh Saling Bertemu
Keesokan harinya, Doni mulai aktif menjadi asisten sang calon mertua dan untuk sementara waktu, perusahaan Doni kembali di pegang oleh sang papa yang dibantu oleh kakak perempuan Doni, Tanti Sanjaya.
Papa Sanjaya yang sudah banyak makan asam garam kehidupan dalam dunia bisnis dan sudah mengenal dengan baik calon besannya, tentu mengetahui maksud dan tujuan dari om Devan.
Papa Sanjaya pun menyetujui keinginan om Devan tersebut dan mengizinkan sang putra untuk menjadi asisten om Devan untuk sementara waktu sambil belajar banyak hal dari pengusaha senior kelas kakap tersebut.
Pagi ini, sesuai permintaan papanya Lili, Doni diminta untuk menjemput om Devan di kediamannya. Tentu saja pemuda dewasa itu bersorak dalam hati, sebab dapat bertemu dengan sang kekasih meski hanya sekilas.
"Assalamu'alaikum, Ma," sapa Doni pada mamanya Lili, yang sedang menyirami tanaman hias kesukaan tante Lusi tersebut.
"Wa'alaikumsalam, Mas Doni. Pagi sekali datangnya?" balas dan tanya tante Lusi sambil meletakkan selang untuk menyiram tanaman.
Doni kemudian menyalami mamanya Lili, "iya, Ma. Takut kejebak macet," balas Doni berasalan, padahal tujuan Doni adalah agar dirinya bisa bertemu dengan Lili terlebih dahulu sebelum gadis centil itu berangkat ke kampus.
"Ayo, tunggu di dalam! Papa baru saja selesai 𝘫𝘰𝘨𝘨𝘪𝘯𝘨," ajak tante Lusi, yang kemudian menuntun Doni untuk masuk kedalam rumah.
"Mama ... kami berangkat!" seru Lili dari arah dalam.
"Eh, ada Om Doni?" sapa Lili dengan riang, begitu melihat om kesayangan berada di rumahnya sepagi ini.
Ya, Doni sengaja tidak memberitahu Lili tentang permintaan om Devan yang ingin dijemput.
"Om mau menjemput Lili, ya?" tanya Lili dengan mata berbinar.
Doni menggeleng pelan.
"Mas Doni mau jemput papa, Dik?" balas sang mama mewakili Doni.
"Yah, kirain mau jemput Lili?" protes Lili, kecewa.
"Sabar, Dik," ledek Lila, sambil menjulurkan lidahnya.
"Lila! Sebel deh, adiknya kecewa malah diledekin!" rajuk Lili pura-pura kesal.
"Sudah, sudah. Kakak, Adik, belum sarapan, 'kan?" tanya sang mama, "sarapan dulu yuk?" ajak sang mama.
"Kami buru-buru, Ma. Ada kelas pagi," tolak Lila.
"Enggak ada ding, Ma. Jam-nya di undur nanti siang," sahut Lili yang tak ingin menyia-nyiakan kesempatan sarapan bareng om kesayangannya.
"Masak, sih?" Lila menatap Lili tak percaya.
"Iya," balas Lili cepat seraya memberi kode.
"Ya udah, ayo kita sarapan bareng!" ajak sang mama kembali, "Abang kalian udah siap, belum?" tanya sang mama.
"Abang 'kan baru pulang subuh tadi, Ma. Paling bangunnya nanti siang," balas Lila.
"Ayo, Mas Doni! Ikut sarapan," tante Lusi menggiring kembali kedua putri kembarnya untuk menuju meja makan, yang diikuti oleh Doni yang mengekor langkah mereka dari belakang.
"Silahkan duduk, Mas Doni." suruh tante Lusi sambil menunjuk sebuah kursi.
Doni segera duduk, yang kemudian diikuti oleh Lili yang langsung duduk di samping Doni.
"Mama buatkan minum dulu, ya?" pamit mama Lusi yang langsung menuju arah dapur.
"Lili, duduk sini! Nanti papa marah, lho?" Lila mengingatkan sang adik.
"Enggak mau, ah. Cuma duduk doang, masak papa mesti marah, sih?"
"Ehm,,," terdengar suara dehaman sang papa yang berjalan menuju meja makan.
"Dik, duduk sini, dekat papa," pinta sang papa sambil menunjuk sebuah kursi di dekatnya.
Lili cemberut, tetapi beranjak juga dari tempatnya untuk pindah. "Cuma masalah duduk doang, kenapa mesti dipermasalahkan sih, Pa?" protes Lili sesaat setelah dirinya duduk di samping sang papa.
"Mas Doni, sudah lama?" tanya om Devan seraya menatap Doni dan mengabaikan protes putrinya. Sebab jika ditanggapi, Lili akan semakin merajuk.
"Belum, Pak. Baru beberapa menit yang lalu," balas Doni.
"Kok, manggilnya masih Pak, sih? Papa, dong?" protes Lili.
"Enggak, ah. Berasa tua papa kalau dipanggil papa sama dia!" protes sang papa.
"Lah, Papa 'kan emang sudah tua?" sahut Lili, "mama aja yang masih muda, enggak keberatan kok dipanggil mama sama Om Doni?" lanjutnya.
"Kamu aja manggil dia, Om. Kalau Doni manggil papa dengan sebutan papa, berarti kamu manggil papa, jadi Opa dong, Dik?" Om Devan terkekeh sendiri, mendengar sang putri memanggil Doni masih dengan sebutan Om.
Lila dan Lili ikut tertawa, sementara Doni tersenyum simpul. 'Keluarga yang hangat,' gumam Doni.
"Oh, papa sudah siap?" tanya mama Lusi begitu melihat sang suami sudah duduk di meja makan.
Mama Lusi yang mengiringi langkah asisten rumah tangga yang membawa minuman kemudian segera duduk di samping kanan sang suami, karena di sebelah kiri om Devan sudah ada Lili yang duduk di sana.
"Ayo, Mas Doni. Silahkan ambil sarapan sendiri," Tante Lusi menyodorkan sebuah piring lengkap dengan sendok dan garpu kepada Doni.
Mamanya Lili itu kemudian mengambilkan sarapan untuk sang suami, nasi goreng ayam kampung lengkap dengan petai dan taburan telor dadar serta keju kesukaan sang suami.
"Kalau Lili yang ambilkan buat Om Doni, boleh 'kan, Pa?" rajuk Lili yang sudah bersiap untuk beranjak dan pindah tempat duduk.
Om Devan menarik napas panjang dan menghembuskan dengan kasar, melihat sikap sang putri yang agresif membuat papanya Lila dan Lili itu mulai memikirkan kembali permintaan Doni yang ingin segera menikahi Lili.
Apalagi semalam daddy Rehan menelepon dan memberitahukan padanya, bahwa kemarin sang putri sudah berani mencium bibir Doni terlebih dahulu.
Informasi tersebut valid sebab bukan hanya Mirza yang melihat tetapi Attar, putra bungsu opa Alvian yang tidak pernah berbuat neko-neko seperti Mirza itu juga melihat kejadian kemarin di taman samping kediamannya.
Ya, ternyata Mirza dan Attar tidak benar-benar masuk kedalam rumah seperti pinta Lili. Mereka berdua sengaja mengintip apa yang akan dilakukan Lili yang ingin berdua-duaan dengan Doni.
Mirza dan Attar diam-diam mengikuti Lili dan Doni hingga ke taman samping, dan mereka berdua kemudian melihat adegan tersebut.
Mirza sempat ingin langsung melabrak Lili, namun Attar mencegah. "Kita tunggu dulu, Za. Jika Om Doni menyambut baik dan menuntut lebih, baru kita bertindak."
Daddy Rehan juga menyarankan, agar om Devan segera mempercepat pernikahan Lili dan Doni sebelum semuanya terlambat.
"Dev, sekuat-kuatnya iman seseorang jika terus ditempel seperti itu oleh bunga yang sedang mekar-mekarnya, lama-lama bisa oleng juga, Dev?"
"Papa, kok malah melamun?" Suara manja Lili membuyarkan lamunan om Devan.
"Duduk, Laili," titahnya serius.
Mendengar sang papa menyebutkan namanya dengan benar, membuat Lili mengkerut. Pasti sang papa sedang dalam mode serius. Lili pun kemudian duduk kembali di tempatnya.
"Ayo, makan! Silahkan, Mas Doni. Jangan sungkan!" tutur om Devan dengan memasang wajah serius.
Doni mengangguk dan kemudian segera menyendok nasi goreng spesial buatan sang calon mertua.
Mereka menikmati sarapan pagi dalam diam, tak ada yang berani bersuara termasuk Lili yang biasanya cerewet.
Sarapan pun usai dan ketika Lila dan Lili hendak pamit untuk pergi ke kampus, sang papa angkat bicara.
"Lil, kapan liburan semester?" tanya sang papa seraya menatap kedua putrinya bergantian.
"Dua minggu lagi ujian semester, Pa. Berarti enggak sampai satu bulan lagi, udah libur semester. Kenapa, Pa?" balas dan tanya Lila.
Om Devan menghela napas panjang, meski berat tapi dia harus mengambil keputusan yang tepat dan terbaik untuk sang putri. Mungkin benar apa yang dikatakan sahabat-sahabatnya, bahwa Doni laki-laki yang tepat untuk Lili meski selisih usia mereka terpaut jauh.
Sebagai ayah, dia harus menafikan egonya demi kebahagiaan putri tersayang. 'Bismillah, Dev. Mungkin, ini sudah saatnya kamu melepas satu putrimu. Semoga Doni memang laki-laki yang tepat.' Om Devan bermonolog dalam diam.
"Laili, Doni." panggil om Devan, seraya menatap sang putri dan Doni bergantian.
Tante Lusi langsung menghentikan minum jus-nya dan menatap sang suami penuh tanya.
"Mulai sekarang, persiapkan diri kalian untuk menikah bulan depan," tegas om Devan yang membuat Doni melongo dan Lili langsung memeluk sang papa.
"Serius, Pa?" tanya Lili tak percaya.
Om Devan mengangguk pasti, "tapi mulai hari ini, kalian tidak boleh saling bertemu, juga tidak boleh berhubungan melalui media apapun!" tegas om Devan kembali seraya beranjak.
"Dan kamu, Doni. Kamu tetap menjadi asisten papa, sampai hari pernikahan kalian tiba nanti." Papanya Lili itu bergegas kembali kedalam kamarnya, dengan netra yang nampak berkaca-kaca.
Doni hanya bisa mengangguk pasrah, pemuda itu sangat bahagia mendengar berita yang disampaikan sang calon mertua. Meskipun berat rasanya jika harus menjalani hari tanpa Lili apalagi satu bulan lamanya, namun Doni tetap bersyukur.
"Pa, masak teleponan juga enggak boleh, sih?" protes Lili seraya mengejar sang papa.
tobe continue,,,