Dengan bersekutu jin ular, kehidupan Abay berubah. Tetapi dia harus bersusah payah mencari korban untuk tumbalnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'Wiz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istri Rahasia Bab 25
Pagi telah tiba.
Di teras rumah, entah sudah berapa kali Abay mencium pipi dan kening Dina. Dia telah memutuskan untuk menyerahkan perawatan dan pengasuhan Dina di bawah mantan mertuanya, Sanusi dan Wati..
Abay telah memutuskan, dia akan tinggal di rumah rahasianya. Dengan begitu dia bisa menjadi dirinya sendiri dan Ki Jabaya lebih sering mungkin.
Untuk sementara keinginan untuk menikah lagi ditunda, tetapi tumbal harus tetap diberikan setahun sekali. Santi telah tercatat menjadi korban tumbal yang Abay berikan pada Nyi Malini.
Ke depannya, Abay bermaksud mencari dan mengorbankan tumbal yang lain saja. Ternyata hal ini berada dalam perkiraan Nyi Malini.
Semalam itu Nyi Malini menemuinya. Satu malam yang kering dilewati, suhu kamar pun tetap dingin. Malam yang baru pertama kali ditemui Abay saat bersua dengan istri rahasianya, mereka tak bercinta sama sekali. Padahal, ketika Nyi Malini sengaja datang maupun diundang hadir, dia akan menuntut Abay memberikan pelayanan yang berakhir dengan teriakan panjang dan wajah yang puas.
Tetapi semalam, Nyi Malini hadir hanya untuk memberi sepatah kata belaka.
"Mulai tahun depan, siapa tumbal yang harus kamu berikan akan aku tentukan setiap kali tumbal yang telah disiapkan aku ambil. Nah, tahun depan aku ingin sekali di kerajaanku ada bunga suci, budak berdarah perawan!"
Selepas bicara Nyi Malini pun menghilang.
"Papa hati-hati ya! Dina tunggu Papa di sini," ucap Dina yang sudah diberitahu Abay akan pergi jauh.
Pada Dina diberitahukan Abay akan bekerja ke luar kota, karena itu Dina disuruh tinggal di rumah kakek-neneknya. Sayangnya Dina masih terlalu kecil dan tak ada juga yang tahu rahasia dirinya, kecuali Abay, Sasan dan Ipoy.
Dari dua nama terakhir, hanya Sasan yang akan ditemui Dina di masa depan nanti.
"Kamu jangan nakal-nakal, ya! Turuti kata Kakek dan Nenekmu!" seru Abay lembut.
"Iya, Pa!" Dina mengangguk.
Abay lalu berdiri dari duduknya. Dia berpamitan pada Sanusi dan Wati. Di mana Sanusi menemani Abay sampai naik ke motor.
Sementara Wati mengajak masuk Dina, karena anak itu sudah mulai mengalirkan sungai di pipinya, hujan tangisnya turun.
Abay dan Sanusi telah sampai di dekat motor yang terparkir. Lalu Abay naik ke atas motor dan menatap Sanusi.
"Cukup sampai di sini saja Pak. Oya, saat Bapak tengok rumah nanti, Bapak jangan kaget kalau barang-barang di rumah sebagian ada yang telah hilang. Aku telah pindahkan ke rumah yang baru beberapa hari ini," ucap Abay.
Tiga hari telah lewat sejak malam di mana Wati dan Sanusi memohon Dina diasuh mereka, dibanding dibawa Abay.
"Loh, itu kan barang pribadimu. Masa iya Bapak bilang tak boleh dan minta kamu kembalikan lagi." Sanusi tersenyum.
Abay mengangguk. Sekilas dia menatap pintu rumah Sanusi yang tertutup setengah, ada sorot mata kehilangan terpancar.
"Kamu tak perlu kuatir Bay! Ibumu Wati itu akan merawat Dina dengan baik, Bapak sendiri akan menjaga dan sebisa mungkin memberikan pendidikan yang baik bagi Dina."
"Iya, Pak. Aku percaya. Oya, nomor rekening yang Bapak kasih itu aktif kan Pak? Sesuai janji, aku akan kirim uang buat jajan Dina."
"Masih kok. Tetapi kamu juga tak perlu repot, Bapak kan sudah mulai bisnis sama teman. Meski modalnya itu datang dari kamu. Cuma untuk sekedar beli jajan Dina di warung sih cukup."
"Uang jajan Dina itu urusanku, Pak. Begitu juga biaya pendidikannya. Aku minta Bapak sama Ibu cukup merawat Dina saja! Aku takut kalau Bapak menampik ini... hehehe, nanti bakal hutang lagi dong!" canda Abay.
"Kamu ini! Bapak sama Ibu kapok berhutang. Ngeri, rasanya seperti ada rantai terikat di leher dan perut. Terima kasih ya, waktu itu kamu banyak membantu dan hutang lunas. Sekarang sebisa mungkin kami hidup berhemat." Sanusi tertawa kecil.
"Kalau begitu aku pamit ya, Pak!" Abay segera nyalakan mesin motornya.
"Tahan sebentar!" cegah Sanusi.
"Ada apa lagi Pak?"
"Itu, masalah barang yang tertinggal di rumahmu. Bagaimana solusinya? Maksud Bapak, kamu ingin Bapak berbuat apa?" tanya Sanusi dengan wajah serius.
"Oh, itu terserah Bapak saja, mau dipakai monggo, mau dijual boleh banget, mau dikasih ke orang pun tak masalah." Abay tersenyum, lalu dia tarik tuas gas.
Sanusi sebenarnya masih ingin bicara, tetapi Abay sudah pergi. Sambil mengangkat bahunya, dia pun berjalan masuk ke dalam rumah.
*
Waktu berganti tak terasa empat tahun telah lewat. Kehidupan pun mengalami perubahan, ada yang perubahannya berjalan lambat, ada pula yang lancar dan cepat.
Tetapi kehidupan Abay masih serupa dulu, tetap mencari korban untuk diberikan pada istri rahasianya Nyi Malini. Tak hanya korban tumbal, tetapi juga mempertemukan hamba baru yang mau menjadi orang kaya dalam waktu cepat.
Selain itu, waktu pertemuan Abay dan Dina pun masih seperti dulu. Mereka bertemu tiga bulan sekali dan itu pun hanya beberapa jam. Padahal jarak rumah rahasia Abay dan Sanusi tak terlalu jauh, sekitar lima kilometer saja. Tetapi bukan berarti mudah bagi Sanusi menemui Abay.
Bicara tentang pertemuan, ini pun hal yang unik dan penuh misteri. Ada kalanya janji bertemu yang disiapkan jauh hari bubar di detik terakhir, kadang kala bisa bertemu begitu saja dan tak diduga-duga.
Seperti pertemuan antara Abay dan Sasan di sebuah warung kopi di dekat pasar. Abay memang termasuk sering nongkrong di warung itu, setidaknya seminggu sekali dia hadir dan tentunya punya maksud tersendiri, yaitu mencari orang yang kesulitan ekonomi, lalu ditawarkan untuk menemui Ki Jabaya dan bersekutu dengan Nyi Malini.
Sedangkan Sasan, dia tak sengaja memasuki warung kopi. Karena dia sudah merasa lelah berjalan kaki dan berpikir untuk sekedar istirahat, lalu memesan kopi guna menghilangkan rasa kantuknya, sebab dia tak bisa berbaring tidur siang. Dia berada jauh dari kamar kost murahan yang disewanya.
Sasan sebenarnya sedang dalam perjalanan menemui Lala yang telah pindah rumah. Dia bukan berniat menemui Lala, tetapi mau menengok Suta. Berbekal alamat dari tetangga rumah Lala yang lama, dia pun pergi mencari.
Bukan salah alamat yang Sasan dapat. Kertas berisi nama jalan sudah benar berada di dekat pasar, hanya saja Lala sudah pindah lagi. Kali ini dia tak mendapat petunjuk baru.
Sasan pergi menumpang angkutan umum. Karena itu dia berpikir untuk mengisi perutnya terlebih dahulu, pilihan pun jatuh pada warung kopi yang juga menyediakan mie instan rebus. Dengan uang pas-pasan di kantong, dia pun memilih memesan mie instan tanpa telur dan segelas kopi.
Baru saja Sasan selesai memesan, dia tak sengaja menengok ke meja di dekat pintu masuk. Tadi waktu masuk, dia sama sekali tak memperhatikan pengunjung yang lain.
Dua pasang mata bertemu.
sudah bagus medi mengizinkan menginap