Khanza dan Roland, sepasang insan yang saling mencintai, Karena Fitnah, Roland menyakiti Khanza, saat Roland menyadari kesalahannya, dia sudah terlambat, Khanza telah pergi meninggalkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darmaiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diusir
Assalamualaikum
Ketemu lagi, lebih awal ya readers
Kerena akunya lagi sibuk nyiapin PKKM.
"Hal yang paling sulit kulakukan, adalah dipaksa pergi, di saat aku sangat ingin bersamamu."
By Rajuk Rindu
💖💖💖💖
Perlahan Roland membuka mata, dia menatap langi-langit kamar, mengingat kembali apa yang telah terjadi tadi malam. Lalu memidai ruang kamar, sejak dia berpikir.
“Seperti kamarku.” Batinnya pelan.
Saat Roland menarik tangan dan menyusupkan ke dalam selimut, dia kaget begitu menyadari kalau dia tidur tanpa busana, rasa tidak percaya, dia membuka dan mengintip ke dalam selimut.
“Siapa yang telah membuka pakaianku.” Batin Roland lagi, spontan dia duduk.
Roand menyingkap selimut yang menutupi tubuh seseorang, Kini terpampang, setengah tubuh mulus Khanza yang masih mendengkur manis, Roand kaget seraya membulatkan matanya, meyakinkan kalau itu benar-benar Khanza. Reflex Roland meraba miliknya, ada suatu cairan yang mulai mengental menempel di sana.
“Apa aku telah melakukannya dengan Khanza.” Pikirnya setengah waras.
“Ahggg, sial.” seketika darahnya mendidih, Roland meremas rambutnya.
“Bisa-bisanya dia mengodaku.” Geram Roland.
"Bangun!" teriak Roland sambil menjambak rambut Khanza. Khanza kaget dan matanya langsung terbeliak.
Tak puas dengan jambakannya, dia menarik rambut Khanza, hingga memaksa Khanza menengadahkan wajah ke arah Roland. Mata ****** Roland menatap tajam seakan mau menelannya hidup-hidup. Roland menarik napas panjang, kemudian menghembuskan kewajah khanza. Dia melepaskan jambakan di rambut Khanza, sekarang tangannya berpindah ke leher Khanza.
“Ekkk.” Khanza hampir kehabisan napas karena cekelan tangan Roland.
“Ahhhhggg.” Roland melepaskan cekalannya.
“Uhuk, uhuk, uhuk.” Khanza terbatuk-tabuk, saat Roland melepaskan cekalannya, leher terasa sakit, tenggorokan mengering. Khanza tidak pernah menduga kalau Roland bisa melakukan ini padanya.
"Dasar perempuan murahan!! Tak tahu diri." maki Roland lagi, dia menatap Khanza penuh dengan emosi.
Khanza mengenggam selimut dengan kedua tangan yang gemetar, dia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa perih di hati yang tercabik-cabik. Makian Roland kali ini betul-betul membuatnya terluka dalam. Mata mulai berkaca-kaca, dia tertunduk tidak berani sama sekali menatap wajah Roland yang terlihat sangat beringas.
“Apa Roland akan membunuhku.” Batin Khanza, dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Melihat Khanza diam dan menunduk, memicu kemarahan Roland tambah meletup-letup. Ketidak berdayaan Khanza dianggapnya, kalau Khanza benar melakukan apa yang telah dituduhkannya.
"Plakkk, plakkk" dua tamparan Roland mendarat indah di pipi Khanza, sakit yang luar biasa, hingga berdengung ditepi telinganya.
Khanza meraba pipi yang memanas, tangan gemetar menahan ngilu yang menghujam perasaannya, dia seperti tawanan yang sedang pesakitan, dan di siksa oleh serdadu jahat tanpa prikemanusiaan, sekali sentak Roland menarik selimut yang menutupi tubuh Khanza, sontak Khanza sibuk menutupi asetnya yang telah ternoda. Khanza menarik kembali selimut yang sebagian sudah berada ditangan Roland. Kali ini Roland malah mendorong tubuhnya dengan kasar, hingga terjatuh dari tempat tidur. Dan selimut ditangannya terlepas.
“Dukkk.”
“Ahhhh, sakit.” Lirih Khanza meraba bibirnya yang terhantuk tepi tempat tidur. Ada darah segar mengalir di situ, dia mengelap sudut bibirnya dengan ibu jari.
“Lihat! Coba kau lihat tubuhmu, kau kotor. Hahaha.” Roland memaki Khanza dengan diakhiri tawa sumbangnya.
"Apa kau tidak puas dengan lelaki di luar sana, hingga kau menjebak dan menggodaku." Ungkap Roland lagi, kali ini dia sangat jijik melihat tubuh Khanza dan menghinanya.
Sekilas Khanza menatap Roland, dia melihat ada kilat kebencian yang mendalam di mata teduh itu. Buliran-buliran bening mulai berdesakan, namun tetap di tahannya dengan sisa tenaga yang masih dimilikinya.
"Dasar perempuan murah! pergi dari apartementku!” Roland melemparkan bantal ke arah Khanza, mengenai kepalanya hingga dia terhuyung.
“Pergi! aku tak ingin lagi melihat wajahmu!" teriak Roland sambil mengusir Khanza. Kali ini Roland tidak main-main, dia ingin Khanza benar-benar pergi dari kehidupannya.
“Mas! Kau..”
“Pergi!” teriakan Roland menggema di kamarnya, membuat nyali Khanza menciut.
Perlahan Khanza memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai, kini dia tak kuasa menahan tangis, seketika air mata membanjir, dia pergi meninggalkan Roland tanpa bicara sepatah kata pun.
Seperginya Khanza, Roland kembali menarik selimut, dengan rasa kesal yang masih meluap-luap, meneruskan tidurnya. Tiga jam kemudian dia baru terbangun, itu pun karena ponselnya bergetar.
“Mangganggu saja.” Maki Roland meraih ponselnya, tanpa melihat siapa yang memanggil, dia merejek panggilan Dan kembali menarik selimut, menutupi tubuhnya dan kembali memejamkan mata. Hari ini Roland hanya ingin menghabiskan waktu sehariannya di kamar.
Dreet…dreet…dreet, ponselnya kembali berdering.
“Siapa lagi sich.” Umpat Roland, dia meraih ponsel yang tadi diletakkan di atas kepala.
“Widya.” Gumamnya.
“Hallo Wid.” Roland menerima telpon dari sekretarisnya.
“Tuan, tiga puluh menit lagi, ada pertemuan dengan Mr, Albert.”
“Kau saja yang menemuinya.”
“Tapi tuan, ini pertemuan penting.”
“Kau kan bisa menghendel.”
“Mr. Albert biasanya tidak menyukai adanya perwakilan dan dia tidak segan-segan untuk membatalkan kerjamasa dengan siapapun.” Ujar Widya. Roland pun tahu bagaimana karakter Mr. Arbert.
“Baik lah.” Ujar Roland, seraya mematikan ponselnya. Dia tidak boleh kehilangan proyek terbesar ini.
Roland melirik jam dinding yang tergantung berhadapan dengan tempat tidur, jarum pendeknya sudah menunjukkan pukul sebelas. Sambil merentangkan tangan dia menggeliat, tubuhnya masih terasa lelah, dia seperti habis mengangkut karung beras berpikul-pikul. Rolanad duduk, lalu beranjak masuk ke kamar mandi,membuka kran shower dengan kencang, berdiri di bawah shower sambil menutup mata, seakan menikmati guyuran sejuknya air yang menyiaram seluruh tubuhnya.
Merasa ritual siramannya cukup, Roland mengambil sabun, dan mengabuni seluruh tubuhnya, sesaat terbayang tubuh polos khanza yang tadi sempat dilihatnya, tiba-tiba dia bergedek merasa geli dan jijik, karena telah bergelut dan bercinta dengan tubuh wanita kotor.
“Ihhhh.” Desisnya sambil terus menyabuni tubuhnya, berharap sabun bisa menghapus jejek tubuh Khanza.
Semakin Roland menyabuni tubuhnya, semakin mengingatkannya pada Khanza dan Heru yang sedang bergulat di kamar Hotel itu. Bayangan Khanza membuat emosi Roland kembali memuncak.
“Ahhhh, prangkkk.” Cermin yang ada di hadapan Roland, hancur berkeping-keping menjadi sasaran emosinya, lalu dia memukul dinding kamar mandi berulang-ulang, hingga tangannya memer dan berdarah.
“Kenapa aku bisa tidur dengan Khanza.” Sesal Roland.
“Kenapa aku bisa sebodoh ini.” Lirihnya perih.
Roland kembali memutar memorinya, terakhir yang dia ingat sedang makan malam dengan Agnis. yah... Agnis, begitu menyebut nama Agnis, Roland segera menyelesaikan mandinya dan berpakaian, dia harus menyusul Agnis, Agnis tidak boleh meninggalkannya. Karena tadi malam Agnis mengatakan kalau dia hari ini akan pergi.
“Aku harus menemui Agnis secepatnya.” Kata Roland.
Tergesa Roland menyelesaikan mandinya, lalu berpakaian, kemudian meraih kunci mobil dan keluar kamar, terasa sepi, memang setelah Azura dan Zila kembali ke Singapure, Roland hanya tinggal berdua dengan Khanza, saat melewati kamar Khanza, kamarnya tertutup raat, Roland juga tidak berniat untuk pamit atau sekedar melihat perempuan itu.
“Buat apa aku menemuinya.” Lirih Roland, sepertinya dia lupa, kalau sudah mengusir Khanza, dia pun keluar meninggalkan apartement.
Baru saja dia masuk mobil dan duduk di depan stir, Roland merasa ada sesuatu yang tertinggal, dia meraba saku celana, mencari benda pipih yang biasa di bawanya kemana pun. Anroid kesayangan itu masih tertinggal di kamar.
“Ah, kanapa bisa tertinggal.” Gumam Roland, dia kembali naik ke atas.
“Di mana ponselku, perasaan tadi di sini.” Batinnya saat sudah berada di dalam kamar, kerena tidak menemukan ponselnya di atas nakas dan meja kerja, dia mencoba memiscol dengan ponselnya yang satu lagi.
Dreet… dreet…dreet, ada suara getaran, Roland menajamkan telinganya, mencari bunyi getaran, bunyinya mengarah ke tempat tidur. yah... di bawah selimut. Roland menarik selimut dan membuangnya ke lantai, dia meraih gawainya yang tergeletak di atas seprai, mata Roland melihat sesuatu yang aneh, ada bercak darah di seprai tempat tidurnya. Roland menyentuh tetesan darah itu, sudah mengering.
“Darah apa ini?”
“Khanza! dia masih perawan, Oh Tuhan.” Roland bergegas ke luar dari kamarnya.
“Aku harus segera menemui om Heru dan meminta penjelasannya.”
Roland turun dan kembali ke mobilnya, lalu meluncur meninggalkan apartement, dia melajukan mobil menuju rumah Heru adik dari papanya. Mobil yang dikendari Roland melaju kencang, dia ingin secepatnya tahu apa sebenarnya yang telah terjadi malam itu dengan Khanza.
Apakah Khanza pergi meninggalkan Roland, yuk ikuti Part selanjutnya
💖💖💖💖
Jangan lupa dukung auhtor dengan cara tekan like.
Terima kasih
hiks... hiks...
terimakasih thor, sukses selalu
anakx Ranti miece