Masa remajaku tidak seindah remaja lain. Di mana saat hormon cinta itu datang, tapi semua orang disekitarku tidak menyetujuinya. Bagaimana?
Aku hanya ingin merasakannya sekali saja! Apa itu tetap tidak boleh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riaaan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Di jam 10 malam, aku dibangunkan oleh bunyi dering ponsel yang amat nyaring. Rupanya ibu juga tertidur di depan televisi. Aku langsung menjawab panggilan tersebut dan ibu pindah ke dalam kamarnya.
"Mut! Gue di depan gang rumah lo! Ke sini bentar!"
Aku melihat siapa yang berkata seperti itu, rupanya Bulan.
"Lo ada masalah lagi?" tanyaku.
"Ke sini dulu!" Kemudian Bulan mengakhiri panggilan tersebut.
Aku langsung mengambil kunci motor dan menyusulnya.
Di simpang gang rumahku itu ada seorang perempuan sedang duduk di trotoar. Aku berhenti di sebelahnya.
"Mut! Lo harus liat ini!" Bulan langsung berkutat dengan ponsel.
"Kenapa sih? Lo berantem lagi sama emak tiri lo apa gimana?" tanyaku.
"Ga! Ini bukan renrang keluarga gue! Ini tentang Suci!" tegasnya.
Aku langsung terdiam mendengar hal tersebut.
"Pokoknya lo harus liat ini, Mut! Gue ga percaya! Tapi ini beneran!" Bulan terus berkutat dengan ponselnya.
Kemudian dia menunjukkan sebuah video.
Suci mabuk dengan pakaian yang hampir tidak berbusana. Beberapa pria menjamahi tubuhnya sambil merekam. Orang yang merekam video itu juga ikut menjamahi.
.... Aku terdiam sejenak menonton video tersebut. Aku tidak lagi terkejut. Tapi, dari siapa Bulan mendapatkan video tersebut?
"Itu lo dapet dari siapa?" tanyaku.
Tiba-tiba Bulan menangis tanpa berkata-kata. Ia hanya menatapku.
"Lo dapet dari siapa?!" teriakku.
"Bilang ke gue kalo ini bukan Suci," ucapnya.
"Lo dapet dari siapa, Bul?!" teriakku lagi.
"Gue nonton live instagramnya orang, terus gue liat ada cewek mirip Suci lagi dugem gitu. Terus gue DM, terus dia kirim video ini. Bilang ke gue ini bukan Suci! Ini orang cuma mirip sama dia! Ya kan? Ga mungkin Suci kayak gitu. Dia kan baik! Dia kan kerja di resto!" oceh Bulan sembari menangis.
"Live kapan?" tanyaku.
"Bilang ke gue ...."
"LIVE KAPAN?!" teriakku lebih kencang.
Bulan terdiam sejenak. "Tadi," jawabnya.
"Naik! Ikut gue!" ucapku.
"Mau ke mana?" tanya Bulan.
"Kita pastiin itu bukan Suci!" balasku.
Bulan langsung ikut denganku. Kami pergi ke rumah Suci, dan ternyata Suci tidak ada di sana. Ibunya berkata bahwa Suci belum pulang kerja.
Aku mencoba untuk menelepon Wisnu, tapi dia tak menjawab panggilan itu. Aku melakukannya berkali-kali hingga akhirnya nomor itu tidak aktif lagi.
"Jadi gimana, Mut? Kita samperin Suci ke tempat kerjanya sekarang, tapi kita ga tau dia kerja di mana!" oceh Bulan.
Aku langsung menyalakan motor dan Bulan ikut kembali denganku. Sepanjang perjalanan Bulan terus menangis dan mengoceh. Ia yakin bahwa Suci dijebak oleh seseorang. Sedangkan aku yang sudah tahu soal ini hanya diam saja.
Kami berhenti di depan DLC. Di sana aku melihat motor Wisnu terparkir. Tiba-tiba otakku bergerilya. Aku langsung berlari memasuki kelab malam tersebut. Keadaan sudah ricuh. Aku melihat kerumunan orang. Beberapa petugas keamanan juga ada di sana.
Aku melihat seorang pria dewasa sedang memukuli seseorang. Begitu aku melihat kilatan cahaya lampu ....
"WISNUUUUUUUU!!" teriakku berlari berusaha menembus keramaian. Sedangkan Bulan aku sudah tidak tahu di mana dia sekarang. Tapi aku melihat Suci juga berada di sana. Ia terbaring di atas kursi sofa dengan keadaan tidak sadarkan diri. Dia sudah mencapai batas kesadarannya untuk mabuk.
"Wisnuuuuu! Wisnu!" teriakku berusaha menarik pria dewasa itu agar tidak memukuli Wisnu lebih parah. "Tolooooong!" teriakku tapi dari sekian banyak orang di sana, perkelahian tersebut malah menjadi tontonan bagi mereka.
"Bang udah, Bang!" teriakku yang sempat terhempas sebab pria itu terus-terusan memukuli Wisnu.
"Lo mau cewek lo ini? Ah?" tanya pria itu dengan gaya mabuk menunjuk Suci. "Makanya punya duit! Biar cewek lo ga jadi lon*te!" ejeknya dan tertawa.
Kemudian pria itu pergi. Wisnu dibawa oleh beberapa petugas keamanan dan dibiarkan terbaring tak berdaya di di atas lantai teras DLC.
"Mut! Suci mana?" tanya Bulan.
"PERSETAN SAMA SUCI! WISNU HAMPIR MATI GEGARA DIA JUAL DIRI DI SINI!" jeritku dengan napas yang menggebu-gebu. Rasanya aku ingin menangis melihat tubuh dan wajah Siwnu dipenuhi dar*ah.
"Nu!" panggilku untuk memastikan bahwa dia masih hidup. "Wisnu!" panggilku lagi.
"Wisnuuuu!" teriakku panik. "Telpon ambulans, Bul!"
"Gue ga tau nomornya," balas Bulan.
Air mataku sudah membanjir. Tanganku gemetar, mengeluarkan ponsel dan menelepon Alex. Hanya dia satu-satunya orang yang bisa aku andalkan.
"Halo, Sayang. Mau main?" sambut pria itu.
Aku langsung menangis sejadi-jadinya hingga membuat Alex panik. Tanganku gemetar sebab aku melihat dada Wisnu tak lagi naik turun. Ponselku sampai terjatuh. Bulan mengambil alih untuk berbicara kepada Alex.
"Nu!" panggilku lagi. "Nu, lo jangan bikin gue panik!" teriakku sembari menangis. "Tolooooongg!"
Entah terbuat dari apa hati manusia di dalam ruangan itu, bahkan mereka tidak peduli apa yang terjadi pada Wisnu di sini.
Aku menangis sejadi-jadinya entah berapa lama. Bulan juga ikut menangis. Tiba-tiba bunyi sirine ambulans membuatku berlari ke parkiran. Alex memandu ambulans dan memarkirkan motornya di depan DLC. Aku langsung memeluknya dan kembali menangis. Aku takut. Aku takut Wisnu meninggal dunia.
"Di sini, Pak!" teriak Bulan membuat para tenaga medis berlari membawa tandu.
"Wi—Wisnu ga napas lagi," ucapku tergagap dalam pelukan Alex.
"Udah tenang dulu, biar dibawa ke rumah sakit dulu," ucap Alex. Aku masih terus menangis.
"Gue ikut ambulans aja ya? Ntar gue telpon kalo udah sampe di rumah sakit!" ucap Bulan berlari memasuki ambulans.
Tak lama dari kejadian itu, aku masih menangis dan pelukan hangat Alex. Mungkin jaketnya sudah basah akibat air mataku.
Suci keluar dari DLC. Aku tahu itu sebab Alex menyebut namanya. Napasku memburu dan detak jantungku menggebu-gebu. Ada rasa marah yang sangat-sangat sulit aku jelaskan.
Suci berjalan terhuyung-huyung menghampiri kami namun tidak sanggup. Ia duduk di tangga depan DLC. Aku menghampirinya dan melayangkan satu buah tamparan, membuatnya terbaring.
"Mutia!" Alex mencegahku.
"Dia jual diri di sini!" teriakku berusaha menjelaskan pada Alex. "Dia bilang kalo Wisnu pegang-pegang dia, dia emang kerja di sini! Wisnu ngelindungin dia! Sekarang liat! Wisnu sampe kayak gitu gegara dia!"