NovelToon NovelToon
TERPERANGKAP

TERPERANGKAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / One Night Stand / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Barat
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: wiedha saldi sutrisno

Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.

Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.

Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?

PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 33 : Cinta yang Berbeda

Cahaya matahari pagi menyelinap malu-malu melalui celah tirai kamar, menyapa wajah Samantha yang masih pucat di antara seprai putih bersih. Matanya perlahan terbuka, buram dan berat, seperti baru kembali dari mimpi buruk yang terlalu nyata. Ada sejenak hening, lalu nafas panjang ia hembuskan pelan, berat, getir, dan lelah. Tapi ia masih hidup.

Langkah pelan terdengar dari arah pintu. Leonard masuk, sosoknya begitu tenang dalam balutan kaus abu dan celana rumah gelap. Di tangannya, sebuah nampan kecil dibawa hati-hati, berisi semangkuk bubur hangat yang menguap lembut dan segelas susu yang hampir penuh.

Tatapan mereka bertemu, dan Leonard segera tersenyum, senyum yang sedikit goyah namun penuh kelegaan.

"Kamu sudah bangun..." ucapnya lirih, suaranya seperti pelukan hangat di pagi yang dingin. Ia mendekat, meletakkan nampan di meja samping tempat tidur, lalu duduk di sisi ranjang, menatap istrinya dengan mata yang nyaris berkaca.

"Aku buatkan bubur. Yang lembut, kamu harus makan sedikit, ya?" lanjutnya, menyentuh pelan ujung jemari Samantha yang tergeletak di atas selimut.

Samantha hanya mengangguk pelan, kelopak matanya berkedip lambat, menyerap kasih yang ditawarkan lelaki itu. Tenggorokannya masih kering, kata-kata belum sanggup terucap, tapi senyum tipis di sudut bibirnya cukup memberi jawaban.

Leonard menyentuh dahinya, mengecupnya singkat. "Kamu aman sekarang. Kamu di rumah. Bersamaku."

Dan untuk pertama kalinya setelah malam yang panjang dan kelam, Samantha memejamkan matanya bukan karena takut...tapi karena damai.

Samantha membuka matanya kembali, pelan, seolah ingin memastikan bahwa semua ini bukan sekadar mimpi. Tatapannya jatuh pada Leonard yang kini duduk lebih dekat, memegang sendok bubur dengan tangan yang stabil namun penuh kehati-hatian.

"Aku bisa makan sendiri," gumamnya pelan, suaranya serak, nyaris tak terdengar.

Leonard menggeleng, senyumnya mengembang lembut. "Kamu baru saja melewati neraka, Sam. Izinkan aku jadi yang pertama menuntunmu kembali ke dunia yang lebih baik."

Ia menyuapkan satu sendok kecil ke mulut istrinya, dan Samantha tak menolak. Rasanya hambar di lidahnya, tapi ada kehangatan yang perlahan merembes ke dadanya, bukan dari makanan itu, melainkan dari tangan yang memberinya, dari sorot mata yang tak pernah menjauh sedikit pun darinya.

Setelah beberapa suapan, Samantha menoleh pelan, menatap Leonard. "Kamu tidak bertanya apa yang terjadi," ujarnya.

"Aku tidak ingin memaksamu bicara sebelum kamu siap," jawab Leonard. "Tapi kalau kamu ingin, aku akan mendengarkan. Aku akan duduk di sini... selama yang kamu perlukan."

Hening sejenak. Samantha menggigit bibir bawahnya.

Leonard menatapnya lama. Ia kemudian meletakkan mangkuk di meja, meraih tangan Samantha dan menggenggamnya erat.

"Tidak ada satu malam pun yang bisa mengubah siapa kamu, Sam. Tidak ada satu orang pun yang bisa menghapus martabatmu, atau mengurangi cintaku padamu. Kamu tetap wanita yang sama... yang aku pilih, yang aku cintai, dan yang akan selalu pulang ke dadaku."

Air mata akhirnya lolos dari sudut mata Samantha, diam-diam mengalir turun. Tapi kali ini, bukan karena ketakutan... melainkan karena sebuah kenyataan sederhana: dia tidak sendirian. Dia masih dicintai.

Leonard memeluknya pelan, tidak menekan, tidak menuntut, hanya menjadi tempat berlabuh. Dan dalam dekapan itu, Samantha untuk pertama kalinya membiarkan tubuhnya rileks. Meskipun luka belum sembuh, meskipun dunia belum benar-benar aman... dadanya dipenuhi satu hal yang mulai tumbuh kembali.

Harapan.

...****************...

Malam itu, setelah Leonard tertidur di kursi di samping ranjang, Samantha tetap terjaga. Matanya menatap langit-langit kamar yang redup, tapi pikirannya jauh, berkeliaran ke tempat yang seharusnya tidak ia jamah.

Bayangan itu kembali: Nathaneil menerobos pintu pabrik tua dengan mata membara, tubuhnya diliputi amarah dan tekad. Ia tidak mengutus siapa pun. Ia datang sendiri. Dengan tangannya sendiri, ia menghabisi Axton... Tanpa ragu, tanpa memikirkan risiko. Bukan sebagai seorang CEO dengan reputasi yang harus dijaga. Tapi sebagai pria yang terluka, yang marah, yang... peduli.

Dan yang lebih mengguncangkan, dia mengantarnya pulang. Kembali ke Leonard. Ke pelukan lelaki yang mencintainya tanpa syarat.

Ia tak berkata banyak malam itu, hanya menyerahkan Samantha dengan tubuhnya yang masih gemetar ke dalam pelukan suaminya, lalu pergi... Seolah tak pernah ingin mengklaim apapun, bahkan setelah segalanya.

Samantha menarik napas panjang, dadanya sesak. Mungkin selama ini ia salah menilai Nathaneil. Mungkin pria itu tidak jahat, tidak sesederhana hitam dan putih. Mungkin... dia hanyalah seseorang yang mencintai dengan cara yang rumit, yang kasar, yang menyesakkan. Tapi tetap saja, sebuah cinta.

Dan sekarang, saat ia terbaring di sisi Leonard yang begitu hangat dan penuh kasih... pikirannya masih mengembara pada pria lain.

Itu salah. Ia tahu. Salah memikirkan lelaki yang berkali-kali membuatnya hancur. Salah merindukan kelembutan dalam kemarahan Nathaneil. Salah berharap untuk mengerti seorang pria yang bahkan dirinya sendiri mungkin tak paham siapa dia sebenarnya.

Namun pengkhianatan terbesar bukan saat seseorang memilih pergi, tapi saat hatinya tinggal... bahkan ketika tubuhnya telah kembali.

Samantha menutup matanya rapat-rapat, mencoba menahan perasaan yang tak seharusnya tumbuh. Tapi jejak Nathaneil masih ada. Di sudut pikirannya. Di ruang kecil di dadanya.

Dan ia benci bahwa bagian dari dirinya... masih peduli.

...****************...

Di sebuah ruangan bawah tanah terpencil yang tersembunyi di kawasan industri tua, keheningan terasa menyesakkan. Lampu gantung berayun pelan di langit-langit rendah, memantulkan cahaya kekuningan pada dinding-dinding lembab yang berlumut. Di sana, empat orang duduk terikat di kursi besi, tangan mereka dibelenggu ke belakang dengan borgol baja. Wajah mereka lusuh, sebagian lebam, sebagian lainnya menyimpan kebencian yang tersembunyi di balik sorot mata yang kosong.

Pintu baja berderit terbuka.

Langkah sepatu kulit terdengar mantap menyusuri lantai beton. Nathaneil muncul dalam balutan jas hitam dan kemeja putih yang tidak lagi begitu rapi. Tak ada senyum. Tak ada basa-basi. Hanya tatapan tajam yang menelanjangi satu per satu penghuni ruangan.

Matanya berhenti pada Clara.

Perempuan itu menegakkan dagu dengan angkuh, meski tubuhnya tak bisa berbuat banyak. Mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu, ada sejarah. Luka lama. Penyesalan yang sudah membatu menjadi kebencian.

"Seharusnya kau tahu," suara Nathaneil rendah dan datar, tapi penuh tekanan, "aku bisa memaafkan banyak hal. Bahkan pengkhianatan."

Ia melangkah lebih dekat, suaranya kian tenang namun mematikan. "Tapi menyentuh satu hal yang paling berarti bagiku?" Napasnya terdengar berat. "Itu adalah akhir."

Axton menggeram pelan dari kursinya. Salah satu anak buahnya mencoba membuka mulut, tapi sebuah pukulan dari penjaga membuatnya terdiam seketika.

Clara tersenyum miring, darah mengering di sudut bibirnya. "Kau terlambat, Nathaneil. Luka sudah terlanjur tercipta. Dan sekarang... dia tahu siapa kamu sebenarnya."

Nathaneil mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak sejengkal. "Aku tidak peduli," katanya dingin. "Asal dia selamat."

Ia berdiri tegak kembali, menatap mereka semua sejenak. "Kalian tidak akan mati," katanya pelan. "Kematian terlalu murah untuk kejahatan seperti ini."

Seketika itu pula, penjaga membenturkan tongkat baja ke lantai, dan dua pria berpakaian hitam masuk membawa peralatan interogasi.

Nathaneil berbalik, melangkah ke luar tanpa menoleh. "Buat mereka bicara," katanya kepada bawahannya. "Aku ingin tahu siapa saja yang terlibat. Dari yang memberi informasi, sampai yang hanya berdiri menonton."

Sebelum pintu baja tertutup kembali, suara Clara menggema seperti racun terakhir yang coba dilemparkannya.

"Dia akan membencimu, pada akhirnya."

Nathaneil berhenti sejenak. Tapi ia tidak menjawab. Tidak perlu. Karena jawaban itu terlalu dalam untuk diucapkan. Ia melangkah pergi, membiarkan keadilan berjalan dengan caranya yang paling kelam.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!