Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.
Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.
Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Aldric menatap Arlena dalam-dalam, lalu bangkit dari duduknya dan berjalan ke jendela, memandang keluar sejenak sebelum menjawab.
“Kamu masih memikirkan mereka, bahkan setelah apa yang mereka lakukan padamu?” suaranya datar, tapi mengandung ketegasan yang tak bisa diganggu gugat.
Arlena menunduk, suaranya pelan, nyaris berbisik,
“Mereka tetap keluarga saya, Tuan… Saya hanya… tidak ingin mereka menderita…”
Aldric berbalik, menatapnya lurus. “Tidak. Mereka harus bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Dunia ini tidak bisa berjalan hanya dengan rasa kasihan.”
“Tapi—”
“Cukup, Arlena.” Kali ini suaranya lebih tegas. “Aku sudah terlalu banyak melihatmu disakiti. Jika aku membiarkan mereka bebas, maka semua ini akan sia-sia. Kamu tidak lagi berada di bawah bayang-bayang mereka. Mengerti?”
Air mata mengalir di pipi Arlena. Ia tahu Aldric benar. Tapi di dalam hatinya, luka dan rasa bersalah tetap mengendap.
Di balik jeruji besi yang dingin dan suram, suara langkah kaki petugas penjara menggema di lorong panjang.
Ryan dan Dimas duduk berseberangan di ruang tahanan, wajah mereka dipenuhi amarah dan kebingungan.
“Ini semua gara-gara Arlena!” bentak Ryan, tinjunya mengepal di atas meja kecil.
Dimas menggeram, “Aku nggak peduli! Kalau dia nggak ngelawan, kita nggak bakal di sini!”
Seorang petugas mendekat dan memberi mereka secarik surat.
“Ini dari seseorang yang ingin kalian tahu. Hati-hati,” katanya sambil berlalu.
Ryan membuka surat itu dengan tangan gemetar. Mata mereka melebar saat membaca isi pesan yang tak terduga sebuah peringatan dan ancaman dari pihak yang belum mereka kenal.
Di balik jeruji besi, orang tua Arlena duduk terpisah di sudut ruang tahanan yang dingin. Wajah mereka penuh amarah dan kekecewaan.
“Dasar anak durhaka,” gerutu sang ibu sambil menatap kosong ke depan.
Sang ayah menimpali dengan nada penuh dendam, “Lihat saja nanti kalau kita keluar dari sini. Dia pasti menyesal telah melawan keluarga.”
Keduanya saling bertukar pandang penuh kebencian, tak menyadari bahwa kemarahan mereka justru membuat luka yang lebih dalam bagi semua pihak.
Di luar sana, Arlena perlahan membangun kekuatannya, jauh dari bayang-bayang masa lalu yang kelam.
Paman Arlena tiba di penjara dengan wajah serius dan penuh tekad. Ia menyerahkan sejumlah dokumen dan uang jaminan kepada petugas dengan cepat.
“Dengan ini saya jamin mereka,” ucapnya tegas.
Tak lama kemudian, orang tua dan kedua kakak Arlena dibebaskan dari jeruji besi. Namun, meski bebas, bayang-bayang masalah keluarga belum juga hilang.
Paman Arlena menatap mereka dengan peringatan, “Ingat, ini kesempatan terakhir kalian. Jangan buat masalah lagi.”
Kedua kakak Arlena saling berpandangan dengan tatapan dingin penuh amarah.
Sang ayah mengangguk pelan, lalu berkata dengan suara bergetar, "Sekarang waktunya kita balas dendam. Kita harus paksa Arlena pulang. Dia harus kembali ke keluarga ini, apa pun caranya."
Paman Arlena yang mendengar itu menegaskan, "Ingat, jangan sampai kalian merusak semuanya lagi. Jangan ulangi kesalahan yang membuat kalian di sini."
Namun, di dalam hati, semua tahu bahwa pertarungan antara keluarga dan Arlena belum akan berakhir begitu saja.
Paman Arlena menatap tajam kedua kakak Arlena dengan ekspresi penuh ketidaksetujuan. Ia menghela napas panjang sebelum berkata tegas,
“Kalian sudah cukup menyiksa Arlena selama ini. Aku tidak akan membiarkan kalian memperlakukannya seperti itu lagi. Kalau kalian terus seperti ini, aku yang akan bertindak.”
Kemarahan dan rasa sayang paman itu terlihat jelas, membelah ketegangan di antara mereka. Ia ingin melindungi Arlena, meski darah daging sendiri.
Ayah dan kedua kakak Arlena, Ryan dan Dimas, mengabaikan teguran paman mereka.
Mereka berdiri tanpa sedikit pun rasa bersalah, lalu melangkah keluar dari penjara dengan kepala dingin dan hati penuh dendam.
Paman Arlena hanya bisa memandang mereka dengan wajah campur aduk antara kecewa dan sedih.
Ia sudah menebus kebebasan mereka, tapi sikap mereka tak berubah.
“Sudah kubilang, kalau kalian terus seperti ini, aku yang akan bertindak,” ucap paman itu dengan suara berat.
Namun, kata-katanya hanya diterima dengan senyum sinis dari kedua kakak Arlena.
Mereka berjalan menjauh meninggalkan paman yang masih berdiri terpaku di pintu keluar penjara, sendirian dengan beban hati yang berat. Paman tahu, ini bukan akhir. Mereka belum menyerah.
Ayah Arlena melirik ke arah Dimas, menatap dengan penuh rencana dan tipu muslihat.
“Kita tidak bisa membiarkan Arlena terus di sana,” bisiknya dingin. “Saatnya kita ambil langkah lebih jauh.”
Dengan langkah mantap, mereka berdua meninggalkan area penjara dan langsung menuju ke rumah Aldric, tempat Arlena kini tinggal.
Tekad mereka sudah bulat, mereka akan memaksa Arlena pulang dan mengakhiri ‘masalah’ ini sesuai dengan kehendak mereka sendiri.
Di jalan, suasana sunyi dan tegang mengiringi langkah mereka. Setiap detik membawa mereka lebih dekat pada konfrontasi yang tak bisa dihindari.
Paman Arlena yang masih terpaku di penjara hanya bisa berdoa dalam hati, berharap Arlena tetap kuat dan selamat dari jerat keluarga yang penuh kepahitan itu.
Keesokan paginya, matahari baru saja menembus tirai jendela ketika Aldric memanggil Arlena di ruang tengah.
“Arlena, siapkan pakaian untukku. Aku akan membawa beberapa baju untuk tugas ke luar kota,” ucap Aldric dengan suara tegas tapi lembut.
Arlena mengangguk, bergegas mengambil pakaian yang diminta.
“Aku akan pergi selama tiga hari. Selama itu, kamu tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah. Fokus saja untuk belajar dan memperbaiki dirimu,” tambah Aldric sambil menatap Arlena penuh perhatian.
Arlena tersenyum tipis, hatinya campur aduk antara rasa terima kasih dan kerinduan yang mulai tumbuh.
“Baik, Tuan Aldric. Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh.”
Aldric mengangguk, lalu melangkah keluar rumah dengan koper di tangan, meninggalkan Arlena yang kini memiliki waktu untuk berjuang memperbaiki masa depannya.
Sebelum berangkat, Aldric memanggil kedua stafnya, Anna dan Dion.
“Aku titip Arlena selama aku pergi. Pastikan dia belajar dengan baik dan jangan sampai ada yang mengganggunya,” perintah Aldric serius.
Maya dan Riko mengangguk mantap. “Tenang saja, Pak. Kami akan jaga dia sebaik mungkin.”
Arlena berdiri di samping mereka, merasa sedikit lega tapi juga cemas. Meski begitu, tekadnya untuk berubah dan membuktikan diri semakin kuat.
Aldric memberikan sedikit senyuman kecil sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan rumah, sementara Arlena mulai mempersiapkan diri untuk hari-hari penuh tantangan yang akan datang.
Aldric masuk ke dalam mobil dengan langkah tegap, memandang sekilas ke arah rumah sebelum mengunci pintu.
Di dalam rumah, Arlena segera menuju kamar Aldric, membersihkan dengan telaten merapikan tempat tidur, menyeka debu di meja kerja, dan memastikan semuanya rapi sesuai standar.
Sementara itu, di halaman belakang, Maya dan Riko sibuk menyapu dan menyiram tanaman, menjaga taman tetap indah dan rapi seperti biasanya. Suasana rumah tetap terjaga meski tuannya sedang tidak di rumah.
Kedua kakak Arlena tiba-tiba muncul di halaman rumah Aldric.
"Kamu yakin ini rumah lelaki itu?" tanya Ryan dengan nada dingin.
"Iya," jawab Dimas sambil menatap tajam ke arah rumah.
Mereka melangkah mengendap-endap, lalu melihat Arlena yang sedang menyapu halaman dengan tenang.
Tanpa peringatan, mereka langsung mendekat dan dengan kasar memukul leher Arlena hingga tubuhnya terjatuh dan pingsan di tanah. Suasana seketika berubah tegang dan mencekam.
Dengan terburu-buru dan tanpa ampun, Ryan dan Dimas mengangkat tubuh pingsan Arlena dan memasukkannya ke dalam karung yang sudah mereka siapkan.
Karung itu tertutup rapat, membuat Arlena tak berdaya dalam gelap dan sunyi.
Mereka berdua saling berpandangan, lalu segera bergegas meninggalkan rumah Aldric dengan membawa karung tersebut, berusaha menyembunyikan niat jahat mereka.