Ferdi Nichol Aditya Atmaja, seorang pria tampan berusia 27 tahun. Sangat suka meledek temanya Nova, yang kecanduan membaca novel online.
Bagi Ferdi cerita novel online yang dibaca oleh Nova sangatlah basi. Berbicara seputar perempuan miskin yang dinikahi oleh CEO dengan jalur di lecehkan terlebih dahulu.
Ferdi menilai itu semua adalah sebagai bentuk merendahkan kaum wanita. Ia mengkritik hampir semua novel online yang Nova baca. SAMPAI KEMUDIAN HIDUP FERDI BERUBAH SEPERTI CERITA NOVEL ONLINE.
Ya, ia diminta oleh ayahnya untuk menyelamatkan perusahan keluarga mereka. Dengan menikahi seorang janda kaya beranak tiga. Tentu saja Ferdi menolak, namun keadaan semakin hari semakin menghimpit.
Hingga akhirnya memaksa Ferdi untuk menempuh jalan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pratiwi Devyara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emosi
"Bu Clara."
Salah satu kepala divisi di perusahan cabang, yang saat ini masih dipegang oleh Nando. Tiba-tiba menghubungi Clara pada keesokan harinya.
"Iya Vin, ada apa?" tanya Clara kemudian.
"Saya bisa ketemu ibu nggak siang ini?" tanya kepala divisi itu.
"Oh boleh, kamu datang saja ke kantor pusat." ujar Clara.
"Ada hal penting kah?" tanya nya lagi.
"Iya bu, ini mengenai perusahan. Saya bingung kalau harus menjelaskan di telpon."
"Oke, saya tunggu kedatangan kamu." ujar Clara lagi.
"Baik bu, terima kasih."
"Sama-sama." jawab Clara.
Ia lalu menyudahi telpon tersebut dan lanjut bekerja. Sementara hatinya agak mengira-ngira, perihal apa yang akan dibicarakan kepala divisi itu nantinya. Apakah ada masalah serius, atau sekedar bertanya mengenai sesuatu yang tak perlu dikhawatirkan.
***
"Fer, kata papa kamu harus belajar mengenai seluk beluk perusahaan."
Adrian berkata pada Ferdi ditelpon, saat Ferdi tengah mengedit konten sosial media yang sudah ia dan teamnya buat untuk perusahaan Nath.
"Belajar apaan lagi om?" tanya Ferdi tak mengerti.
"Ya mengenai perusahaan papa kamu ini. Kamu mesti tau bergerak di bidang apa, dan bagian mana saja yang harus kamu majukan. Biar nanti saat mendekati calon jodoh kamu, kamu bisa dengan mudah memasukkan topik pembicaraan." jawab Adrian.
"Kamu bisa dengan mudah melobi dia untuk berinvestasi bahkan menyelamatkan perusahaan ini. Istilahnya kayak kamu belajar produk knowledge lah." ucap Adrian.
"Huuuh, oke deh om." ucap Ferdi dengan nada malas.
Ia ingin segera menyudahi percakapan dengan sahabat dari ayahnya tersebut. Sebab ia lebih butuh konsentrasi terhadap pekerjaannya yang sekarang, ketimbang mendengarkan Adrian.
"Ya sudah nanti om atur jadwalnya." ujar Adrian lagi.
"Iya om." jawab Ferdi.
Adrian lalu berpamitan dan Ferdi kembali berkutat dengan laptop.
"Lesu amat pak, kayak anemia akut."
Nova yang baru tiba bersama Sean dari membeli sesuatu di luar itu, menyapa Ferdi.
"Nih seblak." ujar Nova lagi.
Ferdi menarik nafas, bahkan ia sudah tak memiliki selera makan kali ini.
"Jordan mana?" tanya Sean pada Ferdi."
"Lagi disuruh Nath keluar." jawab pemuda itu.
Nova membagikan makanan kepada karyawan lain di ruangan tersebut. Tak lupa ia juga memberikannya untuk Ferdi.
"Kenapa sih lo?" tanya Nova lagi.
"Bokap gue ribet. Nyuruh gue belajar soal perusahaannya segala, buat kepentingan mendekati si janda. Bukannya terima kasih gue udah mau di jodohkan, masih aja nambahin beban pikiran gue."
"Emangnya disuruh apa lagi.?" Kali ini Sean yang bertanya.
"Ya, belajar mengenai perusahaan. Kan gue nikah nanti demi kepentingan bokap, biar ada yang nolongin masalah perusahaan. Nah buat minta tolong ke si mbak janda, gue butuh menjelaskan semuanya dong. Makanya gue disuruh belajar." Ferdi menjelaskan.
Nova dan Sean saling bertatapan satu sama lain.
"Kita sebenarnya mau bantu sih, Fer. Tapi kita bingung mau bantuin lo dari mana dan bantu apa." ucap Nova.
"Iya Fer, kalau butuh duit 100-200 ribu mah gue ada." celetuk Sean.
"Lah ini utang perusahaan bapak lo, mana bisa gue bantu." ucap pemuda itu lagi.
"Hhhhh." Ferdi menghela nafas.
"Thanks gaes. Tapi dengan adanya kalian disini aja, gue udah seneng koq." ujarnya kemudian.
"Udah makan dulu, ntar dingin."
Nath si bos spesialis nyeletuk sambil berjalan itu pun berucap. Seperti biasa ia berkata sambil melangkah ke suatu arah.
"Yuk Fer, makan dulu." ajak Nova.
"Masalah lo simpan dulu, bro. Beberapa menit ke depan baru buka lagi." ucap Sean.
Ferdi mengangguk, sebab ia tak enak untuk menolak. Meski saat ini perutnya terasa kenyang, akibat terlalu disesaki oleh beban. Tetapi ia harus makan demi menghargai perhatian yang telah diberikan padanya.
***
"Apa?. Dia bikin kebijakan kayak gitu?"
Clara benar-benar kaget sekaligus naik pitam, ketika sang kepala divisi di bagian cabang perusahannya bercerita mengenai perilaku Nando akhir-akhir ini.
Di ketahui sebelumnya bahwa ayah Clara menulis surat wasiat aneh, mengenai cabang perusahaan tersebut.
Bahwasannya jika terjadi perceraian, tampuk kepemimpinan masih akan dipegang mantan suami sebelum Clara mendapatkan suami baru. Maka dari itu kini sang mantan masih juga berada disana.
"Iya bu, kelakuan pak Nando tuh bener-bener bikin kita semuanya naik darah. Mau ngelawan tapi dia pemimpin disitu, kami nggak punya kuasa. Banyak yang kepikiran pengen resign, akibat kebijakan yang dia buat. Dan juga..."
Sang kepala divisi itu menghentikan ucapan, ia seperti agak sedikit ragu untuk melanjutkan.
"Dan juga apa?" Clara mulai penasaran dibuatnya.
"Ada beberapa aset penting perusahaan yang dijual pak Nando."
"Apaaa?"
Clara benar-benar terkejut. Besarnya suara wanita itu membuat beberapa karyawan yang tengah makan siang di meja kerja masing-masing pun terkejut.
"Apa yang dia jual?" tanya Clara dengan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun.
Sang kepala divisi itu pun menjelaskan secara rinci, apa saja aset perusahaan yang telah di perdagangkan oleh Nando. Jantung Clara pun berdegup kencang, ia kini mencoba mengatur nafas di sela rasa emosinya yang meledak-ledak.
"Emang bangsat itu laki-laki."
Ia benar-benar sangat geram.
"Maafin saya bu, tapi bu Clara harus tau. Kami sebagai karyawan nggak mau kalau kami sampai dituduh. Padahal itu kelakuan pak Nando." ujarnya lagi.
Clara masih diam dan mencoba mengatur nafas. Ia ingin bertanya namun sepertinya ia sudah tau, jika uang hasil penjualan tersebut pastilah masuk ke pundi-pundi atau rekening milik sang mantan suami.
"Oke, makasih kamu udah cerita masalah ini ke saya. Tolong kalau ada apa-apa lagi, segera laporkan. Kalau saya belum bisa di hubungi, kamu bisa chat atau kirim saya email." ujar Clara.
"Baik bu Clara." jawab sang kepala divisi tersebut.
Siang itu setelah sang kepala divisi pulang, Clara bergegas mengambil kunci mobil dan meninggalkan kantor. Saat sekretarisnya bertanya mau kemana ia, Clara hanya menjawab ada keperluan mendesak.
Wanita itu pergi ke sebuah tempat dan menemukan apa yang dijual oleh Nando memang benar adanya. Si pembeli membenarkan jika ia telah menjadi pemilik dari salah satu aset perusahaan milik Clara tersebut.
Clara benar-benar marah sekaligus kecewa, sebab ini semua adalah hasil dari kerja keras mendiang ayahnya di masa lalu. Dan Nando seenaknya saja menjual aset perusahaan, hanya karena ia pemimpin di tempat tersebut.
"Lo bisa memberikan sangsi."
Valerie teman Clara mencoba membuka pikiran Clara yang kalut. Ketika akhirnya mereka bertemu dan saling bicara di sebuah kafe langganan.
"Biar bagaimanapun itu hanya cabang perusahan, tetap lo yang pegang kendali." ucap Valerie lagi.
Clara menarik nafas panjang. Ia tau jika ia memegang kendali pusat, namun ia juga tau Nando bukan orang yang bisa dengan mudah ia singkirkan.
Pastilah laki-laki itu sudah menyiapkan amunisi untuk menggempur dirinya. Mengingat ia merupakan laki-laki yang memang enggan mengalah pada siapapun, termasuk pada wanita.
Dulu saat berumah tangga, mereka kerapkali bersitegang lantaran Nando memang selalu ingin menang sendiri.
"Gue nggak habis pikir aja, koq bisa dia melakukan semua itu." ucap Clara.
"Padahal dia bukan siapa-siapa loh, sekedar dipercaya untuk memimpin." lanjutnya lagi.
Kali ini Valeri menghela nafas agak dalam. Ia menatap Clara dan membiarkan sahabatnya itu diam barang sejenak.