NovelToon NovelToon
CINDELOKA

CINDELOKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Ilmu Kanuragan / Dunia Lain / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Roh Supernatural
Popularitas:270
Nilai: 5
Nama Author: teguhsamm_

Raden Cindeloka Tisna Sunda, seorang bocah laki laki berparas tampan dari Klan Sunda, sebuah klan bangsawan tua dari Sundaridwipa yang hanya meninggalkan nama karena peristiwa genosida yang menimpa klannya 12 tahun yang lalu. keberadaannya dianggap membawa sial dan bencana oleh warga Sundari karena ketampanannya. Suatu hari, seluruh warga Sundari bergotong royong menyeret tubuh kecil Cindeloka ke sebuah tebing yang dibawahnya air laut dengan ombak yang mengganas dan membuangnya dengam harapan bisa terbebas dari bencana. Tubuh kecilnya terombang ambing di lautan hingga membawanya ke sebuah pulau misterius yang dijuluki sebagai pulau 1001 pendekar bernama Suryadwipa. di sana ia bertemu dengan rekannya, Lisna Chaniago dari Swarnadwipa dan Shiva Wisesa dari Suryadwipa yang akan membawanya ke sebuah petualangan yang epik dan penuh misteri gelap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon teguhsamm_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aswin Sombaya; Kutukan Parakang

Tiga hari menjelang Ujian Nasional Fase Kedua, halaman Padepokan Sarasvati dipenuhi peserta yang berlatih atau mencari informasi tambahan. Tim Sapta—hari ini hanya Cindeloka, Shiva, dan Lisna yang kala itu memakai pakaian sehari hari mereka berjalan menuju Perpustakaan Suryadwipa, tempat menyimpan ribuan manuskrip dan ensiklopedia pendekar Nusantara.

Udara terasa lebih sunyi dari biasanya, seakan sesuatu mengintai dari balik pepohonan.

Cindeloka merapatkan ikat kepalanya.

“Kok hawanya aneh ya, Shiva”

Shiva mengangguk dengan ekspresi dingin dan datar

“Iya… kayak ada yang ng—”

Langkahnya terhenti.

Dari tikungan jalan, muncul sosok tinggi berbahu tegap, memakai setelan silat hijau khas Padepokan Pinrang dengan garis merah di lengan. Wajahnya pucat, dingin, dan matanya… kosong. Saat mata itu menatap mereka, bulu kuduk ketiganya berdiri.

Aswin Sombaya.

Ia berhenti tepat di depan mereka, tidak berkata apa-apa, hanya memandangi seperti predator mengukur jarak mangsa.

Cindeloka berbisik cepat,

“Lis, cek cakranya. Sekarang.”

Lisna mengangguk, mengaktifkan mata oranye Angaraksa. Ia menyipitkan mata, memusatkan konsentrasi pada tubuh Aswin.

Setelah beberapa detik, Lisna hampir tersentak mundur.

“Ci… cakranya… gelap. Bukan gelap biasa… ini—”

Aswin tiba-tiba menoleh.

Tatapannya menusuk seperti belati.

Lisna menelan ludah, suaranya bergetar,

“…Parakang. Cakra Parakang. Klan Sombaya…”

Shiva membeku.

“Seriusan? Yang khas Bugis itu? Yang… makan cakra?”

Aswin masih menatap, lalu bibirnya bergerak pelan namun tajam seperti siulan kematian.

“Kalian bertiga… banyak bicara.”

Cindeloka mencoba tersenyum gugup,

“Hehe… kami cuma mau ke perpustakaan, Win…”

Aswin mendekat perlahan. Napasnya dingin, nyaris tak terdengar.

“Kalau salah satu dari kalian menghalangi aku di ujian nanti…”

Ia turun suaranya seperti desah iblis.

“…aku bunuh.”

Lisna langsung menarik dua temannya mundur.

Tiba-tiba, Aswin menghilang.

Bukan lari. Bukan berteleportasi.

Menghilang begitu saja, seperti bayangan yang ditelan kegelapan.

Cindeloka memeluk dirinya sendiri.

“Astaga… itu orang atau makhluk halus?”

Shiva mencoba mengambil napas panjang.

“Apapun itu… kita harus tahu lebih banyak tentang dia.”

*

Di sisi timur padepokan berdiri sebuah bangunan megah berbentuk balai persegi, atapnya berlapis seperti pura kuno. Namun yang paling mencolok adalah cahaya keemasan lembut yang selalu keluar dari jendela-jendelanya, bahkan di tengah malam paling pekat.

Perpustakaan Suryadwipa adalah tempat di mana ribuan gulungan naskah, kitab kulit kayu, dan prasasti disimpan. Dindingnya ditopang pilar batu setinggi enam meter, masing-masing diukir dengan mantra kuno yang jika disentuh terasa hangat, seolah sedang menyala dari dalam.

Orang berkata bahwa perpustakaan ini dijaga oleh tiga penjaga tak terlihat, yaitu roh-roh cendekia yang dahulu mengorbankan diri demi menjaga ilmu Nusantara dari kehancuran. Siapa pun yang berniat buruk akan tersesat di lorong-lorongnya, berjalan berputar-putar selama berjam-jam hingga mereka akhirnya lupa apa tujuan mereka datang.

Perpustakaan itu luas, sunyi, dan dipenuhi bau kertas tua serta dupa yang membakar pelan. Lisna langsung menuju rak Ensiklopedia Silat Nusantara, sementara Shiva dan Cindeloka duduk di meja besar dari kayu jati.

Tak lama kemudian, Lisna datang sambil membawa buku tebal bersampul hijau tua dan menuju Cindeloka & Shiva yang sudah duduk di bangku.

“Ketemu! Halaman 200.”

Ia membuka cepat, jarinya berhenti pada satu bagian.

Cindeloka membaca keras-keras:

Andi Aswin Sombaya — Klan Sombaya, Tanah Bugis

Klan ini dikenal sebagai pewaris ilmu gelap Parakang, makhluk haus darah serta pemangsa cakra.

Ciri khas Parakang adalah mata merah menyala dalam kegelapan.

Parakang diwariskan turun-temurun.

Parakang junior biasanya hanya memangsa cakra hewan ternak.

Namun Parakang dewasa…

dapat melahap cakra manusia tanpa batas.

Shiva mengangkat alisnya dan berkata dengan nada datar.

“Mirip leak Rangda yang nyerang Suryadwipa tiga bulan lalu!”

Lisna mengangguk cepat.

“Iya. Tingkat kegelapannya mirip… tapi Parakang itu spesifik Bugis.”

Cindeloka menutup buku itu perlahan.

Wajahnya muram.

“Kalau Aswin benar-benar Parakang… berarti dia dipaksa jadi inang buat ilmu itu.”

Shiva memiringkan kepala.

“Inang… maksudmu?”

Cindeloka menatap ke langit-langit, suaranya lirih.

“Aku yakin Aswin nggak mau jadi Parakang. Tapi kalau itu warisan klan… dia nggak punya pilihan.”

Lisna menggigit bibirnya, iba.

“Kasihan… hidupnya pasti kayak kutukan.”

Shiva menghela napas panjang.

“Dan dia harus ikut ujian fase kedua… di alam bebas.”

Cindeloka menutup buku itu rapat-rapat.

“Semoga… dia nggak kehilangan kendali.”

Setelah Cindeloka membaca profil Aswin, giliran Lisna yang melanjutkan membaca ensiklopedia lembar demi lembar hingga berhenti di halaman 205. Ia menemukan seorang pendekar dari klan Chaniago yang menarik perhatian Lisna.

"Hah! Luthfi! Satu klan sama saya" celetuk Lisna dengan mata membulat melihat lembaran kertas berisi gambar dan namanya.

"Ada apa Lis?" tanya Cindeloka dengan alis terangkat ke atas.

"Lihat! Loka! Ada seorang pendekar cowok yang masih satu klan dengan saya" jawab Lisna seraya menunjukkan fotonya.

"Luthfi! Coba bacakan profilnya, saya penasaran!". Seru Cindeloka.

Akhirnya Lisna pun membacakan profilnya secara runut dengan pelan pelan. Shiva yang dari tadi cuek memperhatikan kondisi sekitar ikut mendengarkan profil yang dibacakan Lisna.

*

Di sepanjang sejarah persilatan Bumi Nusantara, hanya sedikit nama yang diucapkan dengan campuran kekaguman dan luka mendalam. Luthfi Bima Putra, putra bungsu dari keluarga tua Klan Chaniago, adalah salah satunya—seorang anak yang tubuhnya kecil, namun kecerdasannya menembus batas manusia biasa.

Luthfi lahir dalam garis keturunan Chaniago, salah satu klan Bangsawan Minang yang mayoritas anggotanya seorang Srikandi yang hebat serta penjaga warisan strategi perang kuno, budaya matrilinealnya sangat kental. Dari kecil, ia dibesarkan di lingkungan yang keras, penuh disiplin, dan dihantui oleh legenda para panglima bayangan—para ahli perang yang mampu menggulingkan negeri hanya dengan permainan taktik, ia juga mewarisi cakra gundam Hanuman Chandra Naya.

Namun berbeda dari para sesepuh yang berwajah garang, Luthfi tumbuh sebagai anak berwajah polos, berkulit cerah, bertubuh kecil dan kurus. Posturnya itu justru membuat banyak orang meremehkannya… sampai ia membuka mulut untuk berbicara.

Sejak usia tujuh tahun, ia sudah mampu membaca pola serangan hanya dari jejak kaki di tanah. Pada usia sembilan, ia menulis ulang tiga puluh enam formasi perang kuno Chaniago dan memperbaikinya sehingga lebih efisien. Para tetua menyadari:

anak ini bukan sekadar berbakat—ia adalah anomali.

Ketika usianya menginjak 12 tahun, Luthfi dikirim ke Padepokan Suryajenggala, pusat ilmu perang Suryadwipa Utara, tempat para murid dipahat menjadi pemimpin darat dan bayangan. Di sana ia ditempatkan dalam Tim Sapta Generasi Ketiga, bersama:

Gala Wisesa — pewaris klan Wisesa, berbakat dalam ilmu elemen cahaya dan pewaris gundam Kuda Sembrani.

Nurin Sunda — gadis lembut dari klan Sunda, pewaris gundam Maung Bodas.

Tim kecil itu dibimbing oleh Ki Bagawanta, mahaguru yang terkenal ramah dan murah senyum namun tegas dan objektif terhadap muridnya.

Luthfi adalah yang termuda, namun dalam waktu sebulan, Ki Bagawanta sudah menyadari siapa yang sebenarnya memegang kendali tak terlihat dalam tim itu.

Murid-murid lain menghabiskan waktu bertahun-tahun mempelajari formasi perang, membaca pergerakan musuh, dan memahami psikologi medan pertempuran. Luthfi? Ia menganalisis semuanya dalam hitungan menit.

Dalam sebuah latihan perang simulasi, ketika Tim Sapta hampir kalah oleh tim senior, Luthfi hanya menutup mata sebentar, meraba tanah, lalu memberikan instruksi:

“Beralih ke posisi Trisula Belah. Pancing mereka ke utara. Tanah di sisi kanan lebih lembab. Ada ceruk… akan longsor bila diinjak lebih dari tiga orang.”

Tiga menit kemudian, kemenangan pun berpihak pada mereka.

Sejak hari itu, para guru menjulukinya “Little Strategy”, bocah kecil yang pikirannya bekerja seperti seratus panglima besar.

Namun kejeniusan taktiknya bukan satu-satunya hal yang membuat Luthfi istimewa.

Ia memiliki sepasang mata oranye—cantik namun mengerikan—yang oleh para guru dinamai Puspita Angaraksa, Aksajian dari Trisula Mandraguna yang sudah naik tingkat.

Irisnya berbentuk tidak biasa:

seperti kelopak Padma Raksasa—Rafflesia Arnoldii.

Dan kekuatan mata itu… bukan untuk dilihat, melainkan untuk ditakuti.

Dalam pertarungan, mata tersebut mampu membangkitkan Kalajian—ilusi kelam yang menyeret musuh ke labirin mimpi buruk mereka sendiri. Mereka akan melihat bayangan masa lalu, masa depan yang tak mungkin, hingga wajah-wajah yang memaksa mereka menyerah secara mental. Selain itu, Aksajian milik Luthfi bisa menipu musuh dengan bayangan tubuh Luthfi bertransformasi menjadi Bunga Rafflessia dan berteleportasi sesuai keinginannya.

Kalajian tidak membunuh tubuh.

Ia membunuh tekad.

Itulah sebabnya Luthfi jarang menggunakannya. Ia tahu: kekuatan itu lebih menyerupai kutukan daripada anugerah.

Di luar padepokan, Luthfi memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Maryam Chaniago, sang Pemimpin Klan, dikenal sebagai Bundo Kanduang. Maryam-lah yang menemukan bakat Luthfi ketika ia masih kecil, dan Maryam jugalah yang memutuskan mengirimnya ke Suryajenggala.

Bagi Luthfi, Maryam bukan hanya pemimpin.

Ia adalah sosok ibu, sosok pelindung, sosok yang ia kagumi tanpa syarat.

Suatu malam yang penuh badai, kabar mengerikan mengguncang Suryadwipa:

Maryam Chaniago diculik oleh faksi musuh—pasukan rahasia yang ingin menguasai wilayah utara.

Tim Sapta Generasi Ketiga segera bergerak bersama para pengawal klan. Dalam kegelapan hutan Taram yang basah dan penuh kabut, mereka berhasil menemukan lokasi persembunyian musuh. Namun pasukan lawan jauh lebih besar daripada yang diduga.

Dalam kekacauan itu, ketika pasukan musuh hampir mengeksekusi Maryam, Luthfi mengambil keputusan yang mengguncang hati semua orang.

Ia melepaskan segel pada Matanya—sesuatu yang dilarang Ki Bagawanta, karena efeknya pada tubuh terlalu besar untuk anak sekecil dirinya.

“Bundo… Luthfi janji…

hari ini Luthfi pulangkan Bundo.

Meski artinya… Luthfi tidak pulang.”

Sebelum melakukan, ia menitip pesan kepada gundam Hanuman untuk mencari penggantinya karena ia tahu umurnya tidak lama lagi

Mata Puspita Angaraksa menyala, kelopaknya berputar seperti bunga raksasa memakan cahaya. Seluruh pasukan musuh terjerat dalam Kalajian—ilusi maut yang membuat mereka melihat ribuan arwah Chaniago menyerang sekaligus.

Para musuh jatuh satu per satu, namun pada saat ilusi itu pecah…

Luthfi jatuh lebih dulu.

Tubuh kecilnya tak mampu menahan ledakan cakra yang ia paksa keluar dari batas alamiah. Nafasnya terhenti bersamaan dengan runtuhnya medan ilusi serta keluarnya cakra Hanuman yang merah melayang di udara sebagai tanda gundamnya sudah pergi meninggalkan tubuh Luthfi yang sudah tidak bernyawa.

Saat Maryam Chaniago berlari memeluknya, wajah bocah itu sudah pucat seperti kertas.

Tapi senyum kecilnya… masih ada.

“Bundo…

…Luthfi sudah pulangkan Bundo.”

Dan kemudian ia pergi—menghilang seperti bunga padma yang hanya mekar sekali sebelum membusuk.

Sejak hari itu, nama Luthfi Chaniago diukir di dinding Padepokan Suryajenggala sebagai:

“Panglima Kecil yang Menyerahkan Hidup Demi Negeri.”

Tim Sapta generasi ketiga—Gala Wisesa dan Nurin Sunda—selalu menyebutnya sebagai jantung tak terlihat dalam setiap misi mereka.

Dan bagi Klan Chaniago, ia akan selalu menjadi:

anak kecil yang mengorbankan masa depannya demi masa depan semua orang.

Setelah mendengar profil tersebut, Cindeloka kagum dengan sosok Luthfi begitupula dengan Shiva yang sedari tadi mendengarkan.

"Wow! Aku tak menyangka ada orang jenius kayak gini" celoteh Cindeloka dengan wajah kagum.

"Mungkin orang seperti hanya datang 100 tahun sekali!" timpal Shiva dengan nada datar.

"Kayaknya apalagi dia masih satu kerabat denganku dan pewaris Hanuman pula sama kayak aku" timpal Lisna sembari menutup bukunya.

Matahari sudah tergelincir berada di ufuk barat, langit sudah mulai berwarna jingga kemerahan, yang menandakan waktu senja telah tiba

"Ayo! Kita pulang! Udah sore nih!" seru Cindeloka.

Mereka bertiga beranjak dari bangku perpustakaan dan bersiap pulang menuju Padepokan Suryajenggala meninggalkan dua orang misterius di benak mereka yaitu; Aswin dan Luthfi.

*

Malam turun perlahan ke Padepokan Suryajenggala. Semua peserta berada di asrama masing-masing, mempersiapkan diri baik secara fisik maupun batin.

Di kamar asrama putra, Cindeloka duduk bersila, menyalakan dupa kecil. Ia memejamkan mata mengikuti ajaran Buddha dan Sunda Wiwitan, memadukan mantra dan doa leluhur.

Shiva berdiri menghadap jendela, menyiapkan canang sari kecil. Ia membaca doa Hindu Bali, memohon ketenangan dan perlindungan.

Sementara itu, di asrama putri, Lisna duduk di sisi ranjangnya, menggenggam rosario.

Ia berbisik pelan:

“Tuhan… lindungi kami dalam ujian besok.”

Dari tiga kamar berbeda, tiga keyakinan berbeda, namun satu tujuan:

bertahan hidup esok hari.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!