NovelToon NovelToon
RAHIM TERPILIH

RAHIM TERPILIH

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Dosen / Identitas Tersembunyi / Poligami / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.

"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.

Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.

Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.

Aditya.

Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KEGUGURAN

Adit mondar-mandir tanpa henti di depan ruang perawatan Asha. Setiap langkahnya terdengar tergesa, tapak sepatunya menghentak lantai rumah sakit, seolah kegelisahan di dadanya harus punya suara. Tangan Adit mengepal—lalu terkulai lemas—berulang-ulang. Pandangannya terus tertuju pada pintu putih itu, tempat Asha sedang ditangani dokter.

Di kursi panjang tak jauh darinya, Maya dan Ratna duduk dengan raut wajah yang berbeda. Ratna terlihat tenang, namun lebih kepada kesal karena situasi yang tak ia kuasai. Maya, sebaliknya, memelihara senyum samar di sudut bibir. Sesekali ia memainkan ponselnya, seolah kehadirannya di sini hanyalah formalitas belaka.

Di sudut sana, berdiri kaku Bik Yuni. Kedua tangannya saling menggenggam di depan perut, wajahnya pucat dan tak tenang. Ia ingin bicara—ingin meneriakkan apa yang sebenarnya terjadi, tentang bagaimana Asha memang tak bersalah, tentang kata-kata Ratna yang menusuk dan tentang Maya yang memancing konflik hingga Asha benar-benar tersudutkan, bahkan oleh Adit.

Namun setiap kali ia mengangkat wajah, tatapan Ratna dan Maya seperti dua belati yang mengarah ke tenggorokannya. Mata mereka mengawasinya—memberi ancaman tanpa suara. Diam. Begitulah pesan yang terasa jelas.

Bik Yuni menunduk lagi. Ia hanya meremas ujung bajunya, menahan sesak dan rasa bersalah.

Pintu ruang perawatan akhirnya terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah serius dengan masker yang masih menutup sebagian ekspresinya. Adit langsung menghentikan langkahnya, tubuhnya berbalik cepat mendekatinya.

"Dok, bagaimana keadaan istri saya?" Tanya Adit cepat, napasnya terputus-putus. Ratna dan Maya beranjak bersama. Sementara, Bik Yuni ikut mendekat.

Dokter menatap Adit—sebelum pandangannya turun ke clipboard di tangannya. Ada jeda hening yang begitu panjang, meski kenyataannya hanya beberapa detik.

“Kami… sudah melakukan yang terbaik,” suara dokter terdengar berat. “Namun kandungannya tidak berhasil kami selamatkan. Istri Anda mengalami keguguran.”

Dunia Adit seperti berhenti berputar.

Suaranya menghilang. Napasnya tercekat. Telinganya berdenging seolah semua suara lenyap. Kata keguguran memukul dada dan pikirannya sekaligus. Tangannya nyaris meraih udara karena tubuhnya mendadak kehilangan keseimbangan.

“Asha… bagaimana Asha?!” Suaranya pecah, hampir seperti teriakan.

“Ia masih dalam keadaan lemah. Kami berikan obat penenang untuk membuatnya beristirahat. Secara fisik ia akan pulih… tapi mental seorang ibu yang kehilangan calon anaknya...” Sang dokter menatap Adit penuh empati, “Butuh pendampingan dan dukungan penuh dari keluarga.”

Ratna hanya menatap kosong, menelan ludah. Maya, meski mencoba menyembunyikan, bibirnya sedikit terangkat—senyum yang nyaris tak terlihat, namun cukup jelas bagi Bik Yuni untuk menangkapnya.

Adit menunduk kemudian. Bahunya bergetar. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, menahan isak yang memaksa keluar. “Ini semua salahku,” Gumamnya lirih, suaranya patah. “aku tak bisa menjaga istri dan calon anakku…”

Dokter itu menarik napas pelan, lalu meletakkan tangannya di bahu Adit, mencoba memberi sedikit kekuatan dalam keterpurukan itu. “Saya tahu ini berat, Pak Adit…” Ucapnya lembut. “Tapi mohon bersabar. Saat Ibu Asha terbangun nanti… dia sangat membutuhkan Anda. Kehilangan seperti ini tidak mudah, tapi ia tidak boleh menghadapinya seorang diri.”

“Jika ada yang dibutuhkan, silakan panggil kami. Kami akan pantau kondisi Ibu Asha sampai ia benar-benar stabil.” Lanjut Dokter itu sambil memberi hormat kecil, nada suaranya tetap profesional, namun sarat kepedulian. “Saya permisi dulu…”

Adit hanya mengangguk kecil, meski matanya masih berkaca-kaca dan pandangannya kosong. Sementara, dokter kemudian melangkah pergi, meninggalkan mereka di lorong yang kembali sunyi—hanya menyisakan aroma obat-obatan dan getar duka yang belum sempat dipecah.

****

Kelopak mata Asha bergerak pelan… berat… seperti baru saja keluar dari kegelapan panjang. Cahaya lampu putih rumah sakit menembus pandangannya yang masih buram. Ia mengerjap perlahan, mencoba memahami tempat ia berada.

Detak mesin monitor berdetak pelan. Aroma obat menusuk hidung. Ruangan ini asing.

Di mana aku…?

Ia menggerakkan kepala sedikit, dan di sisi ranjang—duduk seorang pria yang wajahnya begitu ia kenal. Adit. Dengan mata bengkak, rambut acak-acakan, dan tangan menggenggam tangannya erat seolah takut kehilangan lagi.

Asha menatap Adit, dan tiba-tiba… ingatan itu menyerbu cepat—seperti film yang diputar paksa.

Pertengkaran mereka. Rasa sakit yang mendadak di perut. Darah yang mengalir. Panik… gelap.

Tubuhnya menegang. Nafasnya tercekat.

“Ma–Mas…” Suaranya serak, hampir tidak terdengar.

Adit langsung mendekat. “Asha… aku di sini." Ucapnya terbata.

Tatapan Asha turun pelan ke perutnya—di mana tangan kanannya kini mendarat. Perut itu… terasa kosong. Terlalu kosong.

Hatinya memberontak, menolak percaya. Tapi naluri seorang ibu sudah tahu sebelum ada yang berkata.

“Anak… kita…” Gumamnya lirih, suara patah itu seperti hela nafas terakhir dari sebuah harapan. "Anak kita baik-baik aja kan, Mas?"

Tangannya meraba perut tipisnya, gemetar. Matanya melebar, air mata mulai menggenang. “Mas… anak kita…?” Ia mencoba meyakinkan dirinya—atau barangkali memohon keajaiban.

Adit langsung terisak. Ia menunduk, memegang tangan Asha lebih erat, seolah genggaman itu bisa mengembalikan segalanya. “Asha… maafin aku…” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.

Seketika wajah Asha pucat. Bibirnya bergetar. Air matanya jatuh satu per satu, tanpa suara—lebih menyakitkan daripada jeritan.

Adit menggeleng pelan, namun bukan sebagai penyangkalan… melainkan rasa hancur yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. “Bayi kita…” Bisiknya pecah.

Sunyi menguasai ruangan.

Adit memeluk tangan Asha ke dadanya, menangis dalam diam.

“Anak kita gimana, Mas?!”

Suara Asha semakin meninggi, penuh ketakutan dan penolakAn. Matanya basah, napasnya memburu. Jemarinya mencengkeram lengan Adit seakan jawaban apa pun bisa mengubah kenyataan.

“Jawab, Mas?!”

Adit memejamkan mata sesaat. Ia ingin memberikan jawaban yang lain—yang tak menghancurkan. Tapi kebohongan hanya akan memperpanjang luka yang sudah terlalu dalam. “Kamu… keguguran.” Jelasnya.

Pernyataan itu jatuh—keras, menghantam hati Asha tanpa ampun.

Wajah Asha langsung memucat. Tatapannya kosong seketika, seolah seluruh dunia di hadapannya runtuh dalam satu gerakan. Napasnya terhenti beberapa detik sebelum berganti menjadi gemetar tak terkendali.

“K… ke… guguran…?” Ulangnya dengan suara nyaris tak terdengar, seperti ia masih berharap kata itu salah terdengar.

Asha memegang perutnya—gerakan refleks seorang ibu yang hatinya masih memeluk janin yang tak lagi ada. “Enggak… Mas bohong… kan?” Tubuhnya mulai bergetar hebat. “Anak kita… masih ada… aku bisa… aku masih bisa ngerasain… dia…”

Air mata mengalir deras, jatuh ke sprei rumah sakit—setiap tetesnya seperti jeritan tanpa suara.

Adit menunduk, air matanya ikut pecah. “Maaf, Sha… maafin aku… aku nggak bisa jaga kalian… maaf…” Ia terus mengulang kata itu, tapi tak ada satu pun yang mampu menambal luka yang terbuka.

Asha memalingkan wajah, menangis tersedu-sedu—bahunya berguncang hebat. Tangisnya seperti memanggil anak yang sama sekali tak pernah sempat ia peluk, tak pernah sempat ia lihat, tak pernah sempat ia beri nama.

Harapan itu…

masa depan itu…

"Kamu udah menghancurkannya, Mas!" Lirih Asha. Katanya menusuk seperti pecahan kaca. Mata Asha menatap Adit, penuh luka. Suaranya gemetar, tersendat oleh tangis yang terus pecah.

Adit menggeleng pelan, air mata mengalir tanpa bisa dicegah. “Aku salah… aku salah besar, Sha…” Suaranya bergetar parah. Ia mencoba mendekat, namun Asha menepis tangannya lemah. "Maafin aku."

Ia mengangkat wajah—desakan rasa bersalah yang tak terbendung membuatnya kehilangan kendali...

Plak!

Tangan Adit menampar pipinya sendiri. Keras. Suaranya memantul di dinding ruangan. “Ini salah aku!” Desisnya, napasnya memburu. “Aku yang bodoh! Aku yang egois! Aku yang...”

Plak!

Ia melakukannya lagi. Dan lagi.

Asha tersentak, terkejut melihat Adit seperti kehilangan dirinya sendiri. Air matanya masih mengalir, tetapi kini bercampur dengan kepanikan. “Mas! Cukup!” Ujarnya, mengangkat tubuhnya sedikit meski masih lemah. “Mas jangan seperti ini!”

Adit berhenti, bahunya bergetar. Ia menunduk—pipinya yang memerah menyembunyikan wajah yang dipenuhi penyesalan. “Aku nggak bisa maafin diri aku sendiri…” Suaranya pecah, hancur.

Asha memandangnya, melihat lelaki yang kini sama hancurnya seperti dirinya. Kesedihan itu berbeda bentuk—tapi sama-sama pahit. Dan, dengan sisa kekuatan yang masih tertinggal, ia menggapai tangan Adit dan menggenggamnya perlahan. Jemarinya dingin, gemetar… tapi setiap sentuhannya mengandung ketulusan yang terlalu besar untuk seorang yang baru saja kehilangan separuh hidupnya. “Maaf… dengan kata-kataku tadi, Mas…” Bisiknya pelan. Ia tertelan, merasa bersalah atas kalimat tajam yang meluncur bersama rasa sakitnya.

Adit terbelalak, air mata kembali jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menggeleng pelan, “Bahkan di kondisi kayak gini… kamu masih merasa bersalah dan minta maaf sama aku?” Ia menahan wajah Asha dengan kedua tangannya, hati yang remuk tak bisa terbendung lagi. “Aku yang salah, sayang… aku…”

Adit menunduk, dahinya hampir menyentuh punggung tangan Asha. Sesak itu menelannya hidup-hidup. “Aku sangat menyesal…” Lanjutnya dengan suara parau. “Aku harusnya melindungi kamu… melindungi anak kita. Tapi aku malah jadi alasan kamu terluka. Aku bodoh, Sha… aku… aku gagal…”

Asha hanya menatapnya—matanya basah tapi lembut. Luka itu masih menganga, namun ia tahu Adit pun terluka oleh kesalahan yang sama. “Mas, cukup…” Suara Asha hampir tenggelam. “Kita sama-sama kehilangan… tapi, aku nggak mau kehilangan kamu juga.”

Perlahan, Adit menempelkan keningnya di kening Asha, mencoba mengambil kekuatan dari perempuan yang meski rapuh… namun masih memilih untuk menguatkannya. “Aku di sini…” janji Adit terbata. “Aku nggak akan pergi lagi, Sha… Aku bakal jaga kamu… apapun yang terjadi."

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!