Elena hanya ingin menguji. Setelah terbuai kata-kata manis dari seorang duda bernama Rd. Arya Arsya yang memiliki nama asli Panji Asmara. Elena melancarkan ujian kesetiaan kecil, yaitu mengirim foto pribadinya yang tak jujur.
Namun, pengakuan tulusnya disambut dengan tindakan memblokir akun whattsaap, juga akun facebook Elena. Meskipun tindakan memblokir itu bagi Elena sia-sia karena ia tetap tahu setiap postingan dan komentar Panji di media sosial.
Bagi Panji Asmara, ketidakjujuran adalah alarm bahaya yang menyakitkan, karena dipicu oleh trauma masa lalunya yang ditinggalkan oleh istri yang menuduhnya berselingkuh dengan ibu mertua. Ia memilih Ratu Widaningsih Asmara, seorang janda anggun yang taktis dan dewasa, juga seorang dosen sebagai pelabuhan baru.
Mengetahui semua itu, luka Elena berubah menjadi bara dendam yang berkobar. Tapi apakah dendam akan terasa lebih manis dari cinta? Dan bisakah seorang janda meninggalkan jejak pembalasan di jantung duda yang traumatis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harga Dari Sebuah Kebohongan
Jarak sedekat itu terasa mematikan. Udara di antara mereka bergetar, penuh dengan aroma kopi dingin, kertas, dan bahaya yang baru saja diucapkan Panji.. Tubuh Elena menegang, tetapi pikirannya bergerak dengan kecepatan tinggi. Ia tahu, satu respons yang salah akan menghancurkan seluruh rencana balas dendamnya.
"Dia bilang Ibu yang membunuh suaminya," ulang Panji, suaranya kini mendesak. "Saya perlu tahu, Bu Elena. Siapa Ibu sebenarnya?"
Elena menarik napas perlahan, memaksa dirinya tenang. Ia harus menyentuh hati Panji, tetapi tidak terlalu dalam. Ia harus memberikan kebenaran yang menyakitkan, tetapi tidak mematikan.
"Itu adalah kebohongan yang paling kejam, Pak Arya," jawab Elena, suaranya bergetar sedikit, menyuntikkan sedikit kepedihan yang sesungguhnya agar terdengar meyakinkan. "Ratu Widaningsih Asmara, tidak hanya menyabotase proyek Bapak. Dia juga menyentuh luka yang paling dalam dari masa lalu saya."
Panji mundur selangkah, memberi ruang, tetapi matanya tidak lepas dari Elena.
"Suami saya meninggal lima tahun lalu karena kecelakaan kerja di Kalimantab, Pak Arya. Saya menjanda dalam usia muda. Almarhum adalah anak pertama dari empat. Dan begitu ia pergi, keluarga suaminya datang. Mereka serakah, mereka menginginkan semua yang kami bangun berdua," jelas Elena, membiarkan beberapa detik hening menyertai kata-katanya.
"Ketika saya menolak menyerahkan aset, mereka menyebarkan rumor. Rumor bahwa kematian suami saya tidak wajar. Mereka menyebut saya terlalu cepat kaya, terlalu cepat bangkit. Mereka menuduh saya merencanakan semuanya. Tentu saja, itu tidak pernah terbukti di mata hukum, tetapi di mata masyarakat, nama saya sudah tercoreng."
Elena menatap Panji, matanya berkaca-kaca, tetapi tidak ada air mata yang tumpah. Itu adalah penampilan terbaiknya, memadukan kebenaran pahit dengan penyesalan yang mendalam.
"Itu adalah harga yang harus saya bayar, Pak Arya. Harga dari kebohongan yang dikubur oleh orang lain. Dan kini, Ratu Widaningsih Asmara, partner bercinta Bapak, menggunakan kebohongan itu untuk melindungi dirinya. Bukankah itu ironis? Bapak memblokir saya karena ketidakjujuran foto, tetapi Bapak memercayai wanita yang secara aktif menggunakan fitnah pembunuhan untuk keuntungan finansialnya."
Kata-kata itu menghantam Panji dengan keras. Ia terdiam, memproses informasi. Elena memberikan kebenaran yang jauh lebih gelap daripada foto buram di WhatsApp.
"Saya... saya minta maaf, Bu Elena. Saya tidak tahu," ucap Panji, nadanya benar-benar tulus. Kepercayaan Panji terhadap Ratu mulai goyah. Bagi Panji, ketidakjujuran yang terstruktur dan bermotif finansial adalah kejahatan yang tak termaafkan.
Elena melihat peluangnya. "Bapak tidak perlu meminta maaf kepada saya, Pak Arya. Bapak perlu bertanya pada diri Bapak sendiri, mengapa Bapak begitu mudah diatur oleh wanita yang kejam ini? Dia tahu kelemahan Bapak. Dia tahu Bapak takut pada pengkhianatan, dan dia menggunakan kelemahan itu untuk menempatkan adiknya di posisi vendor Asmara Cafe.
Panji mengusap wajahnya. "Saya akui, saya terlalu memercayainya karena dia mengklaim mengerti trauma saya. Tapi saya tidak akan membiarkan kerja sama ini dipertaruhkan. Kontrak itu sudah saya batalkan pagi ini."
"Bagus," kata Elena, lega. Misi pertama berhasil.
"Namun," lanjut Panji, kembali duduk di kursinya, kini dengan nada otoritas. "Saya masih belum mengerti. Ibu adalah wanita yang sukses. Mengapa Ibu harus menguji saya di aplikasi Linky? Dan mengapa, setelah diblokir, Ibu menyusup ke proyek ini? Apakah motif Ibu adalah balas dendam pribadi, atau benar-benar hanya integritas proyek?"
Pertanyaan itu tepat sasaran. Elena tidak bisa berbohong lagi. Panji terlalu cerdas.
"Awalnya, itu adalah dendam pribadi," aku Elena, kepalanya sedikit menunduk. "Luka karena diblokir secepat itu, padahal saya hanya ingin memastikan. Tapi begitu saya melihat betapa mudahnya Bapak mabuk janda pada Ratu Widaningsih Asmara, yang menggunakan Bapak untuk menarik keuntungan, dendam itu berubah menjadi misi. Misi untuk membuktikan bahwa standar kejujuran Bapak hanya berlaku untuk wanita yang tidak Bapak sukai, untuk wanita yang Bapak anggap kurang cantik secara lahiriah. Dan misi untuk melindungi Bapak dari kebohongan yang sebenarnya."
Panji tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak lucu. "Sebuah pengakuan yang jujur. Sebuah tindakan penyusupan yang jujur. Ibu memang unik, Bu Elena."
"Saya hanya ingin membayar rasa sakit saya dengan keadilan, Tuan Panji Asmara," balas Elena dengan senyum getir.
Hening kembali merayap, tetapi kali ini, keheningan itu mengandung pemahaman yang tegang. Panji kini melihat Elena yang sesungguhnya, cerdas, berbahaya, tetapi memegang teguh tentang prinsip keadilan yang sesungguhnya.
"Baiklah. Jika Ratu Widaningsih sudah tahu siapa Ibu, dan dia menggunakan kartu terburuk Ibu, yaitu tuduhan pembunuhan, maka permainan ini sudah menjadi medan perang terbuka," kata Panji, matanya berkilat tekad. "Kita tidak bisa lagi bermain di balik layar. Kita harus menarik Ratu keluar. Dan saya butuh kamu, Elena, untuk melakukannya."
"Saya siap," jawab Elena tanpa ragu sambil bersandar ke meja, matanya menatap intens, kini melihatnya bukan sebagai konsultan atau mantan kekasih digital, tetapi sebagai sekutu yang setara.
"Ada acara gala besar di akhir pekan ini. Semua pemangku kepentingan proyek Resto Bima dan Asmara Cafe akan hadir. Termasuk Ratu Widaningsih Asmara, yang pasti akan mencoba mendapatkan kembali posisinya," jelas Panji. "Kita akan gunakan acara itu untuk mengirim pesan yang jelas."
Elena mengangguk. "Saya akan siapkan laporan presentasi visual tentang risiko konflik kepentingan Ratu. Itu akan memojokkannya."
Panji menggelengkan kepala. "Tidak cukup. Ratu ahli dalam memutarbalikkan fakta di depan umum. Kita harus menyerang hal yang paling dia inginkan, yaitu posisi di samping saya."
Panji berjalan mendekat, kini berdiri tepat di depan Elena. Wajahnya serius, dan di dalamnya ada sedikit perhitungan licik yang membuat Elena merinding.
"Kita akan muncul di acara itu bersama. Kamu bukan lagi Konsultan Digital Attack. Kamu adalah pasangan baru saya. Kita akan membuat Ratu Widaningsih Asmara cemburu. Kita akan membuat dia bertindak gegabah, sehingga dia mengekspos dirinya sendiri di depan semua orang."
Rencana itu gila. Ini akan menempatkan Elena dalam bahaya langsung, tetapi juga memberikan akses tertinggi ke jantung Panji.
Panji mengulurkan tangannya ke arah Elena, tatapannya menuntut jawaban.
"Saya tahu ini risiko besar. Tapi ini satu-satunya cara kita bisa melihat jejak yang sesungguhnya di hati Ratu Widaningsih Asmara. Jadi, bagaimana, Elena?"
Elena menatap tangan Panji, lalu beralih ke matanya. Menjadi 'pasangan' Panji berarti ia harus berakting, mendekati pria yang ia benci, dan mengkhianati misi balas dendam aslinya. Tetapi itu juga berarti ia akan memiliki senjata terkuat untuk menghancurkan Ratu.
Ia mengulurkan tangannya, menyambut jabat tangan Panji. Tangannya dingin, tetapi genggaman Panji terasa panas dan menentukan.
"Saya menerima tawaran itu, Tuan Panji. Tapi ada satu syarat," kata Elena, suaranya tajam dan tidak bisa dinegosiasikan. "Saya akan menjadi pasangan Tuan di gala itu, tetapi Tuan tidak boleh memblokir saya lagi, baik secara virtual maupun emosional. Kita harus terbuka. Karena di malam itu, saya bukan hanya pasangan Tuan. Tetapi saya adalah umpan."
Panji tersenyum misterius. "Deal, Elena. Selamat datang di permainan yang sebenarnya."
Tiba-tiba, Panji menarik tangan Elena, bukan untuk dilepas, melainkan untuk mendekatkannya. Ia menunduk, jarak di antara mereka hilang.
"Tapi sebelum kita menjadi umpan, saya perlu memastikan bahwa kamu tidak akan berkhianat," bisik Panji, sebelum bibirnya mendarat di bibir Elena, sebuah ciuman yang mengejutkan, menggelegar, dan sepenuhnya tidak terduga di ruang private Asmara Cafe.
“Apa Tuan Panji masih ingat cara berciuman?” tanya Elena mengingatkan Panji saat bersenda gurau di telepon WhatsApp, dulu.