NovelToon NovelToon
Sulastri, Aku Bukan Gundik

Sulastri, Aku Bukan Gundik

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Cerai / Penyesalan Suami / Era Kolonial / Balas Dendam / Nyai
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Anna

“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”

Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.

Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.

Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sulastri 24

Gerimis mengalun lembut, denting jam beradu suara sentakan mesin tik usang. Orang-orang berpakaian rapih dengan sepatu pantopel yang mengilat, berlalu-lalang membawa kertas-kertas yang mengibar tertiup kipas angin baling di plafon ruangan. 

Di kursi tunggu berbahan kayu, Sulastri duduk dengan berpangku tangan. Sesekali wanita itu menggigit bibir bawahnya, merunduk, menatap teklek yang bergoyang gemetaran.  

Pramono yang duduk di sebelahnya menepuk lembut pundak wanita ayu itu. “Santai saja, jangan tegang,” ujarnya sembari tersenyum hangat. “Mari masuk ruangan, sepertinya mediasi akan segera di mulai.” 

Pramono kemudian membawa Sulastri masuk keruangan berdominasi warna putih, dengan meja kayu jati tebal di tengah ruangan, di sisi kanan-kirinya bangku-bangku berjejer rapih dengan satu kursi jok empuk di kepala meja.  

Di kursi utama, seorang pria sepuh menyambut dengan senyum ramah. 

Slamet Dirojo, moderator  yang akan mempimpin jalannya sidang perceraian Sulastri dan Kartijo. Hakim senior yang terkenal kritis dan selalu mengambil keputusan tanpa tebang pilih. Sudah menangani lebih dari seratus kasus, membuat Slamet begitu dikenal di kalangan pemerintahan terutama hukum dan ketataan sosial.  

“Bagaimana kabar Anda, Pak?” sapa Pramono sembari menyambut jabatan tangan Slamet. 

“Saya baik, Bung Pram sendiri, bagaimana kabarnya? Sudah lama sekali kita tidak bertemu,” balas Slamet. 

Pramono tertawa kecil. “Saya baik, Pak.”

“Silahkan duduk, Bung,” ujar Slamet sembari menunjuk bangku kayu yang ada di sisi kanannya. Laki-laki itu lalu menelisik Sulastri yang juga sempat menjabat tangannya. “Apa ini penggugatnya?” 

“Benar, Pak. Ini klien saya, saudari Sulastri,” sahut Pramono seraya memperkenalkan secara resmi. 

“Masih muda sekali, berapa usia sampean, Nyonya?” 

“S-sembilan belas tahun, Tuan.” Sulastri menjawab dengan terbata, takut bercampur ragu. 

“Sembilan belas tahun?!” sahut Slamet seolah tak percaya. “Usia berapa sampean saat awal menikah?” 

“Baru menginjak tujuh belas tahun.” 

Slamet mengangguk, sembari tersenyum samar. “Saya suka wanita muda yang berani seperti ini,” ujarnya, ambigu. “Apakah pihak laki-laki belum datang? Ini sudah hampir lewat tiga puluh menit, atau mereka memang tidak datang? lanjutnya, bertanya pada paritera yang sedang sibuk mengetik di kursi kerjanya. 

“Bagaimana mungkin kami tidak datang, Pak hakim? Kami sudah menantikan hari ini,” sahut Hasan dari ambang pintu. 

Laki-laki berpenampilan nyentrik itu masuk ruangan dengan senyum mengembang, kemudian menjabat tangan Slamet. “Makin awet muda saja, Anda Bung,” ucap Hassan seakan baru saja bertemu teman lama. Ia kemudian menatap Pramono yang berdiri dari kursinya. “Kita jumpa lagi, Bung,” sapanya tanpa membalas uluran tangan dari pengacara itu.  

Di belakangnya menyusul Kartijo yang berjalan dengan angkuh. Sulastri terbelalak, namun cepat-cepat mengalihkan pandangannya saat melihat sang bapak—Margono juga turut hadir. 

Slamet kemudian mempersilahkan Hassan dan dua orang yang datang bersamanya duduk di bangku sebelah kiri. 

“Baik, semua sudah hadir, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sidang mediasi kita buka pagi hari ini, saya harap semua mengikuti peraturan yang berlaku.” Slamet kemudian dengan teliti membuka berkas dokumen yang sudah disiapkan panitera. 

“Saya ingin bertanya pada saudari Sulastri terlebih dahulu sebagai pihak penggugat. Apa alasan saudari mengajukan perceraian ini?” 

“S-saya, tidak mau di madu.” Sulastri menjawab dengan sedikit ragu. 

“Aku tidak pernah berniat memadumu, Diajeng! Sudah aku katakan, kau hanya salah paham!” Kartijo menyela dengan suara lantang. 

“Apa pengusiran malam itu juga sebuah kesalahpahaman?!” sentak Sulastri, suaranya bergetar menahan getir. 

Kartijo menarik napas dalam, pandangannya turun ke lantai sekilas, lalu kembali mendongak congkak. “Aku tidak mengusirmu, aku hanya memintamu menenangkan diri ke rumah orang tuamu, tapi … kau malah memilih minggat dengan orang lain!” dusta Kartijo dengan raut murka. 

Sulastri tertawa sumbang. “Suami mana yang meminta istrinya pergi tengah malam hanya untuk menenangkan diri!” 

“Dia—” 

“Cukup,” sela Slamet, “Kalau seperti ini mediasi kita tidak akan mencapai titik temu. Saudara Kartijo, saya harap Anda diam dulu, biarkan saudari Sulastri menjawab semua pertanyaan yang akan saya ajukan,” imbuh Slamet dengan nada tegas. 

“Saudari Sulastri, jadi saudari tetap pada keputusan saudari untuk bercerai? Atau saudari coba pikirkan kembali dengan kepala dingin?” 

“Tidak. Keputusan saya sudah bulat, saya tetap ingin bercerai,” jawab Sulastri. 

“Apa yang saudari tuntut dari suami saudari?” tanya Slamet kembali. 

“Tidak ada. Saya hanya ingin bercerai dan hidup dengan putri saya yang tidak pernah di harapkan kehadirannya oleh bapaknya.”

Slamet mengangguk paham, lalu melanjutkan introgasinya. “Baik sekarang saudara Kartijo, apakah saudara menerima tuntutan saudari Sulastri?” 

“Tidak. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menceraikan dia!” 

“Apa saudara mengakui tuduhan yang dilayangkan saudari Sulastri?” Slamet kembali bertanya dengan wajah serius. 

Kartijo menggebrak meja, tatapanya nyalang. “Apa kau pikir aku gila dengan mengusir istriku yang baru saja melahirkan!” 

Slamet mengetuk mejanya pelan, sudut bibirnya terangkat pelan. “Dari pihak orang tua, ada yang ingin di sampaikan?”  

“Nduk, izinkan bapak ikut bicara, ini ‘kan masalah rumah tangga, apa tidak lebih baik kita bicarakan di rumah saja secara kekeluargaan. Kalau begini, orang akan mengecapmu sebagai istri yang durhaka, istri yang pembangkang, ini akan jadi aib, bukan hanya untukmu tapi juga untuk keluarga, Nduk.” Margono turut mencoba menasehati sang putri. 

“Bapak bilang secara kekeluargaan? Bahkan malam itu pun bapak juga turut menghakimi Lastri tanpa mau mendengarkan kejadian yang sebenarnya!” sahut Sulastri. 

Margono beranjak dari duduknya, lalu menghampiri Sulastri. Ia kemudian mengenggam tangan sang putri, menunduk—seolah mengaku salah.

“Bapak mohon, Nduk. Hentikan ini semua, kita bicarakan baik-baik di rumah. Bapak tau bapak salah bapak minta maaf, Nduk,” Mohon Margono. 

Sulastri mengerutkan alisnya, tatapannya menyelidik. “Kenapa bapak yang harus minta maaf, inikan masalah Lastri dengan juragan.” 

“Ini demi keluarga kita, Nduk. Kalau kamu meneruskan gugatan ini, bagaimana nasib bapak dan ibu, juragan bilang akan berhenti membeli panenan kita kalau kamu tidak kembali ke rumahnya,” ucap Margono—panik.

Hassan seketika mengusap wajahnya kasar saat mendengar kebodohan Margono. Dia sudah mewanti-wanti pria itu untuk tidak banyak bicara dan cukup menekan Sulastri kembali ke suaminya, tapi sepertinya laki-laki sepuh terlalu takut oleh ancaman Kartijo tentang kelangsungan hidupnya. 

“Jadi bapak melakukan ini hanya demi panenan? Bapak rela melihat Lastri hidup menderita dengan laki-laki yang gila wanita?!” 

“B-buk—” 

“Maksud bapak sampean mungkin jangan gegabah mengambil keputusan. Saya tau sampean itu sedang di kuasai emosi, terlebih saat ini sampean tinggal bersama Londo, yang kita tau, ya … tidak perlu saya jelaskan, saya kira semua yang ada di sini bisa menilai sendiri.” Hassan turut menyahut. 

Pramono tersenyum samar, pengacara berwajah tenang itu menegakkan duduknya. “Mohon maaf, Bung Hassan, ini ‘kan sidang mediasi antara klien saya dan klien Anda, apakah logis kalau kita melibatkan orang lain? Dan lagi mediasi ini untuk mencari titik temu tentang masalah klien kita, bukan mencari kesalahan pihak yang lain.” 

Hassan menatap sengit. “Saya hanya mengingatkan, mana tau klien Anda lupa, kalau dia saat ini sedang menyalahi norma sosial!” 

“Norma sosial? Jika klien saya menyalahi itu, lantas yang dilakukan klien Anda di sebut apa?!” Pramono mengangkat sudut bibirnya, tatapannya tak kalah sengit ke arah tiga orang di hadapannya. 

“Bukankah apa yang dituduhkan klien Anda terhadap klien saya belum terbukti, tapi kesalahan klien Anda … semua nyata. Apa Anda masih mau mengelak?” kilah Hassan melakukan pembelaan. 

“Kalau begitu kita buktikan di persidangan. Nyata belum tentu fakta, biar hukum yang bicara sesuai kaidahnya, mencari fakta yang sebenar-benarnya!” tekan Pramono.  

“Cukup.” Suara tegas Slamet menghentikan perdebatan dua pengacara paruh baya itu. “Saya rasa mediasi kali ini belum bisa mencapai titik temu. Kita akan meneruskannya minggu depan, di sidang pembahasan pokok permasalan. Saya harap Bung Pramono bisa menghadirkan Tuan Van Beek ke meja ini, dan—” 

“Apakah kita perlu melibatkan penjajah di persidangan yang suci ini?!” sela Hassan. 

Slamet menghela napas, suaranya tegas—penuh penekanan. “Saya juga akan memanggil saudari Amina ke meja ini. Kehadiran mereka dibutuhkan untuk mencari pokok permasalahan sekaligus menjawab tentang norma sosial yang Bung Hassan tuduhkan ke saudari Sulastri.”

“Saya rasa sidang mediasi hari ini cukup sampai di sini. Panitera akan menyiapkan surat panggilan untuk kedua saksi, Anda bisa mengambilnya setelah mediasi ini saya tutup atau petugas akan mengirimnya ke kantor Anda. Saya harap minggu depan semua bisa hadir tepat waktu dan mematuhi kedisiplinan agar masalah ini bisa secepatnya terselesaikan. Saya akhiri Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” pungkas Slamet lalu beranjak meninggalkan ruang mediasi. 

Hassan mendengus kesal, tangannya dengan kasar membereskan berkas-berkas di hadapannya. Sementara Kartijo dengan langkah pelan menghampiri Sulastri yang duduk setengah menunduk. 

“Wong wedok ra kenek di toto!(perempuan tidak bisa di atur) koe lihat, ya, aku pasti akan menyeretmu pulang, dan Londo bajingan itu akan minggat dari desa ini. Tunggu saja!” ancam Kartijo dengan raut murka. 

Laki-laki itu kemudian berjalan keluar di susul Margono yang mengekor di belakangnya. 

Sulastri masih bergeming di tempatnya, ancaman Kartijo sedikit mengganggu pikirannya. Pramono yang menyadari hal itu, menggenggam lembut tangan yang tersembunyi di bawah meja kayu. 

“Jangan dipikirkan, kita pasti memenangkan kasus ini,” ujarnya hangat. 

“Saya hanya khawatir ini berdampak pada Meneer,” sahut Sulastri dengan tatapan sayu. 

Bersambung. 

 

1
Sayuri
g prlu d permalukan kmu dh malu2in kok
Anna: Nggak sadar diri emang.
total 1 replies
Sayuri
otak anakmu itu di urut. biar lurus
Anna: Laa emaknya aja ....🤧
total 1 replies
Sayuri
buah jatuh spohon2nya
Anna: Nahh ...🤣
total 1 replies
Sayuri
ngapa g rekrut karyawan baru sih buk
Anna: Dia juga tak tahannn 🤣
total 1 replies
Sayuri
comelnya🥰
Anna: 🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶
total 1 replies
Sayuri
peter nyebut gak lu. pelan2 woy. awas kejungkang si sul
Anna: Suka keceplosan 😭
total 1 replies
Sayuri
lihat sul. anak yg g di akuin bpknya. tp brharga di org yg tepat
Anna: Jadi anak emas🫶
total 1 replies
Sayuri
bisa aja lu no
Anna: Remaja vintage 😭
total 1 replies
Sayuri
kok sedih y 😔
Anna: makanya mereka berharap Petter nikah, ehh ... ketemu Sulastri🤭
total 1 replies
SooYuu
gundik juga kek anaknya pasti
Anna: Ituu anu .... ituu 🤧
total 1 replies
SooYuu
keturunan ternyata 😭😭
Anna: buah jatuh sepohon-pohonnya🤣
total 1 replies
SooYuu
apa maksudmu, Meneer?????
Anna: ngaku-ngaku🤧
total 1 replies
Nanda
mending simpen energi gue buat yang lebih penting ketimbang ampas ini
Anna: Wkwkwkwkkk ... bangkotan tak tau malu🤧
total 1 replies
Nanda
jangan bilang Peter itu anaknya Rasmi?? atau mantan gundiknya ayahnya Peter??
Anna: Mana yang lebih seru? 🤭
total 1 replies
CallmeArin
uluh uluhh lutunaaaa😍
Anna: 🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶🫶
total 1 replies
Sayuri
profesional bung. jgn gitu
Anna: Cari-cari kesempatan.
total 1 replies
Sayuri
gk. g ada yg di kuasai emosi d sni. ini udh berbulan2. lastri mengambil keputusan bukan krna emosi lg, tp krn kesadaran sndiri.
Anna: Yeeheeee 🫶
total 1 replies
Sayuri
ayo jgn gugup. ini kesempatan mu
Anna: Libass habis, ya
total 1 replies
Sayuri
wkwkwkwkwk mamphossssss
Sayuri
awas mulutmu di tempiling pakai buntut ikan
Anna: Ngikk-ngikk ... Kakk komenmu selalu jadi mood benget loo🫶
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!