NovelToon NovelToon
Legend Of The Sky Devourer-Kunpeng Terakhir

Legend Of The Sky Devourer-Kunpeng Terakhir

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Alvarizi

Di Desa Fuyun yang terkubur salju, Ling Tian dikenal sebagai dua hal yakni badut desa yang tak pernah berhenti tertawa, dan "Anak Pembawa Sial" yang dibenci semua orang.

Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum konyol dan sikap acuh tak acuh itu, tersimpan jiwa yang lelah karena kesepian dan... garis darah monster purba yang paling ditakuti langit yakni Kunpeng.

Enam puluh ribu tahun lalu, Ras Kunpeng musnah demi menyegel Void Sovereign, entitas kelaparan yang memangsa realitas. Kini, segel itu retak. Langit mulai berdarah kembali, dan monster-monster dimensi merangkak keluar dari bayang-bayang sejarah.

Sebagai pewaris terakhir, Ling Tian dipaksa memilih. Terus bersembunyi di balik topeng humornya sementara dunia hancur, atau melepaskan "monster" di dalam dirinya untuk menelan segala ancaman.

Di jalan di mana menjadi pahlawan berarti harus menjadi pemangsa, Ling Tian akan menyadari satu hal yakni untuk menyelamatkan surga, dia mungkin harus memakan langit itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvarizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10: Pesta Kanibal di Kegelapan

Kegelapan di Gua Angin Ratapan bukan sekadar tidak adanya sebuah cahaya. Kegelapan itu terasa memiliki sebuah tekstur.

Berat, lembap, dan menekan kulit seperti selimut basah yang berbau amonia pekat. Di balik keremangan itu, ribuan pasang mata merah menyala serentak, mengubah langit-langit gua menjadi hamparan bintang neraka yang kelaparan. Suara kik-kik halus dari gesekan gigi taring mereka menciptakan dengungan rendah yang membuat gendang telinga Ling Tian berdenyut sakit.

Itu adalah suara dari ribuan perut para kelelawar berwajah manusia yang kosong.

Ling Tian mempererat cengkeramannya pada batang besi hitam di tangannya. Telapak tangannya berkeringat dan licin. Napasnya ia atur perlahan, pelan namun pasti. Satu, dua dan ditahan mencoba untuk menenangkan detak jantung yang menghantam rusuknya seperti palu godam. Dia tahu, jika saja ada satu gerakan yang salah, dia akan tinggal tulang belulang dalam hitungan menit.

"Tuan Kun..." bisik Ling Tian, suaranya nyaris tak terdengar di antara deru angin gua. "Apa menu pembukanya?"

"Bertahan hidup," suara Tuan Kun terdengar tajam di dalam benaknya, tanpa nada mengejek yang biasa. "Mereka datang."

SCREEEEEEECH!

Jeritan suara hingga mengeluarkan ultrasonik seketika meledak.

Ratusan kelelawar di barisan depan melepaskan cengkeraman mereka dari langit-langit dan menjatuhkan diri bagaikan hujan meteor hitam.

"Maju!"

Ling Tian menghentakkan kaki kanannya. DUM! Tanah gua yang becek terciprat. Dia tidak melangkah mundur melainkan menyambut gelombang serangan kematian itu dengan ayunan horizontal sekuat tenaga.

BUAGH! KRAK!

Besi hitam itu menghantam tiga kelelawar pertama. Tulang mereka remuk seketika, tubuh mereka terlempar menabrak dinding gua, meledak dalam cipratan darah hitam yang bau.

Tapi itu baru tiga. Di belakang mereka masih ada tiga ratus lagi.

Sreeet!

Seekor Kelelawar Berwajah Manusia berhasil lolos dari jangkauan ayunannya. Makhluk itu hinggap di bahu kiri Ling Tian, cakar-cakarnya menancap dalam menembus kain goni, merobek kulit hingga ke daging Ling Tian.

"Argh!" Ling Tian menggeram, rasa perih menyengat sarafnya.

Wajah makhluk itu yang berwajah bayi keriput dengan mulut penuh jarum menyeringai tepat di depan wajah Ling Tian sebelum menancapkan giginya ke leher.

Namun tidak semudah itu. Ling Tian segera memiringkan kepalanya, membiarkan gigi itu meleset dan hanya menggores pipinya. Dengan tangan kiri yang bebas, dia mencengkeram leher makhluk itu.

KREK.

Dia meremukkan lehernya dengan satu remasan brutal. Bangkai itu dia lempar ke arah kerumunan yang mendekat, menjatuhkan dua kelelawar lain.

Namun, gelombang serangan itu tidak berhenti. Mereka datang dari segala arah. Depan, belakang dan atas.

Crrrass!

Punggungnya robek.

Betisnya digigit.

Lengan kanannya dicakar.

Darah segar mulai mengalir deras, membasahi tubuh Ling Tian. Bau anyir darah manusia di udara bertindak seperti stimulan bagi koloni monster itu. Mereka seketika menjadi gila. Serangan mereka semakin membabi buta, tidak lagi peduli pada pertahanan diri, hanya ingin menggigit dan merobek daging mangsanya.

Ling Tian terdesak mundur hingga punggungnya menabrak dinding gua yang dingin.

Dunia seakan berputar. Rasa sakit datang bertubi-tubi dari lusinan titik di tubuhnya, mengirimkan sinyal panik ke otak. Penglihatannya mulai kabur karena kehilangan banyak darah.

'Apakah ini batasnya?'

'Mati dimakan tikus terbang di gua busuk ini?'

"JANGAN PINGSAN, BODOH!" teriakan Tuan Kun mengguncang kesadarannya. "Darahmu menetes keluar! Sayang sekali kalau terbuang! Buka gerbang energimu! Jangan melawan mereka seperti melawan manusia normal!"

Ling Tian terengah-engah. Matanya yang satu tertutup darah yang mengalir dari dahi.

Benar. Dia mencoba bertarung dengan teknik pedang curian yang setengah matang. Dia mencoba menjadi pendekar. Padahal dia sendiri seperti monster yang bisa menghisap kekuatan lawannya.

Sebuah kelelawar besar menerjang dadanya, siap merobek jantungnya.

Segera Ling Tian menjatuhkan batang besinya.

KLANG.

Suara besi jatuh itu terdengar janggal di tengah kekacauan.

Ling Tian membuka kedua tangannya lebar-lebar. Dia tidak mencoba menangkis. Dia membiarkan makhluk itu menabrak dadanya. Dia membiarkan lusinan lainnya hinggap di lengan dan kakinya.

Sakit, sangat sakit. Rasanya seperti dikuliti hidup-hidup. Tapi di balik rasa sakit itu, ada rasa lapar yang jauh lebih purba yang mulai meraung.

"Makan..."

Suara Ling Tian serak, basah oleh darah.

Otot-otot perutnya berkontraksi. Di dalam dantian-nya, Gerbang Energi Purba yang selama ini tertutup rapat, dipaksa terbuka lebar oleh keputusasaan.

WOOOOONG!

Suara dengungan rendah muncul. Bukan suara fisik, tapi nampak seperti suara getaran ruang.

Pusaran hitam, sebuah lubang hitam mikroskopis terbentuk tepat di tengah dada Ling Tian.

Tiba-tiba atmosfer gua berubah drastis, tekanan udara-pun menjadi anjlok.

Kelelawar yang sedang menggigit leher Ling Tian tiba-tiba berhenti. Matanya yang merah menyala meredup, berubah menjadi abu-abu ketakutan. Ia mencoba melepaskan gigitannya, mencoba untuk terbang menjauh.

Tapi ia terkunci.

"Kau sudah masuk..." Ling Tian menyeringai, menampilkan gigi-giginya yang merah. "...jangan keluar lagi."

"[Devour Art: Abyssal Breath]"

SLURP!

Itu adalah suara yang menjijikkan. Suara seperti sumsum tulang yang disedot keluar.

Kelelawar di dada Ling Tian menjerit tanpa suara. Tubuhnya bergetar hebat. Aliran Qi hitam, darah, dan esensi kehidupannya ditarik paksa keluar dari pori-porinya, mengalir deras masuk ke dalam dada Ling Tian.

Dalam hitungan tiga detik, monster seukuran kucing itu mengkerut. Kulitnya kering, matanya cekung, bulunya-pun ikut rontok. Ia berubah menjadi kerangka berbalut kulit kering.

Ling Tian tidak berhenti, pusaran itu menjadi meluas dengan radius satu meter hingga dua meter.

Kelelawar-kelelawar yang menempel di lengan dan kakinya mengalami nasib serupa. Mereka mengejang, lalu layu seperti bunga yang disiram asam pekat.

Energi asing membanjiri tubuh Ling Tian yang terasa panas.

Rasanya seperti magma cair yang tengah disuntikkan ke dalam pembuluh darahnya. Rasa sakit dari luka-lukanya menghilang, digantikan oleh euforia yang memabukkan. Setiap inci ototnya berdenyut, setiap sel tubuhnya berteriak kegirangan menerima asupan nutrisi yang brutal ini.

'Lagi. Aku butuh lagi.' Ling Tian mengambil kembali batang besinya. Tapi kali ini, gerakannya berbeda.

Bukan lagi gerakan kaku seorang murid pelayan. Gerakannya liar, buas, namun mengalir lancar seperti air bah.

Dia melompat ke tengah kerumunan kelelawar yang mulai panik.

"Hahahaha!"

Tawanya meledak, bergema memantul di dinding gua. Itu bukan tawa Ling Tian si badut desa. Itu tawa predator yang baru saja menyadari posisinya di puncak rantai makanan.

Setiap kali besi hitamnya menyentuh musuh, musuh tidak terpental melainkan terhisap. Besi itu menjadi perpanjangan dari rasa laparnya, menjadi sedotan kematian.

Sreeet! — Satu kelelawar jadi debu.

Bum! — Tiga sekaligus mengering saat besinya menghantam mereka.

Kekacauan terjadi. Koloni itu panik. Mereka mencoba terbang naik, kembali ke langit-langit, menjauh dari iblis berwujud manusia di bawah sana.

"Mau kemana?"

Ling Tian melompat tinggi, kakinya menjejak dinding gua, melontarkan tubuhnya ke udara. Dia menangkap seekor kelelawar di udara dengan tangan kosong, meremasnya hingga esensinya terserap habis dalam sedetik, lalu menggunakan bangkai kering itu sebagai pijakan untuk melompat lebih tinggi lagi.

Dia menari di udara, berpindah dari satu bangkai ke bangkai lain.

Darah hitam, debu abu, dan potongan sayap memenuhi udara gua, menciptakan badai kematian yang mencekik.

Di dalam benaknya, Tuan Kun berteriak kegirangan sekaligus peringatan.

"Bagus! Terus! Tapi jaga kesadaranmu! Jangan biarkan insting itu mengambil alih sepenuhnya! Kau bukan binatang!"

Ling Tian nyaris tidak mendengarnya. Sekarang dunia di matanya tampak seperti gumpalan energi berwarna merah yang lezat. Dia ingin memakan semuanya. Dia ingin memakan gua ini. Dia bahkan punya pikiran untuk memakan langit juga.

Makan. Makan. Makan.

Pikiran rasionalnya mulai tenggelam. Kemanusiaannya mulai retak.

Dia mendarat kembali di tanah dengan suara gedebuk keras. Di sekelilingnya, ratusan bangkai kering berserakan seperti daun gugur di musim dingin.

Sisa-sisa kelelawar yang masih hidup mungkin tinggal setengah dari populasi awal mereka dan tengah bergelantungan di sudut terjauh gua, gemetar ketakutan dan tidak berani bersuara sedikit pun.

Ling Tian berdiri terhuyung-huyung. Seluruh tubuhnya diselimuti aura hitam-merah yang pekat. Tapi matanya... matanya bukan lagi seperti mata manusia. Pupil vertikal itu bersinar biru terang, menembus kegelapan.

Dia mengangkat wajahnya, menatap sisa mangsanya.

Langkahnya terseret. Satu langkah. Dua langkah.

Dia mengangkat tangannya, siap melepaskan gelombang hisapan lagi untuk menghabisi sisanya.

"LING TIAN! BERHENTI!"

Suara Tuan Kun meledak seperti guntur di dalam batok kepalanya, disertai sengatan listrik spiritual yang menyakitkan.

Seketika Ling Tian tersentak dan tubuhnya-pun menjadi kaku.

"Lihat dirimu! Kau sudah penuh! Dantian-mu sudah bengkak! Kalau kau makan satu ekor lagi, kau akan segera meledak!"

Napas Ling Tian memburu. Dia berkedip cepat, mencoba mengusir kabut merah di pandangannya.

Kesadarannya perlahan kembali. Rasa euforia itu surut, dan seketika itu juga, gelombang pasang konsekuensi menghantamnya.

Ling Tian tiba-tiba merasakan mual, perutnya bergejolak hebat. Rasa jijik yang luar biasa naik ke kerongkongannya. Menyerap esensi kehidupan ratusan bahkan ribuan monster iblis rendahan tanpa penyaringan... itu sama saja dengan meminum air selokan beracun.

"Ugh..."

Ling Tian jatuh berlutut, menjatuhkan senjatanya.

"Hoekkk!"

Dia memuntahkan cairan hitam pekat bercampur darah kental ke tanah. Baunya busuk luar biasa, membuat matanya berair. Tubuhnya menggigil hebat, keringat dingin membanjiri kulitnya yang tadi panas membara.

Rasa sakit kembali. Bukan sakit karena luka luar, luka cakaran di tubuhnya sudah menutup menjadi jaringan parut merah muda tapi rasa sakit di dalam tubuhnya. Meridiannya terasa seperti dibakar api, lalu disiram es dan itu semua berulang-ulang.

Ling Tian-pun terbatuk, menyeka mulutnya dengan punggung tangan yang gemetar.

"Sialan..." suaranya parau, lemah. "Rasanya... tidak enak."

"Tentu saja tidak enak," Tuan Kun muncul di hadapannya, melayang dengan wajah cemberut namun lega. "Kau makan membabi buta seperti orang kelaparan di tengah pesta. Kelelawar ini penuh racun Yin dan banyak kotorannya. Butuh waktu semalaman bagiku untuk memurnikan energi kotor ini di dalam tubuhmu."

Ling Tian tertawa kecil, meski dadanya sakit. Dia berguling telentang, menatap langit-langit gua yang kini sepi.

"Tapi... mereka takut padaku, Tuan Kun. Lihat..."

Dia menunjuk samar ke arah pojok atas gua. Kelelawar-kelelawar yang tersisa tidak berani lagi bergerak. Mereka menatap Ling Tian seperti menatap raja iblis.

"Aku... menang."

"Kau selamat," koreksi Tuan Kun. "Menang itu kalau kau bisa berdiri tegak setelahnya. Sekarang kau seperti onggokan daging mabuk."

Ling Tian memejamkan mata sejenak, menikmati sensasi tanah dingin di punggungnya. Jantungnya perlahan kembali ke ritme normal. Adrenalinnya surut, menyisakan kelelahan yang meremukkan tulang.

Namun, di tengah keheningan pasca-pembantaian itu, telinga tajam Ling Tian menangkap sesuatu.

Atau lebih tepatnya... ketiadaan sesuatu.

Suara angin ratapan yang menjadi ciri khas gua ini... menghilang.

Tidak ada lagi Huuu... Huuu... yang menyeramkan. Gua itu kini sunyi senyap, seperti makam yang pintunya baru saja ditutup rapat.

"Anginnya..." gumam Ling Tian, membuka mata.

"Berhenti," sambung Tuan Kun. Nada suaranya berubah serius. "Energi Yin yang kacau tadi terserap oleh 'pesta makan' gilamu. Keseimbangan gua ini telah berubah. Dan karena itu... segel ilusi yang menyembunyikannya terbuka."

"Menyembunyikan apa?"

Ling Tian memaksakan diri untuk duduk. Kepalanya masih pening, tapi rasa penasaran mengalahkan rasa sakitnya.

Dia mengambil batu api dari sakunya yang robek, memantik api kecil untuk menerangi sekitarnya. Cahaya api menari-nari, mengusir bayangan di dinding utara gua.

Di sana, di balik tumpukan kotoran kelelawar dan lumut yang baru saja rontok akibat getaran pertarungan, sebuah struktur buatan manusia atau sesuatu yang mirip buatan manusia terungkap.

Sebuah pintu batu raksasa setinggi lima meter. Permukaannya tidak rata, melainkan dipenuhi ukiran relief yang rumit dan kuno. Relief itu menggambarkan gelombang lautan yang berubah menjadi awan, dan di tengah-tengahnya, seekor makhluk agung membentangkan sayapnya, menutupi matahari.

Ling Tian menahan napas. Relief itu... dia merasakannya. Bukan dengan mata, tapi dengan darahnya. Darahnya berdesir, beresonansi dengan pintu batu itu seolah-olah pintu itu memanggilnya pulang.

"Ini..."

"Sarang," bisik Tuan Kun. Suaranya terdengar emosional, campuran antara kesedihan mendalam dan nostalgia ribuan tahun. "Salah satu tempat peristirahatan tubuh asliku di masa lalu. Sebelum perang... sebelum kehancuran."

Tuan Kun melayang mendekat ke pintu itu, menyentuhnya dengan tangan transparannya.

"Aku tidak menyangka tempat ini ada di bawah sekte manusia rendahan ini. Pantas saja energi di sini terasa familiar."

Ling Tian berdiri tertatih-tatih, menggunakan batang besinya sebagai tongkat. Dia berjalan mendekati pintu itu. Aura kuno yang memancar dari sana terasa berat, menekan bahunya, tapi sekaligus terasa hangat.

"Apa isinya?" tanya Ling Tian. "Harta karun? Senjata dewa? Atau cuma tumpukan tulang ikan?"

"Sesuatu yang lebih berharga," jawab Tuan Kun, menoleh menatap Ling Tian dengan mata bersinar. "Di dalamnya tersimpan fragmen ingatan ras Kunpeng. Dan mungkin... setetes 'Darah Sejati' yang kutinggalkan untuk regenerasi."

"Jika kau bisa menyerapnya, Ling Tian... masalah tubuhmu yang rapuh itu akan selesai. Kau tidak akan lagi jadi manusia yang meminjam kekuatan monster. Kau akan mulai menjadi monster itu sendiri."

Ling Tian meletakkan telapak tangannya yang berlumuran darah kering ke permukaan pintu batu yang dingin itu.

Namun saat darahnya menyentuh ukiran itu, pintu itu berdenyut. Garis-garis ukiran relief mulai menyala dengan cahaya biru redup, menjalar dari pusat hingga ke pinggir, terdengar suara gemuruh berat dari dalam tanah.

DRRRRRR....

Debu berjatuhan dari langit-langit. Pintu batu raksasa itu mulai bergeser terbuka, perlahan, inci demi inci, menghembuskan udara purba yang telah terkurung selama puluhan ribu tahun. Aroma laut dalam dan ozon menyeruak keluar, mengusir bau busuk bangkai kelelawar.

Ling Tian menyeringai lebar, meski wajahnya pucat pasi.

Li Wei pasti sedang tidur nyenyak di asramanya yang hangat, memimpikan Ling Tian yang dicabik-cabik kelelawar. Dia tidak tahu, bahwa dia baru saja mengirim musuhnya tepat ke depan pintu gudang harta karun terbesar di benua ini.

"Maaf membuatmu menunggu lama," bisik Ling Tian pada kegelapan di balik pintu yang terbuka.

Dia melangkah masuk, ditelan oleh bayang-bayang masa lalu, meninggalkan dunia manusia di belakangnya.

1
Sutono jijien 1976 Sugeng
👍👍👍👍
Sutono jijien 1976 Sugeng
siapa predator puncak 😁😁😁
Sutono jijien 1976 Sugeng
si fang yu hanya jadi badut ,yg Tak tahu apa apa 🤣🤭
Anonymous
Ga kerasa cepet banget udh abis aja 😭
Anonymous
Whooa, apakah sekte matahari hitam itu keroco yang ditinggalkan seberkas kehadiran void Sovereign pada bab prolog?
Renaldi Alvarizi: Hehe mohon dinantikan kelanjutan ceritanya ya
total 1 replies
Anonymous
Alur ceritanya makin kesini makin meningkat, tetap pertahankan
Renaldi Alvarizi: Terimakasih kawan Kunpeng 😁
total 1 replies
Anonymous
up thor
Anonymous
Hahaha Ling Tian punya budak pertamanya
Anonymous
Haha akhirnya badut yang sebenarnya 'Li Wei' mokad juga
Anonymous
Ceritanya bagus, besan dengan yang lain seperti titisan naga, phoenix dsb. Semoga tetap konsisten updatenya.
Joe Maggot Curvanord
kenapa xinxin penyimpanan ataw barang berharga musuh tidak di ambil
Renaldi Alvarizi: Hehe sudah kok kak yang akan digunakan untuk keperluan di bab mendatang namun saya memang lupa memasukkan atau menjelaskannya didalam cerita. Terimakasih atas sarannya.
total 1 replies
Sutono jijien 1976 Sugeng
semoga semakin berkembang ,dan bukan di alam fana ,naik ke alam atas
Renaldi Alvarizi: Hehe tunggu saja kelanjutannya bersama dengan Ling Tian dan Tuan Kun ya kak hehe
total 1 replies
Sutono jijien 1976 Sugeng
belagu si fang yu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!