Seorang pemuda tampan yang katanya paling sempurna, berkharisma, unggul dalam segala bidang, dan yang tanpa celah, diam-diam menyimpan sebuah rahasia besar dibalik indahnya.
Sinan bingung. Entah sejak kapan ia mulai terbiasa akan mimpi aneh yang terus menerus hadir. Datang dan melekat pada dirinya. Tetapi lama-kelamaan pertanyaan yang mengudara juga semakin menumpuk. "Mengapa mimpi ini ada." "Mengapa mimpi ini selalu hadir." "Mengapa mimpi ini datang tanpa akhir."
Namun dari banyaknya pertanyaan, ada satu yang paling dominan. Dan yang terus tertanam di benak. "Gadis misterius itu.. siapa."
Suatu pertanyaan yang ia pikir hanya akan berakhir sama. Tetapi kenyataan berkata lain, karena rupanya gadis misterius itu benar-benar ada. Malahan seolah dengan sengaja melemparkan dirinya pada Sinan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yotwoattack., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A M BAB 11 - lo bukan Sinan.
"Hoho~ look what we got." Max bersiul sambil merangkul Bianca disampingnya. Tampaknya kedua orang itu tidak sendiri dikarenakan Tumbler pink yang dibawanya, Sinan tahu betul bahwa botol tersebut milik Valerie.
Tepat ketika tangan pemuda tampan itu terulur untuk memegangi Dinya dan membawanya pergi, tangan lain malah lebih dulu terangkat di depan mereka. Menghentikan langkah keduanya.
Srek.
Sinan mengamati Bianca datar masih dengan tangan yang menggenggam erat milik Dinya. Jujur, setelah pertikaiannya dengan Max kala itu Sinan memang sudah berpikir untuk mulai menjauhi mereka yang terlibat tanpa terkecuali. Termasuk gadis yang sedang menatap mereka begitu nyalang tersebut.
"Lo serius mau ngejauhin kita cuma karena nih cewe?" Bianca berujar sambil melirik Dinya tajam. "Hubungan persahabatan kita gak yang sebulan dua bulan, Nan."
Ujaran itu tak lantas membuat seseorang yang diajak bicara tertampar apalagi merasa menyesal, malahan pemuda itu membuang muka dan mempererat genggamannya dengan Dinya di bawah sana.
"Sinan.." Bianca mengeram. "Ikut gue."
Tarikan kasar pada lengan seorang pemuda jangkung yang dilayangkan oleh gadis itu tak membuat Sinan bergerak dari tempat, malahan Sinan ingin menghempas tangan itu saat sebelum Max lebih dulu menyambar.
"Ikut dia, Sinan. Jangan sampai lo gue hajar ditengah-tengah orang gini." Max tak repot-repot menyembunyikan amarah, sepasang netra itu bahkan menyorotnya bak mangsa empuk. "Dan gue gak bercanda."
Seseorang yang dengan begitu terang-terangan diancam sama sekali tak terpancing, malahan masih dengan begitu tenang berdiam diri ditempat padahal Bianca sudah merengek kesusahan sambil berusaha menariknya yang seolah bersatu dengan lantai. Sama sekali tak bergerak. Sama sekali tak terpengaruh.
Situasi sekitar kian memanas ketika Sinan bersikeras pada pendiriannya. Bahkan orang-orang yang berlalu lalang sudah mulai menyadari bahwa empat orang ditengah mereka sedang terlibat argumen.
Srek.
Ditengah kondisi itu, Sinan yang tautannya dilepas secara sepihak tak ayal langsung menoleh. Menunduk untuk mengamati Dinya yang tampak tak nyaman sambil mengelus lengan telanjangnya sendiri.
"Lo ikut dia, selesaiin dulu." Ujar gadis itu akhirnya sambil melirik ke arah lain. "Pas selesai baru balik lagi kesini."
Alis Sinan terangkat tak terima namun sebelum ia membuka mulut untuk menolak, ia segera menelan ujarannya mentah-mentah karena berpikir terus-menerus menghindar juga tidak akan ada gunanya. Sambil menghembuskan napas panjang pemuda tampan itu mengangguk lalu mengelus pucuk kepala Dinya singkat.
"Gue gabisa lama." Ujarnya sambil melirik Bianca sekilas sebelum pandangan datar itu kembali menyapu wajah gadis manis yang dielusnya. Setelah memantapkan niat, Sinan lantas melepaskan gadis itu dan ingin membiarkan dirinya dibawa Bianca.
Namun sebelum benar-benar pergi, ia sempat melepas jaket kulit yang sedang ia kenakan untuk membungkus tubuh Dinya yang masih mengelus lengannya sendiri sambil menghindari kontak mata mereka. Di titik ini rasa bersalah bak menggerogoti jantung pemuda itu.
"Jangan macem-macem." Peringat Sinan pada Max sambil menyerahkan Dinya kepada pasangan random sebelum membiarkan dirinya dibawa Bianca. Bahkan efek berlari beberapa puluh putaran tak pernah membuat langkah pemuda itu seberat sekarang.
Tap..
Tap..
Bianca membawa pemuda yang selalu menjadi sorotan berkat visual dan aura mencolok yang dikeluarkannya itu ke suatu tempat yang sebenarnya tak terlalu jauh dari tempat dimana Max dan Dinya berada. Tapi tempat mereka berada sekarang sangat sangat cukup untuk memutuskan pendengaran serta pengelihatan kedua belah pihak.
"Lo kenapa." Ujar Bianca ketika mereka sudah berada disana. Gadis itu bersandar, pandangannya menelisik pemuda itu lamat-lamat. "Chat gak di bales, call gak diangkat, bahkan pas gue ngajak lo ngobrol di sekolah juga sama sekali gak lo gubris. Kalaupun lo kesel sama Max, ya kesel sama dia jangan malah ngediemin yang lain. Apalagi gue."
Tak mendapati adanya respon seketika membuat amarah gadis itu kian membara. Bianca yang awalnya bersandar pada tembok mulai berdiri tegak dan melangkah mendekati Sinan, mempersempit jarak mereka. Ingin menghimpit pemuda yang biasanya tersenyum begitu polos dan yang selalu menuruti segala perkataanya itu.
"Jawab." Tuntut Bianca sambil menghembuskan nafas kasar. "Sebenernya sejak kapan lo jadi pembangkang gini. Lo bukan kayak Sinan yang gue kenal, lo tau?"
Seseorang yang berusaha di dominasi masih setia mengantup mulut. Tiada yang tahu isi pikirannya bahkan ketika Bianca mendekat dan menepuk dada pemuda itu kasar, Sinan tetap tak bergeming.
"Atau bener ini semua karena tuh anak baru? Gak mungkin." Bianca menolak untuk percaya. Wajah yang begitu dipuja-puja oleh seantero SMA Moranvva itu menegang penuh guratan emosi. "Sinan. Ngomong. Jelas itu gak mungkin, kan??!! Gue tau lo, meski lo gak pernah pacaran tapi gue jelas tahu bahwa selera lo gak mungkin serendah itu."
Srek.
Sepasang netra tajam yang hampir setengahnya tertutupi poni itu akhirnya melirik seseorang yang sejak tadi mengajaknya berbicara. Sinan masih berdiri menjulang di tempatnya, sama sekali tak menunjukkan perilaku ganjil namun anehnya tempat yang tadinya sunyi tenang seketika berubah menjadi sunyi mencekam.
Merasakan situasi familiar itu membuat Bianca tanpa sadar mundur beberapa langkah sambil menghindari tatapan dari pemuda yang sedang menikamnya dengan sorot tajam. Sepasang netra hangat yang biasanya akan menyipit ketika tersenyum itu menyorotnya penuh peringatan dengan guratan emosi yang bahkan sudah sangat terlihat wajah tampan itu masih setia datar.
Tap..
Gadis yang tadinya berteriak ingin menguasai dengan secepat kedipan mata berubah menjadi kelinci hitam yang menyedihkan. Ketika Sinan mengambil langkah mendekat, Bianca hampir meloncat dari tempatnya saking menegangkannya keadaan di antara keduanya kini.
Tap..
Tap..
"Padahal gue ngehindarin kalian biar gak terlibat masalah yang lebih jauh lagi. Tapi kalau gini.. itu artinya emang kalian yang mau cari ribut." Ujar pemuda dengan raut datar itu sambil menghentikan langkahnya. "Dan mengenai kata rendah barusan, bisa dijelasin dulu apa maksudnya?"
Tatapan pada netra yang dihiasi oleh eyeliner dan glitter make up yang elegan itu bergetar, menyorot dengan begitu tidak percaya pada pemuda yang sedang berdiri menjulang membawa limpahan wibawanya itu. Kini Bianca menjadi yakin bahwa Sinan yang sekarang benar-benar sudah bukan Sinan yang mereka kenal dulu.
Tes.. tes.. tes..
"S-sejak kapan.. sejak kapan lo nganggep kita sebagai orang lain?.. kalian.. KALIAN APANYA, SINANN??!!" Bianca berteriak sambil terisak. "Gue gak nyangka cuma demi tuh cewe rendahan.. iya.. cewe rendahan.. GUE GAK NYANGKA CUMA DEMI CEWE RENDAHAN ITU LO SAMPE BERANI NGANGGEP SAHABAT-SAHABAT LO SENDIRI SEBAGAI ORANG LA-"
"Bianca, mengenai loker Dinya yang diisi sama lumpur kotor." Sinan memotong. Sorotnya datar, nadanya hambar, namun apa yang keluar dari mulutnya seolah mengandung gas racun. "Gue tau."
Gadis yang sempat kembali dirasuki oleh ledakan emosi seketika itu juga tangannya luruh kesamping tubuh. Bianca mendongak sambil menatap pemuda yang kini tampak begitu menyeramkan di matanya.
"E-emangnya kenapa.." pelan Bianca setelah menelan ratusan batu dalam tenggorokannya. "Emangnya kenapa kalau gue yang ngelakuin? Bukannya sebelum-sebelumnya juga gitu. Bukannya sebelum-sebelumnya gak jarang gue ngisengin banyak murid. Tapi kenapa baru kali ini lo ikut campur. Atau karena.. atau karena yang kali ini target gue adalah di-"
"Gue saranin, jangan." Lagi-lagi pemuda datar itu memotong. Persetan, ia siap kehilangan citranya yang sempurna. "Soalnya gue gak bakal tinggal diem."
Tap..
Tap..
"Dan juga." Sinan menghentikan langkahnya, berbalik untuk menatap gadis itu datar. "Kalau demi dia, gue siap ngelawan siapapun. Jangankan kalian, sekalipun 'mereka' yang selama ini kalian puja-puja dan yang jadi alasan kalian buat nemenin gue itu ikut campur tentang hubungan kami, gue gak bakal segan buat menentang mereka."