Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anoreksia Sang Kaisar
"...ketiadaan."
Kata itu menggantung di udara lorong yang remang, lebih dingin dari angin malam yang menyelinap masuk melalui celah jendela. Ketiadaan. Han Qiu, yang menahan napas di balik pilar kayu besar, merasakan jantungnya diremas oleh sebuah pemahaman yang mengerikan.
Kaisar tidak hanya menderita karena makanan yang hambar; ia menderita karena makanan yang telah dilucuti jiwanya hingga menjadi ketiadaan yang bisa dikunyah. Ini bukan anoreksia biasa yang lahir dari citra tubuh atau tekanan psikologis. Ini adalah pembunuhan jiwa yang dilakukan perlahan, sendok demi sendok.
Kasim tua dan tabib muda itu bergegas pergi, suara langkah mereka yang cemas ditelan oleh keheningan istana. Han Qiu tetap terpaku, keranjang arang terasa ringan di tangannya yang gemetar. Misinya, yang tadinya hanya sebatas bertahan hidup di neraka steril ini, kini bermutasi menjadi sesuatu yang jauh lebih besar dan mendesak.
Ia harus menyelamatkan anak laki-laki itu. Bukan karena ia seorang kaisar, melainkan karena ia adalah sesama korban dari kuliner. Han Qiu tewas oleh makanan yang terlalu kotor, dan Kaisar ini sedang sekarat oleh makanan yang terlalu bersih.
Ironi yang kejam.
Keesokan paginya, bisikan tentang kondisi Kaisar semakin santer terdengar di antara para pelayan, seperti gemerisik daun kering yang tertiup angin ketakutan. Semua orang tahu, tetapi tidak ada yang berani mengatakannya dengan lantang.
Mandor dapur, yang tampaknya merasakan atmosfer yang semakin tegang, menjadi lebih galak dari biasanya.
"Apa yang kalian lihat?! Tungku tidak akan menyala sendiri!" bentaknya, suaranya memecah keheningan fajar.
Matanya yang tajam menyapu barisan pelayan sebelum berhenti tepat pada Han Qiu.
"Kau! Xiao Lu! Kau sudah selesai dengan lantai-lantai itu. Sekarang, aku punya tugas baru untukmu."
Han Qiu menundukkan kepalanya, bersiap untuk pekerjaan berat lainnya.
"Dapur kecil di samping Paviliun Anggrek Tenang perlu dibersihkan," lanjut sang mandor, nadanya sedikit merendah, seolah menyebut nama tempat itu saja sudah membuatnya gugup.
"Itu dapur pribadi yang digunakan untuk menyiapkan hidangan terakhir Yang Mulia. Pastikan setiap sudutnya berkilau. Jangan ada satu butir debu pun yang tertinggal. Mengerti? Satu kesalahan di sana, dan kepalamu yang akan jadi jaminannya."
Jantung Han Qiu berdebar kencang. Paviliun Anggrek Tenang. Itu adalah tempat Kaisar biasa bersantap seorang diri. Ini adalah kesempatannya. Sebuah investigasi.
"Baik, Tuan Mandor," jawabnya dengan suara serendah mungkin, menyembunyikan getaran antisipasi dalam nadanya.
Dapur kecil itu adalah miniatur dari neraka kemurnian Chef Gao. Jika dapur utama adalah laboratorium, maka tempat ini adalah ruang operasi. Semua permukaannya terbuat dari pualam putih dan perak yang dipoles hingga menyilaukan.
Bahkan udaranya pun terasa hampa, hanya menyisakan aroma samar dari uap air murni. Han Qiu ditugaskan untuk menggosok lantai pualam dan memastikan semua peralatan perak tetap berkilau. Tugas yang sempurna untuk seorang mata-mata.
Ia bekerja dalam diam, telinga dan matanya waspada. Tak lama kemudian, seorang kasim muda yang wajahnya tegang masuk membawa nampan berisi bahan-bahan mentah.
Han Qiu, sambil berlutut dan menggosok kaki meja, melirik sekilas. Di atas nampan itu tergeletak semangkuk kecil beras putih pilihan, sudah dicuci berkali-kali hingga nyaris transparan, dan sepotong ikan dori putih pucat yang dagingnya sudah dibersihkan dari semua tulang dan kulit.
Tidak ada jahe, tidak ada daun bawang, tidak ada apa pun yang bisa memberikan jejak aroma atau rasa.
Seorang koki senior yang tampak sama tegangnya dengan sang kasim mulai bekerja. Ia tidak menumis, tidak menggoreng, tidak memanggang. Ia hanya merebus dan mengukus. Beras itu dimasukkan ke dalam panci porselen dengan air murni, direbus di atas api kecil hingga menjadi bubur bening yang nyaris tidak berwarna.
Ikan itu diletakkan di atas piring perak, dikukus tanpa bumbu apa pun selain sejumput garam paling murni yang pernah Han Qiu lihat.
Menu hari ini: Bubur Bening dan Ikan Kukus Hambar.
Han Qiu harus menahan keinginan untuk berteriak. Di dunianya, ikan seperti itu akan diguyur dengan minyak bawang putih panas, dihiasi irisan jahe dan cabai, lalu disiram kecap asin kualitas terbaik. Bubur itu akan dimasak dengan kaldu ayam delapan jam, disajikan dengan cakwe renyah, telur pitan, dan taburan merica. Di sini, makanan itu disajikan seperti spesimen medis.
Setelah hidangan siap, kasim muda itu membawanya dengan hati-hati menuju ruang santap Kaisar. Han Qiu melanjutkan pekerjaannya, jantungnya berdebar menanti kembalinya nampan itu. Setengah jam terasa seperti selamanya. Ketika kasim itu kembali, wajahnya tampak lebih muram dari sebelumnya. Ia meletakkan nampan itu di atas meja dengan helaan napas berat.
Dari sudut matanya, Han Qiu melihat pemandangan yang memilukan. Mangkuk bubur itu hampir penuh, hanya berkurang satu atau dua sendok. Ikan kukus itu tampak tak tersentuh, hanya ada bekas kecil di ujungnya, seolah sang Kaisar hanya sanggup menusuknya dengan sumpit sebelum menyerah.
Konfirmasi visual ini menghantamnya lebih keras daripada bisikan semalam. Anak itu benar-benar kelaparan di tengah kelimpahan.
"Bawa kembali semua ini," desis kasim itu kepada koki senior.
"Yang Mulia berkata perutnya sedang tidak enak."
"Lagi?" balas koki itu dengan suara berbisik yang putus asa.
"Setiap hari jawabannya sama."
Koki itu membawa nampan berisi makanan yang hampir utuh itu pergi, menyisakan panci porselen bekas bubur untuk dibersihkan oleh Han Qiu. Inilah momennya. Ia membawa panci itu ke area pencucian di sudut dapur kecil. Air dingin mengalir dari pipa bambu, tetapi Han Qiu tidak langsung mengisinya.
Ia memeriksanya terlebih dahulu.
Panci itu bersih di bagian dalamnya, dilapisi sisa bubur yang tipis dan bening. Tidak ada yang menarik. Namun, saat ia memiringkannya di bawah cahaya, matanya menangkap sesuatu yang mustahil. Di dasar panci yang tebal, menempel erat seperti fosil, ada sebuah titik kecil berwarna cokelat tua, nyaris hitam. Ukurannya tidak lebih besar dari ujung kelingkingnya.
Han Qiu menelan ludah.
Ia tahu apa itu. Itu adalah kerak.
Di bawah rezim Chef Gao, kerak adalah dosa. Kerak adalah bukti kegagalan kontrol suhu, simbol dari panas yang terlalu liar, terlalu bersemangat. Kerak adalah kontaminasi, produk sampingan yang kotor dari proses memasak yang tidak sempurna.
Tetapi bagi Han Qiu, kerak adalah keajaiban. Bahkan ia beranggapan ini adalah tarian surgawi di antara siksaan kemurnia yang di gaungkan oleh Chef Gao, Kerak adalah jiwa dari nasi goreng, mahkota dari roti panggang, janji renyah di dasar panci paella. Kerak adalah kehidupan.
Dengan jari gemetar, ia mengorek titik kecil itu. Keras. Ia menggunakan kuku jarinya, menekannya dengan hati-hati hingga serpihan kecil itu terlepas. Ia mengangkatnya, membawanya mendekat ke wajahnya.
Di tengah udara steril dapur ini, sebuah aroma yang nyaris hilang menyeruak: wangi panggang yang samar, jejak manis karamel yang pemalu, sebuah bisikan tentang rasa yang pernah ada sebelum dimurnikan hingga mati.
Itu adalah secercah harapan. Bukti bahwa bahkan di lingkungan paling terkendali sekalipun, kehidupan—dan rasa—akan selalu menemukan cara untuk meninggalkan jejaknya.
Tanpa berpikir, didorong oleh insting seorang pencinta makanan yang telah terlalu lama berpuasa, Han Qiu mengangkat serpihan kecil itu. Ia membuka mulutnya, hendak merasakan keajaiban kecil yang terlarang itu di ujung lidahnya. Sebuah pengingat akan dunia yang telah hilang darinya.
"Apa yang akan kau masukkan ke dalam mulutmu itu?"
Sebuah suara tenang namun tajam memecah keheningan, membuat Han Qiu membeku. Serpihan kerak itu berhenti, hanya satu milimeter dari bibirnya.