Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.
Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.
Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.
Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.
Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.
“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SENTUHAN YANG MENGGANGGU
Waktu: 22.20 WIB.
Lokasi: Gudang Tua No. 4, Pelabuhan Boom Baru.
Debu sisa pendaratan dramatis Aditya perlahan mulai turun, tapi ketegangan di udara justru semakin menebal.
Aditya berdiri tegak, posturnya kaku dan defensif, siap menerjang kapan saja. Di hadapannya, wanita berpakaian catsuit itu tidak terlihat terintimidasi sedikit pun. Sebaliknya, dia terlihat geli.
"Pendaratan yang... berisik," komentar wanita itu, suaranya merdu namun penuh ejekan santai. Dia melipat tangannya di dada. "Kau tahu lututmu akan menyesali gaya itu sepuluh tahun lagi, kan? Osteoporosis dini itu tidak seksi, Tuan Robot."
"Minggir," perintah Aditya, suaranya dimodulasi menjadi berat dan robotik lewat maskernya. "Area ini disita negara. Dan peti itu barang bukti."
Wanita itu tertawa kecil. "Barang bukti? Bagi polisi, mungkin. Bagiku, ini adalah dana pensiun dini."
Dia mencabut alat peretas elektroniknya dari kunci peti. Lampu indikator peti berubah hijau. Klik. Terbuka.
"Jangan sentuh," desis Aditya. "Kau tidak tahu apa yang kau hadapi. Bayangga akan memburumu sampai ke neraka."
Mata wanita itu menyipit di balik topeng domino sutranya. Ada kilatan ketertarikan yang berbahaya.
"Oh? Kau tahu tentang Bayangga? Berarti kau bukan satpam biasa," dia memiringkan kepala, menatap logo samar di dada Aditya. "Ah, aku tahu. Kau si 'Pahlawan Lokal' yang bikin rusuh di Prambanan itu, kan? Siapa namamu? Senja... sesuatu?"
"Senja Garda," koreksi Aditya kaku.
"Nama yang aneh. Terlalu puitis untuk orang yang memakai baju zirah setebal pintu brankas."
Wanita itu mengambil sebuah kotak kecil dari dalam peti besar itu. Kotak berisi berlian merah yang menjadi sumber daya ritual Bayangga.
"Kembalikan," kata Aditya. Dia menembakkan kabel winch dari pergelangan tangannya.
ZING!
Kabel itu melesat mengincar pergelangan tangan wanita itu.
Tapi Si Tangan Sutra bergerak lebih cepat. Dia melompat salto ke belakang, menghindari kabel itu dengan gerakan akrobatik yang indah, mendarat di atas tumpukan peti kemas.
"Kejar aku kalau bisa, Kaleng Rongsokan!"
Dia berlari di atas kontainer, melompat dari satu kotak ke kotak lain.
Aditya mengejarnya. Dia menggunakan pendorong hidrolik di but-nya untuk melompat tinggi.
Pertarungan terjadi di atas labirin besi itu.
Aditya menyerang dengan gaya militer yang efisien—pukulan lurus, tendangan mematahkan, bantingan Judo. Setiap serangannya bertenaga besar, cukup untuk meremukkan tulang.
Tapi wanita itu bertarung seperti air.
Dia tidak menangkis. Dia mengalir. Saat Aditya memukul, dia memutar tubuhnya, membiarkan kepalan tangan Aditya lewat satu inci dari wajahnya, lalu menggunakan momentum Aditya untuk melemparnya.
BUGH.
Aditya terdorong menabrak dinding seng gudang.
"Kau kuat," kata wanita itu, berdiri seimbang di atas pipa air yang tipis di langit-langit. "Tapi kau kaku. Kau bertarung seperti buku teks manual. Membosankan."
"Dan kau bertarung seperti penari sirkus," balas Aditya, napasnya sedikit memburu. "Sial, dia licin seperti belut yang diberi pelumas. LiDAR-ku susah mengunci gerakannya yang acak."
Aditya melihat celah. Wanita itu bersiap melompat ke ventilasi atap.
Aditya tidak mengejar badannya. Dia menembakkan kabel winch bukan ke arah wanita itu, tapi ke arah balok besi di depannya, menciptakan jerat.
Saat wanita itu melompat…
SET!
Kakinya tersangkut kabel. Keseimbangannya goyah. Dia jatuh terjerembab ke lantai catwalk.
"Dapat," dengus Aditya.
Dia menarik kabel itu, menyeret wanita itu mendekat. Aditya melompat ke atasnya, siap mengunci pergerakannya.
"Permainan selesai, Nona," kata Aditya dingin.
Wanita itu telentang di bawahnya. Tapi dia tidak panik. Dia menatap mata Aditya, lalu tersenyum manis.
"Kau benar. Selesai."
Dia meniupkan sesuatu dari mulutnya.
FUHH.
Serbuk halus berwarna merah muda berkilauan terbang langsung ke wajah Aditya, menembus celah ventilasi maskernya yang rusak akibat benturan tadi.
"Apa—"
Aditya terbatuk. Bau manis bunga kecubung memenuhi paru-parunya.
Debu Halusinasi.
Dunia berputar seketika. Lantai besi di bawahnya terasa miring 90 derajat. Penglihatannya berbayang ganda. Otot-otot kakinya lemas mendadak seperti jeli.
Aditya kehilangan cengkeramannya. Dia jatuh berlutut, berusaha menahan tubuhnya dengan tangan agar tidak ambruk.
"Curang..." rintih Aditya, kepalanya pening hebat.
"Taktis," koreksi wanita itu.
Dengan pisau kecil yang tersembunyi di cincinnya, dia memotong kabel baja itu dalam hitungan detik. Dia bebas.
Tapi dia tidak lari.
Dia malah berjalan mendekati Aditya yang sedang berlutut tak berdaya. Langkah kakinya pelan, menggoda, seperti predator yang sedang mempermainkan mangsa yang terpojok.
Dia berjongkok tepat di depan wajah Aditya. Jarak mereka hanya lima sentimeter. Aditya bisa mencium parfumnya—wangi jasmine yang memabukkan.
Wanita itu membuka topeng dominonya sedikit, memperlihatkan mata cokelat terang yang tajam dan bibir yang tersenyum jahil.
Dia mengulurkan tangannya yang bersarung tangan sutra hitam. Dengan gerakan lembut yang sangat tidak pantas untuk situasi tempur, dia menyentuh dagu Aditya, mendongakkan wajah sang vigilante agar menatapnya.
"Sayang sekali mukanya ditutup topeng besi," bisiknya, jarinya menelusuri garis rahang Aditya di pinggiran helm. "Dari struktur rahangnya... sepertinya Bapak Dosen ini ganteng. Tipeku banget."
Aditya membeku.
Otot-ototnya menegang kaku. Bukan karena takut dibunuh. Dia sudah sering hampir mati.
Tapi sentuhan lembut di dagu itu... tatapan mata yang nakal itu... kedekatan fisik yang intim itu... semuanya mengirimkan sinyal error ke otak Aditya yang kaku dan antisosial.
Rasanya aneh. Menggelikan. Salah tempat.
Bulu kuduk di leher Adit berdiri semua. Dia merasa risih luar biasa. Seperti kucing yang dielus paksa di bagian perutnya.
"JANGAN SENTUH!"
Aditya menepis tangan wanita itu dengan gerakan kasar dan panik, seolah dia baru saja disentuh besi panas.
Dia mundur merangkak menjauh dengan cepat, napasnya memburu panik di balik masker. Postur tubuhnya defensif total, menutupi dada dan lehernya, tapi terlihat konyol.
"Apa yang kau lakukan?!" bentak Adit, suaranya pecah sedikit saking kagetnya. "Jaga jarak! Ini situasi tempur! Jangan... jangan pegang-pegang sembarangan!"
Wanita itu mengerjap kaget, tangannya masih menggantung di udara. Lalu, tawa meledak dari bibirnya.
"Ya ampun," dia terkekeh geli, suara tawanya memantul di dinding gudang. "Kau... kau Senja Garda yang legendaris itu? Yang katanya mimpi buruk para penjahat? Kau panik cuma karena disentuh wanita?"
"Aku tidak panik!" bela Adit cepat, meski wajahnya di balik helm terasa panas terbakar. Dia berdiri dengan canggung, mengibas-ngibaskan bahunya seolah ingin merontokkan sisa sentuhan tadi. "Itu... itu tindakan tidak taktis! Kau melanggar batas personal! Itu mengganggu konsentrasi dan melanggar SOP pertempuran!"
Wanita itu berdiri, masih tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Mata cokelat terangnya berbinar geli di balik topeng domino.
"Kau lucu, Senja. Sangat kaku. Seperti papan setrika yang diberi nyawa."
Dia mengambil sebuah flashdisk kecil dari saku dadanya.
"Baiklah, Tuan Kaku. Aku harus pergi sebelum teman-temanmu yang berseragam biru datang merusak suasana."
Dia melempar benda itu ke arah Aditya. Aditya menangkapnya dengan refleks, meski tangannya masih terasa kaku.
"Apa ini?"
"Data manifest kargo Bayangga. Aku sudah menyalinnya," kata wanita itu sambil menepuk saku pinggangnya yang berisi berlian curian. "Aku ambil batunya, kau ambil datanya. Anggap saja... biaya kencan pertama."
"Ini. Bukan. Kencan," Adit menekankan setiap kata dengan penuh kebencian pada situasi ini. "Kau kriminal. Dan aku akan menangkapmu."
Wanita itu hanya tersenyum miring. Dia melompat ke atas tumpukan peti dengan ringan, lalu berayun menuju jendela atap yang terbuka.
Dia berhenti sejenak di bingkai jendela, berjongkok seperti kucing, lalu menoleh ke bawah menatap Aditya.
"Sampai jumpa lagi, Bapak Dosen," serunya riang. "Lain kali, cobalah rileks sedikit. Urat lehermu tegang banget tuh!"
Dengan satu kedipan mata dan lambaian tangan genit, Si Tangan Sutra menghilang ke dalam kegelapan malam Palembang.
Aditya berdiri sendirian di tengah gudang yang mulai dikepung polisi.
Napasnya masih memburu. Dia menatap flashdisk di tangannya, lalu menatap jendela tempat pencuri itu menghilang.
Perasaan kalah yang menyengat mulai merayap di dadanya. Dia gagal mencegah pencurian. Dia gagal menangkap pelakunya. Dia dipermainkan seperti anak kecil.
Tapi kemudian, kata-kata terakhir wanita itu bergema ulang di kepalanya.
"Sampai jumpa lagi, Bapak Dosen..."
Aditya membeku. Matanya membelalak di balik visor helm.
"Tunggu sebentar," bisiknya pada kegelapan gudang.
Bagaimana dia tahu?
Malam ini Aditya memakai bodysuit taktis, helm tempur, dan rompi anti-peluru. Tidak ada atribut kampus yang menempel. Dia tidak membawa spidol papan tulis. Dia tidak sedang mengoreksi skripsi. Identitas "Dosen Praktisi" adalah kedok barunya yang baru berumur satu hari di kota ini.
Hanya segelintir orang yang tahu dia ada di Palembang sebagai akademisi.
"Dia memanggilku 'Bapak Dosen'," gumam Aditya, rasa dingin yang berbeda merayap di punggungnya. Lebih dingin dari debu halusinasi tadi.
Itu artinya wanita tadi tahu siapa dia di balik topeng ini. Dia tahu Aditya Wiranagara adalah Senja Garda.
Aditya merasa telanjang. Semua armor canggih dan kerahasiaan yang dia bangun runtuh hanya dengan satu panggilan itu.
"Mas?" suara Karin terdengar di telinga, memecah keheningan. "Polisi sudah di gerbang depan. Mas harus keluar sekarang. Mas Adit? Mas denger aku?"
"Aku dengar," desis Aditya. "Kita punya masalah besar, Rin."
Aditya menembakkan kabel grapple-nya dengan kasar ke langit-langit.
"Dia bukan cuma pencuri. Dia tahu siapa aku. Identitasku bocor."
Aditya melesat keluar dari gudang itu, meninggalkan TKP dengan perasaan kalah telak.
Malam ini, Senja Garda tidak hanya kehilangan targetnya. Dia kehilangan rasa amannya.
luar biasa!!!
tak kirimi☕semangat💪
💪💪💪thor
jodoh ya thor🤭
makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
💪💪💪adit
tp yakin sg bener tetep menang
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit