Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Di sisi lain rumah, Senja sedang menyelesaikan pekerjaan malamnya. Ia sedang mengedit cover album untuk seorang musisi terkenal. Namun, ia merasa ada sesuatu yang kurang pas di grading warna foto itu, terlalu kaku.
Fajar Arun, si ahli visual, mendekati monitor ibunya, membawa selembar kertas yang ia gambar. Fajar menatap foto di layar.
"Mama, warna ini... flat. Seperti tembok di old house," komentar Fajar, merujuk pada rumah Paramita yang terasa suram. "Ini harusnya lebih bright, seperti matahari pagi di balcony kita."
Senja memejamkan mata. Fajar benar. Foto itu terlalu banyak shadow dan contrast, membuatnya terlihat dingin. Ia mencoba menaikkan exposure dan menambahkan sedikit kehangatan (temperatur warna). Seketika, foto itu hidup, memancarkan kedalaman emosi yang ia cari.
Senja memeluk Fajar. "Kamu benar, Sayang. Kamu adalah asisten visual terbaikku. Matamu melihat cahaya yang tidak Mama lihat."
Cahaya Surya, si pembaca, saat itu sedang sibuk membaca sebuah buku cerita di karpet. Ia mendongak. "Papa dan Mama harus listen ke kami. Kami punya fresh eyes," katanya dengan nada fasih, lalu kembali ke bukunya.
Senja dan Damar saling pandang. Anak-anak mereka bukan hanya anak-anak yang harus diasuh; mereka adalah guru yang mengajarkan mereka untuk melihat detail dan logika yang sering terlewatkan oleh orang dewasa yang kelelahan.
Pengalaman dibantu Binar menjadi titik balik penting bagi Damar. Ia menyadari bahwa kelelahan tidak hanya merusak rumah tangganya, tetapi juga profesionalismenya.
Keesokan harinya, Damar menerapkan kebijakan kantor yang sangat ketat: No Excuses After Five. Jam lima sore, ia mematikan ponsel kantor dan mendedikasikan dirinya sepenuhnya untuk keluarga dan perpustakaan.
Sore itu, Damar mengirim email ke Risa yang isinya: "Risa, saya menghargai inisiatif Anda. Namun, jika Anda memiliki data yang mendesak setelah jam kerja, silakan kirimkan email. Tidak ada diskusi pekerjaan di luar jam kantor, di mobil, atau di area pribadi. Saya memiliki komitmen penuh terhadap keseimbangan hidup. Mohon hormati batasan tersebut."
Damar tahu Risa akan menganggap ini sebagai sikap dingin, tapi ia tidak peduli. Ia telah belajar dari kesalahan fatal di masa lalu: tidak ada uang atau proyek yang lebih berharga dari kedamaian dan keamanan keluarga.
Ia tiba di rumah, disambut Senja dan ketiga superkids-nya. Ia menghabiskan sisa malam itu mendengarkan Binar menjelaskan siklus air dan melihat Fajar menggambar robot.
Ketika Senja bertanya tentang Risa, Damar memeluknya erat. "Risa hanya mencoba mendekat, Sayang. Tapi dinding yang kau dan anak-anak bangun di sekelilingku terbuat dari baja yang ditempa oleh cinta. Tidak ada godaan double espresso yang bisa menembusnya. Aku milikmu, dan milik Tiga Cahaya."
Senja tersenyum lega. Ia tahu benteng mereka kokoh.
Pagi itu, keluarga besar Saputra mengadakan acara pertemuan tahunan yang cukup formal. Senja dan Damar membawa serta Fajar Arun, Binar Mentari, dan Cahaya Surya yang kini berusia dua tahun dan mengenakan pakaian kembar yang rapi.
Di tengah suasana yang ramai, kejeniusan si kembar mulai menjadi sorotan sekaligus pedang penghakiman.
Saat salah satu tante, yang dikenal suka bergosip, bertanya berapa usia mereka, Binar Mentari bukannya menjawab "dua," ia malah berkata, "Umur kami 24 bulan, Tante. Itu sama dengan tujuh ratus tiga puluh hari, minus lima hari untuk tahun kabisat."
Para kerabat terdiam. Lalu, saat seorang sepupu menyajikan hidangan dengan nama asing, Cahaya Surya dengan fasih menjelaskan asal-usul masakan itu dalam Bahasa Inggris.
Senja berusaha keras untuk meredakan situasi, menjelaskan bahwa mereka hanya sering mendengarkan Damar dan Binar senang berhitung. Namun, bisikan mulai menyebar di kalangan kerabat.
Bisikan Kerabat: "Anak-anaknya terlalu pintar untuk anak dua tahun. Senja pasti memaksa mereka belajar. Seperti ambisi yang tidak sehat." "Lihat saja, dia ingin membuktikan dirinya lebih baik dari ibu kandungnya sendiri."
Senja merasakan mata-mata itu menusuknya. Ia menarik Damar ke sudut ruangan. "Aku tidak suka ini, Damar. Aku takut mereka merasa tertekan."
"Jangan dengarkan mereka, Sayang. Mereka hanya iri. Kita tidak memaksa mereka. Mereka bahagia. Itu yang terpenting," ujar Damar, memeluk istrinya, namun ia tahu social pressure ini adalah tantangan baru.
Sore harinya, Damar harus menghadiri meeting penting dengan rekan bisnis dari luar perusahaan, Sofia, Direktur Utama dari perusahaan supplier material yang sangat berpengaruh. Pertemuan ini krusial bagi tender proyeknya.
Meeting berjalan lancar di ruang pertemuan kantor, namun Sofia mengundang Damar untuk melanjutkan diskusi santai di lobi hotel dekat kantor, dengan dalih merayakan kesuksesan awal negosiasi.
Sofia adalah wanita yang sangat terbuka, percaya diri, dan menarik. Ia secara eksplisit memuji Damar di luar konteks bisnis. "Damar, Anda bukan hanya pemimpin yang brilian, tapi Anda memiliki aura perlindungan keluarga yang membuat semua wanita iri pada istri Anda," katanya sambil tersenyum menawan.
Di lobi hotel yang elegan, Sofia mulai memesan minuman beralkohol, sementara Damar hanya memesan air putih karena ia harus mengemudi. Sofia terus minum hingga kondisinya terlihat sangat mabuk.
"Aku... aku tidak bisa pulang, Damar. Aku tidak bisa mengemudi. Aku tidak bisa naik taksi dalam kondisi ini," rengek Sofia, menyandarkan kepalanya di meja.
Damar, yang selalu menjunjung tinggi etika dan rasa kemanusiaan, merasa tidak tega meninggalkan seorang wanita dalam kondisi tak berdaya di lobi hotel.
"Ini hanya urusan kemanusiaan. Aku tidak akan membiarkan rekan bisnisku dalam bahaya." ucap Damar nyaris berbisik
Damar membantu Sofia berdiri. Sofia, yang sebenarnya tidak semabuk yang ia tunjukkan, sengaja menyandarkan berat tubuhnya terlalu lama pada Damar. Damar mengantar Sofia ke mobilnya dan mengantarkannya pulang ke apartemennya. Perjalanan itu canggung dan cepat. Di mobil, Damar hanya berpikir tentang meeting besok, ia sama sekali tidak menganggap insiden ini penting.
Damar tiba di rumah pada pukul delapan malam. Ia melepas jasnya, berniat langsung mencari Senja dan menceritakan insiden canggung dengan Sofia. Ia tidak ingin ada hal kecil pun yang menjadi rahasia antara mereka.
Senja, yang sedang menunggu Damar di dapur, mencium aroma yang menyengat saat Damar melewatinya seperti aroma parfum mahal yang asing dan sangat kuat, bukan aroma khas kantor atau sabunnya.
Senja berusaha menekan insecurity yang tiba-tiba muncul. Ia memejamkan mata, mengingatkan dirinya bahwa Damar adalah Suaminya.
"Damar, baumu aneh. Itu parfum siapa?" tanya Senja, suaranya sedikit tegang.
Damar berhenti, baru akan menjelaskan. "Oh, itu... tadi ada meeting dengan rekan bisnis..."
Kriing! Kriing!
Tiba-tiba, telepon rumah berdering nyaring. Itu adalah suara pengasuh yang panik. "Nyonya, Tuan! Fajar, Binar, dan Cahaya demam tinggi sekali! Mereka menggigil!"
Segera, semua fokus Damar dan Senja beralih dari aroma parfum ke krisis anak-anak. Damar dan Senja berlari ke kamar, mendapati ketiga anak mereka menggigil hebat, dengan suhu tubuh mencapai 39.5°C.
"Rumah sakit sekarang, Senja! Aku tidak suka ini!" perintah Damar panik.
Damar segera mengambil kunci mobil, sementara Senja mengambil tas berisi pakaian ganti. Dalam kekacauan itu, percakapan tentang Sofia dan aroma parfum terlupakan sepenuhnya. Kepanikan karena demam tinggi si kembar menelan semua hal kecil lainnya.
Setibanya di rumah sakit, perawat segera mengambil sampel darah. Beberapa jam yang menegangkan berlalu. Dokter kemudian mengonfirmasi diagnosis yang Damar dan Senja takuti: Demam Berdarah Dengue (DBD). Si kembar harus dirawat inap segera.
Ruang rawat inap diisi oleh tiga ranjang bayi yang berjejer. Damar dan Senja bergantian menjaga ketiganya, memantau infus dan mencoba membuat mereka nyaman. Melihat Fajar, Binar, dan Cahaya terbaring lemah, Senja hanya bisa menangis.
"Ini semua salahku. Aku terlalu fokus pada studioku, aku kurang memperhatikan kebersihan rumah," isak Senja.
"Jangan menyalahkan diri sendiri! Ini bukan salah siapa-siapa. Kita harus kuat demi mereka!" Damar memeluk Senja, memberikan kekuatan.
Selama empat hari di rumah sakit, mereka tidak memiliki waktu sedetik pun untuk memikirkan hal lain selain tetesan infus dan kadar trombosit. Senja, yang duduk di samping ranjang Cahaya, sesekali mencium jas Damar yang masih tergantung di dekatnya. Aroma parfum Sofia masih samar tercium.
"Siapa dia? Kenapa Damar tidak cerita?" pikiran Senja sedikit kalut dan cukup mengganggu konsentrasinya.
Namun, setiap kali pertanyaan itu muncul, Cahaya akan menangis atau Fajar membutuhkan selimut. Senja segera mengenyahkan pikiran itu. Prioritas. Anak-anak yang lebih penting. Aku akan tanyakan nanti, setelah mereka sembuh.
Damar, di sisi lain, benar-benar melupakan insiden Sofia. Kekhawatiran akan kehilangan anak-anaknya menenggelamkan ingatan akan insiden sepele di hotel. Jebakan Sofia berhasil niat baik Damar kini akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja di tangan kecurigaan Senja.
apakah mungkin dengan tambahan sedikit bubuk mesiu serta sedikit percikan api akan membakar hangus kisah manis antara Senja dan Damar?.
Semua ini hanya tentang waktu entah mana yang akan lebih cepat, apakah kejujuran Damar mengenai Sofia, atau mungkin malah jebakan Sofia yang akan sampai lebih dulu ke telinga Senja?
jeng jeng jengggg......
duhh deg degan.....