NovelToon NovelToon
Garis Darah Pemburu Iblis

Garis Darah Pemburu Iblis

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Cinta Terlarang / Iblis / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:493
Nilai: 5
Nama Author: Aria Monteza

Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23. Jejak di Balik Ciuman

Cahaya matahari sore menyinari hamparan perbukitan yang terhampar luas bak permadani hijau. Di puncaknya, berdiri sebuah mansion megah berarsitektur victoria yang menjulang gagah, dengan menara-menara batu pualam yang dipoles, jendela kaca berukir simbol kuno, dan taman bergaya klasik yang tertata sempurna. Mansion itu adalah mansion milik Damian.

Para Ksatria Cahaya yang datang dalam rombongan tak bisa menyembunyikan decak kagum mereka saat kereta kuda yang mereka tumpangi berhenti di halaman utama. Burung-burung hitam bertengger di gerbang besi yang terbuka, seolah ikut menyambut para Ksatria Cahaya.

“Tempat ini, luar biasa,” gumam salah satu gadis ksatria dengan mata berbinar.

“Dia pasti sangat kaya dan tampan,” bisik gadis lainnya sambil tersipu melihat Damian berdiri di teras utama, menyambut rombongan dengan senyum ramah dan aura menghipnotis yang tak bisa diabaikan.

Damian berdiri mengenakan mantel gelap dengan bordir perak yang membentuk lambang naga. Di sampingnya berdiri beberapa pengurus mansion, mengenakan pakaian formal dan bersikap penuh sopan santun saat menyambut para tamu.

“Selamat datang di tempat kecilku,” kata Damian dengan anggukan hangat. “Kalian semua adalah tamu kehormatanku. Silakan menikmati suasana malam ini. Besok pagi, kita akan mengadakan acara berburu yang sedikit berbeda dari yang biasa kalian alami.”

Suara tawa kecil dan bisik-bisik menggema di antara para ksatria muda, terutama para gadis yang tampak terpikat oleh cara bicara dan sorot mata Damian. Mereka bahkan tidak menyembunyikan rasa iri saat melihat Damian sesekali menoleh pada Kate dengan senyum pribadi yang hanya ia miliki untuk satu orang.

Kate sendiri tetap diam. Pandangannya menelusuri mansion megah itu, dadanya terasa sesak oleh firasat yang tak bisa ia abaikan. Bukan karena kekaguman, tetapi perasaan de javu yang seperti bernafas di setiap dinding tempat ini.

Setelah jamuan penyambutan singkat di aula utama yang dipenuhi lukisan misterius dan hiasan bergaya victoria, para tamu dipersilakan menuju kamar-kamar mereka yang telah disiapkan.

“Setiap kelompok akan tinggal bersama sesuai tim misi masing-masing,” ucap salah satu pengurus mansion. “Kami mohon untuk menjaga ketenangan malam ini. Acara utama dimulai esok fajar.”

Kate menunggu namanya dipanggil bersama kelompoknya, tetapi ia tidak termasuk dalam daftar mana pun. Salah satu pelayan wanita berwajah pucat kemudian mendekat dengan suara lembut.

“Nona Kate, kamar Anda terletak di menara timur. Lord Damian mengaturkannya secara pribadi. Silakan ikuti saya.”

Beberapa kepala menoleh. Salah satu gadis berbisik sinis, “Lord Damian memberikan kamar khusus hanya untuknya. Apa tidak salah?”

“Beruntung sekali dia,” bisik yang lain, dengan nada yang menyembunyikan kecemburuan.

Tanpa menghiraukan cibiran sinis yang terlontar di belakangnya. Kate berjalan mengikuti sang pelayan menyusuri lorong marmer panjang yang sunyi. Mereka menaiki tangga spiral menuju lantai tertinggi menara timur. Setiap langkah diiringi gema yang seolah memperdengarkan detak jantung Kate sendiri.

Sesampainya di kamar, pelayan membungkuk. “Lord Damian akan mengantar makan malam secara pribadi. Ia bilang Anda mungkin tidak nyaman makan bersama yang lain.”

Kate hanya mengangguk singkat dan masuk ke dalam. Kamar itu bukan sekadar kamar. Ruangan luas dengan langit-langit tinggi berlapis lukisan langit malam Nether, perapian batu hitam menyala hangat, dan jendela kaca besar yang menghadap langsung ke lembah. Di atas meja ukiran marmer, terhampar setangkai bunga merah gelap yang hanya tumbuh di tanah Nether. Bunga itu adalah serevana, bunga api malam.

Kate menatap ruangan itu dengan campuran rasa tak percaya dan ketidak nyamanan. Ia bisa merasakan aroma sihir yang terjaga di setiap sudut ruangan ini. Terlalu banyak kenangan, dan terlalu banyak simbol.

Sambil duduk di tepi tempat tidur, Kate menggenggam liontin kecil di lehernya. Ia tahu malam ini akan panjang dan ia tahu Damian tak akan membiarkannya berlalu begitu saja.

***

Udara malam di menara timur membawa aroma rempah dan bunga api malam yang menggantung di vas kristal. Api perapian menari tenang, melemparkan bayangan ke dinding batu yang sunyi. Di meja makan kecil yang ditata dengan rapi, dua piring perak belum tersentuh. Lilin-lilin sihir bergetar lembut, seolah ikut menahan napas melihat percakapan dua jiwa yang terikat masa lalu.

Damian berdiri di ambang jendela, tangan satu di belakang punggung, memandangi langit berbintang yang terasa asing. Suaranya pelan, tetapi menggema. 

“Kau selalu menyukai tempat tinggi. Aku ingat itu,” ucap Damian memecah keheningan.

Kate duduk di kursinya, membisu. Matanya tajam dengan sorot sedikit lelah. Ia telah memutar ribuan kemungkinan sejak langkah Damian menjejakkan kaki di Ceaseton. Namun tidak satu pun menyiapkan hatinya untuk ini. Untuk jarak yang begitu dekat, untuk malam yang terasa seperti bagian dari masa lalu yang belum selesai.

“Aku tidak datang untuk makan malam, Damian,” gumam Kate akhirnya.

Damian menoleh. “Aku tahu, tetapi sebagai suami yang baik. Aku akan menyiapkan yang terbaik untukmu,” rayunya

“Kau bukan suamiku, aku tidak akan pernah mengakui pernikahan itu,” ucap Kate geram.

“Sayangnya kau tidak punya pilihan.” Damian tersenyum dan berjalan mendekati Kate. “Ikatan suci itu sudah sah dan abadi selamanya,” lanjutnya penuh kemenangan.

“Kau menculikku, menghancurkan Arcaneku dan membunuh kekasihku. Aku membencimu! Kau harus membayar semua itu.”

Kate mencabut belati kecil yang tersembunyi di balik ikat pinggangnya. Gerakannya cepat, penuh kemarahan. Namun belum sempat bilahnya mendekat, belati itu lenyap dalam semburat hitam yang menguap di udara. Membuat tubuh Kate menubruk Damian.

“Bencilah aku semaumu, tetapi itu tetap tidak mengubah apapun,” ucap Damian tersenyum lebar.

Kate menggigit bibir mencoba mendorongnya, tetapi Damian lebih dulu memeluknya hangat dan membakar dari dalam. Tatapan mereka bertemu. Mata Kate masih mengandung luka, tapi juga keraguan yang terpancar di baliknya. Damian menyentuh pipinya, dan dengan kelembutan yang tak terduga mencium keningnya.

“Kaulah satu-satunya alasan aku tetap bertahan di antara dua dunia,” bisik Damian. “Kaulah istri yang kunanti setiap kelahirannya.”

Kate terdiam, tangannya melemas dalam pelukan Damian. Di antara kecamuk rasa benci dan de javu yang membuatnya merasa sangat dekat dengan Damian. Ia tidak lagi yakin mana yang benar dan mana yang hanya bayang-bayang.

Saat bibir Damian menyentuh miliknya, Kate tidak menolak. Ada sesuatu dalam sentuhan itu yang membawa dirinya seolah kembali ke suatu waktu di mana ia sangat dekat dengan Damian. Kedekatan yang membuatnya menggigil saat merasakannya.

Damian menuntunnya perlahan ke sisi ranjang tanpa ada paksaan dalam gerakannya. Hanya kelembutan, dan keheningan yang berbicara lebih keras dari kata-kata. Di dalam pelukan Damian malam itu, Kate tidak menangis. Ia hanya menggenggam erat mantel pria itu, tubuhnya bergetar ringan saat energi asing menyelinap ke dalam jiwanya seperti saat malam pernikahan itu.

Namun kali kini terasa berbeda. Gelombangnya tidak lagi mencabik, hanya mengguncang perlahan seperti ombak pada batu karang. Tubuh Kate merespons dengan kegelisahan aneh, antara perlawanan dan penerimaan, antara rindu dan luka yang belum sembuh.

Kate mendesah pelan, matanya terpejam, dadanya naik turun tak menentu. “Damian... apa yang kau lakukan padaku?”

Damian mencium keningnya, dan menjawab dengan suara berat. “Aku mengembalikan yang seharusnya tak pernah hilang. Kekuatanmu, hatimu, dan tempatmu di sisiku.”

"Cobalah merasakannya," bisik Damian, nyaring hanya bagi dua jiwa yang terikat oleh takdir yang terjalin ulang. 

Suara itu mengalun bagai mantra, menembus keheningan dan membuai kesadaran Kate, dan ia pun merasakannya.

Sebuah getar asing sekaligus familiar menguar dari dalam dirinya. Aliran Arcane miliknya kini terasa meningkat. Tidak seperti dahulu kala, ketika kekuatannya mekar liar dan tak terkendali, kini benih itu merekah perlahan. Lembut namun tegas. Rapuh sekaligus menjanjikan kedahsyatan yang belum tersingkap.

Damian mengeratkan pelukannya, seolah takut kekuatan itu akan terlepas sebelum waktunya. Tatapan matanya mengandung kehangatan, sekaligus rasa puas yang tak ia sembunyikan.

"Kau merasakannya, bukan?" ucap Damian lirih, membelai helai rambut Kate dengan kelembutan yang nyaris menyakitkan. "Arcanemu telah mencapai tahap Inti Emas."

Kate menatapnya, matanya sayu namun bersinar. Ada rasa tak percaya yang terselip di sana, dan juga kerinduan yang menahun terhadap kekuatan yang sempat hilang.

"Tapi ini berbeda…" gumam Kate.

Damian mengangguk pelan. "Benar. Ini bukan Arcane yang dulu kau miliki. Ini sesuatu yang lebih murni, lebih liar. Meski masih Inti Emas, kekuatanmu kini telah setara dengan tingkatan Sayap Rohani bagi manusia biasa. Kau harus berhati-hati, Kate. Dalam satu luapan emosi, kau bisa mengguncang langit, atau bahkan menghancurkan dunia yang tak kau kehendaki."

Suasana kembali menjadi hening. Di antara desiran angin malam yang membawa harum bunga liar, mereka diam. Namun dalam diam itu, dua kekuatan saling menyapa dan mengakui. Damian membungkuk, menempelkan keningnya pada kening sang istri. Ada pengakuan di sana, bukan hanya akan kekuatan yang kembali, melainkan tentang cinta yang tumbuh di balik dendam dan luka lama.

Kate mengatupkan mata. Dalam kegelapan matanya, ia melihat cahaya. Cahaya yang bukan berasal dari dunia luar, melainkan dari dalam dirinya sendiri. Cahaya yang pernah padam, kini kembali menyala. Lembut dan mengakar.

***

Pagi belum sepenuhnya menyingsing ketika embun mulai menempel pada jendela-jendela kaca panjang di menara timur. Api perapian telah padam, tetapi kehangatan masih tersisa di udara. Bukan dari bara, melainkan dari dua jiwa yang saling terikat dalam pelukan diam-diam.

Kate terbaring dalam keheningan yang pekat, tubuhnya bersandar pada dada Damian yang bernafas tenang. Tangan pria itu melingkari pinggangnya, hangat dan kokoh, seolah ingin menjaga agar waktu tak mencuri momen itu.

Di dalam keheningan itu pula, badai berputar dalam benak Kate.

“Mengapa aku tidak membencinya?” pikir Kate, menggenggam erat kain seprai beludru hitam yang membungkus mereka.

Ia mencoba mengingat kebencian itu. Amarah yang pernah membakar dadanya ketika pertama kali Damian menculiknya ke Nether, mempertemukannya dengan kegelapan, lalu menghancurkan arcane murninya tanpa ampun. Mengubahnya bukan lagi Kate sang calon pelindung Overworld melainkan menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang bahkan ia sendiri tak sepenuhnya pahami.

Dan pernikahan yang tidak pernah ia inginkan, yang terjadi dalam tekanan dan kekacauan, ketika Damian menyebutnya sebagai pengikat takdir, istri yang telah diramalkan. Lalu hadiah mengerikan itu, saat Damian melepas Cerberus ke Overworld sebagai bagian dari permainan kekuasaan, mengakibatkan kehancuran dan kematian Jade.

Jade. Nama itu menghantam dadanya seperti angin musim dingin.

Kate menggigit bibir. Rasa bersalah dan kehilangan itu masih menusuk, yang bersanding aneh dengan perasaan hangat yang membingungkan saat tubuhnya tersentuh oleh Damian. Setiap kata lembut, setiap kecupan ringan yang diberikan pria itu semalam perlahan mengikis kebencian yang dulu begitu kuat. Kini hanya keraguan yang tertinggal dan sesuatu yang lebih sulit ia akui.

Di sisi lain, Damian yang telah lama terjaga. Merasakan perubahan nafas Kate. Ia tak membuka mata, hanya menundukkan wajahnya dan mengecup pelan bahu istrinya itu.

“Kau gelisah,” bisik Damian, suaranya berat namun lembut, seolah menusuk langsung ke jantung Kate.

Kate menahan desah. “Kau tahu alasannya.”

Damian mengangguk tidak membantah. Ia tahu dan ia tak pernah menghindari dosa-dosanya. Namun tangan pria itu justru membelai lembut rambut Kate, menyusuri helaian keperakan itu seakan menghapus kenangan pahit dengan sentuhan.

“Aku tak meminta kau memaafkan segalanya, Kate,” ujar Damian perlahan. “Tapi aku ingin kau tahu, takdir kita sudah tertulis di alam abadi.”

Kate memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Lalu kau merasa berhak menghancurkan apa yang kumiliki?”

Damian tidak menjawab. Ia hanya memeluk Kate lebih erat, lalu mulai mencium pelipisnya, kelopak matanya, ujung hidungnya, dan akhirnya bibirnya. Bukan dengan gairah, tapi dengan penghambaan yang dalam.

“Yang kulakukan itu karena aku mencintaimu sepenuhnya. Sekarang, setiap harinya, hingga waktu berhenti,” bisik Damian.

“Jangan mempermainkan kata-kata, Damian.”

“Aku tidak sedang bermain, istriku.” Damian menyentuh dada kirinya, tempat jantungnya berdetak perlahan. “Namamu tertulis di jiwaku sejak sebelum kita bertemu di dunia ini. Dan takdir kita, Kate. Telah ditulis dalam darah dan bintang sebagai pasangan abadi.”

Kate ingin mengingkarinya. Ingin melontarkan cercaan, melawan manisnya kata-kata itu.

Tapi tubuh dan jiwanya telah terlalu lama mendambakan kedamaian seperti ini. Dengan pelan, ia menyandarkan kepalanya di dada Damian, membiarkan dirinya sekali lagi terbuai dalam pelukan yang semestinya ia benci. Kini ia tahu, kebencian itu telah runtuh. Meski tak sepenuhnya lenyap, tetapi tak lagi menjadi rantai yang membelenggu.

***

Matahari baru saja memanjat puncak bukit, menghamparkan sinar lembut ke atas taman dan balkon-balkon mansion Damian. Suara burung-burung eksotis berkicau pelan, berpadu dengan aroma roti panggang hangat dan rempah-rempah yang menguar dari ruang makan utama.

Kate melangkah pelan melewati koridor berhias sulur emas dan karpet panjang warna gading. Gaun sederhana berwarna pucat membalut tubuhnya. Pakaian yang telah disiapkan pelayan pagi-pagi sekali, tampaknya khusus untuknya.

Setibanya di ruang makan, langkahnya sempat terhenti. Damian sudah ada di sana. Ia duduk di kursi utama dekat jendela besar, di mana cahaya matahari memantul pada rambut hitam legamnya yang tersisir rapi. Jubahnya kali ini berwarna kelam dengan bordir perak, mencolok sekaligus anggun. Saat melihat Kate, ia bangkit sedikit dan memberikan senyum. Sebuah senyuman yang membuat dada Kate berdenyut tak karuan.

Seorang pelayan segera menghampiri. “Nona Kate, mohon duduk di sini,” ucapnya, menunjuk kursi tepat di sebelah Damian.

Kate sempat mengerutkan kening. “Apakah tidak ada tempat lain?”

Namun pelayan itu hanya menunduk sopan. “Tuan Damian memintanya secara khusus.”

Kate menghela napas pelan, lalu berjalan menuju tempat duduk itu. Tatapan dari beberapa gadis ksatria cahaya mengikutinya, sebagian berselimut kekaguman, sebagian lagi menyiratkan rasa tak suka yang kian sulit disembunyikan.

Begitu duduk, Damian segera menyodorkan piring berisi potongan buah dan roti lapis. “Kau terlalu kurus. Kalau kau terus begini, aku takut tak sengaja mematahkan tulangmu saat kita bercinta,” bisiknya dengan nada menggoda.

Kate menatapnya dengan sinis meski wajahnya merona, lalu mengambil potongan roti itu. “Kalau aku mati tersedak, salahkan dirimu sendiri.”

“Tentu itu tidak akan terjadi, aku akan menghidupkanmu lagi. Dengan ciuman, kalau perlu,” ucap Damian santai, membuat Kate nyaris tersedak beneran.

Di seberang meja, Orion baru saja duduk bersama kelompoknya. Tatapannya tertumbuk pada interaksi Damian dan Kate, rahangnya menegang. Tangannya meremas sendok perak, dan napasnya tertahan ketika Damian dengan santainya memotongkan daging untuk Kate dan menyuapkannya.

Kate memalingkan wajah, bukan karena malu, tapi karena takut pipinya makin memanas. “Berhenti mempermalukanku di depan semua orang, Damian.”

“Aku tidak mempermalukan, aku memanjakanmu. Dua hal yang sangat berbeda, istriku.”

Kate memutar bola matanya, berusaha mengabaikan degup jantungnya yang tidak karuan.

Suasana meja perlahan ramai. Tawa para ksatria cahaya mulai mengisi ruangan. Namun bisik-bisik para gadis mulai terdengar jelas. Beberapa mencibir halus, yang lain sekadar menatap iri sambil mengerling Kate dari ujung mata.

“Aku kira bangsawan seperti Tuan Damian tidak memiliki selera pada gadis keras kepala,” celetuk salah satu gadis, yang terdengar jelas di telinga Kate.

“Justru karena keras kepala itu menarik. Tidak mudah didapat, maka lebih layak diperjuangkan,” jawab Damian dengan nada ringan, tetapi menyelipkan ketegasan yang menusuk balik.

Kate menoleh tajam, lalu menatap Damian seolah berkata, “Berhenti membuat semuanya lebih buruk.”

Damian hanya mengangkat bahu sambil menuangkan teh ke cangkir Kate, lalu menyesap cangkirnya sendiri dengan santai. “Orion menatap kita sejak tadi. Kau sebaiknya menyapanya, sebelum dia meledak seperti naga kelaparan.”

Kate akhirnya menoleh dan mendapati Orion memang menatap tajam ke arahnya. Ada kekacauan yang tak diucapkan di balik matanya. Kate membuka mulut hendak menyapanya, namun Damian dengan sangat alami menyentuh tangannya di atas meja.

“Tak usah berpura-pura, Kate. Kau tahu ke mana hatimu akan pulang.”

Kate mendesah keras, mengabaikan semua tatapan, semua bisik-bisik, dan bahkan gejolak di dalam dadanya sendiri. Ia menarik tangannya pelan, mencoba memulihkan kendali atas dirinya. Namun satu hal tak bisa ia sangkal, kehadiran Damian telah mengubah segalanya. Mungkin dirinya juga perlahan berubah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!