Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Blueprint Masa Depan
Harry Subrata tertegun lama.
Anak muda zaman sekarang bisa sekeren ini? Proposal setebal itu berisi teknologi inti yang dijelaskan dengan detail luar biasa. Bahkan dengan kemampuan teknologi saat ini, konsep seperti itu masih mustahil dicapai.
Banyak perusahaan game di pasaran mengaku sudah full AI, padahal nyatanya itu cuma tampilan luar belaka.
Harry menutup proposal itu pelan, menatap gadis di depannya. “Nona Shinta, kamu nggak takut kalau aku menyebarkan teknologi ini?”
Shinta Bagaskara tersenyum tipis. “Pak Harry, kalau Bapak tipe orang seperti itu, aku nggak akan datang ke sini.”
Nada bicaranya lembut tapi tegas. Shinta bukan orang yang sembarangan mempercayakan sesuatu. Ia tidak akan menyerahkan proyek penting kepada orang yang integritasnya diragukan—tak peduli seberapa berbakat orang itu.
Justru, orang dengan kemampuan besar tapi moral rendah bisa jadi bencana.
Harry Subrata menarik napas panjang. Semakin lama ia berbicara dengan Shinta, semakin besar rasa hormatnya.
Kecerdasan dan kedewasaan gadis itu jauh di atas usianya. Kalau sampai ia memilih Harry untuk bekerja sama, pasti sudah meneliti latar belakangnya dulu. Pikiran itu membuat Harry merasa lega sekaligus kagum.
“Aku harus ngapain, Nona Shinta?” tanyanya akhirnya.
“Aku ingin mendirikan perusahaan game,” jawab Shinta. “Aku butuh bantuan Bapak buat mengelola perusahaan itu. Aku ingin Bapak jadi manajernya.”
Nada suaranya tenang, tapi matanya menyala penuh keyakinan.
Di kehidupan sebelumnya, keluarga Bagaskara punya banyak bisnis, tapi tidak ada satu pun yang menyentuh industri game. Padahal, dunia game bisa jadi tambang emas. Dengan riset teknologi kecerdasan buatan yang pernah ia kembangkan, Shinta tahu, ini jalan tercepat untuk membangun kekuatan finansial sendiri.
Harry sempat ingin mengangguk, tapi wajahnya mendadak suram.
“Nona Shinta... Deni Suteja nggak bakal tinggal diam,” ucapnya pelan. “Kalau dia tahu aku kerja di perusahaanmu, dia pasti akan cari gara-gara. Aku nggak mau kamu ikut kena imbas. Mungkin lebih baik kamu cari orang lain.”
Suaranya berat. Ini kesempatan emas, tapi rasa takutnya membuat ia ragu. Ia tak ingin menyeret Shinta ke dalam masalah.
Namun Shinta hanya menatapnya dengan tenang. “Pak Deni memang punya pengaruh besar, tapi jangan khawatir. Aku tahu caranya menghadapi orang seperti dia.”
Kata-kata itu begitu yakin, tenang, dan penuh kendali.
Harry menatap gadis itu lama. Ada sesuatu dalam diri Shinta—sesuatu yang membuatnya percaya. Matanya mulai berair, dada terasa sesak oleh haru.
Sejak kebangkrutannya, ini pertama kalinya ada orang yang tidak memandangnya rendah.
Ia mengepalkan tangan, lalu berkata dengan penuh semangat, “Nona Shinta, saya janji akan mengelola perusahaan ini sebaik mungkin. Saya akan bikin perusahaan ini besar dan kuat!”
Shinta tersenyum samar, tapi sorot matanya lembut. “Sekarang aku belum genap delapan belas tahun, jadi untuk sementara perusahaan akan aku daftarkan atas nama Bapak. Urus saja pendaftaran dan rekrut karyawan umum. Nanti aku rekrut sendiri orang-orang teknisnya. Uang modal akan aku transfer seminggu lagi.”
Ia mendorong sebuah berkas kontrak kerja sama ke hadapan Harry.
Harry membaca sekilas, lalu menandatanganinya tanpa ragu sedikit pun.
Shinta berdiri dan mengulurkan tangan. “Pak Harry, senang bekerja sama dengan Anda.”
Harry membalas jabat tangan itu, suaranya bergetar, “Bos Shinta, senang bekerja sama.”
Saat Shinta melangkah pergi, Harry masih terpaku di kursinya. Rasanya seperti baru saja terbangun dari mimpi.
Dari keputusasaan menuju harapan dalam sekejap mata.
Ia memandangi kontrak itu, menggenggamnya erat, menahan air mata yang nyaris jatuh. Untuk pertama kalinya setelah lama tenggelam, ada cahaya yang menuntunnya keluar dari gelap.
Meski Shinta masih muda, bahkan belum genap delapan belas tahun, dan risikonya besar sekali—Harry yakin, gadis ini bukan orang biasa.
Apapun hasilnya nanti, kali ini ia siap bertaruh.
---
Beberapa hari berikutnya, Shinta Bagaskara sibuk luar biasa.
Ia mengerjakan proyek memperkuat dan membangun sistem keamanan untuk berbagai klien. Reputasinya sebagai peretas jenius makin tersebar. Orang-orang mulai merekomendasikan jasanya dari mulut ke mulut.
Dalam tiga hari saja, sudah lebih dari sepuluh orang menghubunginya, dan tujuh di antaranya langsung memesan jasanya.
Pagi, siang, malam—hidup Shinta kini hanya berputar di sekitar laptop.
Di rumah, Haryo Bagaskara sudah lama kesal padanya. Melihat putrinya itu tetap santai dan tidak mau mendengar omelannya, membuatnya semakin marah. Tapi sekeras apa pun dimarahi, Shinta tetap diam, tak bereaksi.
Lama-lama, Haryo pun menyerah.
Sementara itu, Laraswati dan Dira sering tertawa ceria di ruang makan, sementara Shinta duduk sendirian di ujung meja. Bahkan pelayan keluarga pun diam-diam menertawakannya di belakang.
Bagi mereka, Shinta hanyalah anak kampung yang tidak pantas menyandang nama besar keluarga Bagaskara.
Berbeda dengan Dira, yang anggun dan pandai mengambil hati orang-orang kelas atas.
Namun Shinta tidak peduli. Ia punya rencana sendiri. Ia sibuk—terlalu sibuk untuk mengurus siapa yang meremehkannya.
Dalam beberapa hari, hasil kerja dari proyek sistem keamanan plus penghasilan sebelumnya dari Black Empire sudah mencapai lebih dari sepuluh miliar rupiah.
---
Hari itu, saham perusahaan Subrata Innovations akhirnya resmi IPO di Bursa Efek. Shinta datang langsung ke bursa, duduk di kursi pengunjung dengan ekspresi tenang.
Di sekitarnya, para investor tampak gelisah. Mereka menunggu sejak pagi untuk menjual saham sebelum nilainya anjlok.
Dan benar saja—begitu pasar dibuka, harga saham itu langsung terjun bebas. Tak ada satu pun pembeli. Suasana bursa mendadak tegang.
Sementara orang-orang panik, Shinta justru tampak rileks. Ia menatap layar ponselnya, kadang menengadah melihat pergerakan harga di papan digital. Cahaya dari layar memantul di wajahnya, menegaskan ketenangan yang tak biasa.
Beberapa investor di dekatnya saling melirik. Melihat gadis muda itu bisa setenang itu di tengah kepanikan, mereka sedikit malu sendiri.
“Kalau anak sekecil itu aja santai, kenapa kita panik?” bisik salah satu dari mereka.
Suasana di sekitar Shinta perlahan berubah. Para investor mulai menenangkan diri, mencoba mengikuti ritmenya.
Menjelang siang, grafik saham yang terus menurun akhirnya mulai menunjukkan tanda-tanda stabil.
Shinta menegakkan punggungnya, menggerakkan mouse, dan mulai membeli saham dalam jumlah besar.
Agar tak menarik perhatian, ia memakai beberapa akun berbeda dan membeli secara bertahap. Gerakannya tenang, hati-hati.
Seorang pria di sebelahnya melirik layar monitor Shinta. Matanya membulat.
“Dua ratus lima puluh juta?!”
Melihat gadis itu membeli hampir satu juta lembar saham sekaligus, pria itu hampir terlonjak dari kursinya.
Ia buru-buru menunduk, lalu berbisik panik, “Dik, jangan beli saham itu. Perusahaannya lagi kena masalah, bisa bangkrut kapan aja. Duitmu bisa hilang semua!”
Tapi Shinta hanya diam. Jari-jarinya terus bergerak di atas mouse. Ia membeli lagi—dua ratus lima puluh juta.
Pria itu menepuk dadanya sendiri. “Astaga, dari mana datangnya anak seboros ini…”
Bisik-bisik di sekitar mulai bermunculan.
“Pasti anak orang kaya, seenaknya buang uang.”
“Mungkin uang warisan, nggak peduli ruginya berapa.”
Di bursa sebesar itu, pembelian setengah miliar dalam sehari bukan hal kecil. Hanya segelintir investor besar yang bisa melakukannya.
Namun Shinta tidak tampak seperti orang yang sembrono. Ia bersandar santai, menatap layar dengan pandangan penuh keyakinan.
“Saham ini akan naik,” katanya pelan, tapi tegas.
Kalimat sederhana itu membuat beberapa orang di sekitarnya ikut menoleh.
Mereka tidak tahu, gadis muda itu bukan asal bicara, ia sedang menulis babak baru dalam hidupnya.