Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.
mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24
Naira sejak tadi menunduk, tak banyak bicara. Hanya menjawab pertanyaan Fadli seperlunya. Hingga segelas minuman hangat disajikan di
depannya, membuat gadis itu menoleh.
"Bagaimana kondisi mamamu? Apa sudah baikan?" Fadli memulai pembicaraan sembari menunggu semua pesanan datang.
Naira menggeleng seraya menerbitkan senyum tipis. "
baru saja meninggal. Dua hari yang lalu." Mendengar jawaban lirih Naira, membuat Fadli merasa tidak enak. Dia kemudian buru-buru
mengalihkan pembicaraan.
"Maaf, aku turut berduka cita. Lalu, bagaimana denganmu? Bukankah kamu hanya tinggal berdua
dengan mamamu?"
Paling tidak itulah yang diingat oleh Fadli saat
pertama kali mereka bertemu. Walaupun saat itu Naira berat sekali mengakui, seakan-akan tidak mau orang lain mengetahui tentang kehidupannya. Namun, beberapa informasi didapatkan oleh Fadli
meskipun sedikit.
"Iya." Naira kembali tersenyum. Senyuman
yang dipaksakan tentunya.
"Ya, begitulah!"
"Terus pendidikanmu? Kehidupanmu selanjutnya?"
Naira hanya diam. Walaupun sebelumnya mama Artha mengatakan akan mengurus semua kebutuhannya, menggantikan mamanya yang sudah tiada, tetapi tetap saja Naira tak terlalu ingin menggantungkan diri. Dia tidak enak jika menuntut semua itu dari orang lain. Apalagi hubungannya dengan Artha tidak seperti kebanyakan suami-istri pada umumnya.
"Saya tetap sekolah." Rambut yang tergerai itu tertiup angin hingga menutupi wajahnya, membuat Naira menyelipkan pada belakang telinga.
"Apa pun yang terjadi."
"Kamu masih menyimpan kartu namaku?" Fadli menekuk kedua tangan, menopang dagu di atas meja. Tatapannya diarahkan sepenuhnya ke
arah Naira.
Naira mengangguk.
"Heem, iya."
"Hubungi aku jika kamu membutuhkan sesuatu."
Perkataan Fady tentu membuat Naira terkejut. Apakah wajahnya terlalu menyedihkan sehingga
semua orang merasa kasihan terhadapnya?
"Tapi mengapa?" tanya Naira kemudian, masih belum sepenuhnya menangkap maksud perkataan lelaki itu.
"Tidak ada. Aku hanya merasa ingin membantumu." Fadli tersenyum. Sebuah senyuman menawan bagi seorang pria dewasa.
"Apa wajah saya terlihat sangat menyedihkan?"
Perkataan Naira membuat Fadli tertawa. Apalagi saat mengatakannya ekspresi Naira datar dan seakan benar-benar ingin tahu.
"Kamu lucu. Itu saja."
Hanya senyuman tipis yang Naira tunjukkan. Gadis itu bingung letak lucunya di mana, tetapi dia tak terlalu ambil pusing akan apa yang Fadli katakan.
"Ini terlalu banyak. Bukannya tadi saya hanya menemani Om makan malam?"
Naira mengangkat kantung plastik yang berisi berbagai macam camilan khas street food. Dia tak
menyangka bakal membawa makanan sebanyak ini. Fadli sengaja membeli semua itu. Awalnya hanya agar mereka agak lamaan berdua, tetapi
malah kebablasan.
Dia terkekeh melihat ekspresi bingung Naira.
"Kata penjualnya masih bisa dimakan besok jika tidak habis. Kamu bisa menyimpannya di dalam
lemari es, dan memanaskan kembali esoknya."
"Tapi ... ini berlebihan."
"Kamu bisa membagikan ke tetangga. Apa
masih ingin jalan-jalan lagi?" Fadli menawarkan.
Naira menggeleng begitu mendengar tawaran
tersebut.
"Pulang saja. Ini sudah terlalu malam."
"Baiklah. Kita langsung ke rumahmu."
Selama perjalanan, tiada lagi obrolan. Naira sebenarnya juga membatasi diri, tak ingin terlalu akrab dengan pria yang baru dikenalnya. Apalagi
diakui atau tidak, dia adalah seorang istri.
Sementara Fadli beberapa kali menatap ke samping, melihat gadis yang dirasa tak terlalu
tertarik padanya. Apalagi panggilan Naira kepadanya menunjukkan perbedaan usia yang terlalu banyak. Padahal usianya juga baru dua puluh tujuh tahun. Tidak terlalu tua. Hanya sudah dewasa dan tentunya sudah pantas berumah tangga.
Mengingat setiap perempuan yang dekat dengannya, bahkan sengaja menarik perhatiannya tak ada satu pun yang membuatnya jatuh cinta sehingga dia memilih melajang hingga kini. Namun, saat pertama kali bertemu dengan Naira, dia merasa gadis itu berbeda.
Tanpa terasa meskipun hanya kebungkaman yang sejak tadi menemani, mobil sudah berada di gang masuk rumah Naira. Seperti biasa, Naira selalu menolak ketika Fadli menawarkan untuk mengantar sampai depan rumahnya. Dia selalu beranjak dari tempatnya berdiri setelah mobil Fadli pergi menjauh.
"Terima kasih atas semuanya," kata Naira seraya mengangguk pada Fadli yang menurunkan kaca mobilnya. Dia beranjak masuk setelah melihat
mobil itu pergi.
Tangan membawa kantung plastik yang berisi berbagai makanan. Naira sampai bingung bagaimana cara menghabiskannya.
Namun, saat dia baru saja sampai di halaman rumahnya, sudah ada Artha berdiri di depan pintu
sembari bersedekap dada.
Tatapan lelaki itu menghunjam tajam ke arahnya, menatap dengan tatapan tak suka.
"Senang, ya, jalan-jalan? Gue nungguin lo sejak
satu jam lalu."
"Apa?" Naira pikir Artha akan bersenang-senang dengan Mesa, tetapi ternyata sudah pulang sejak tadi.
"Bukannya lo udah tahu di mana gue ngeletakin kunci. Kenapa lo nggak langsung masuk?" Naira membungkuk, mengambil kunci kontrakannya yang diletakkan di bawah pot bunga.
Pintu dibuka lebar-lebar dengan Naira masuk,
sementara Artha menyusul di belakangnya.
"Dari mana aja lo? Lo nggak tahu apa ini udah malem? Lo tuh cewek. Jangan suka kelayapan. Mentang-mentang mama lo nggak ada jadi lo
seenaknya pulang malem."
Naira yang baru saja meletakkan kantung plastik di meja langsung menoleh pada Alka.
"Maksud lo apa? Ngapain lo bawa-bawa Mama?" Naira tak terima jika segala perbuatannya disangkut-pautkan dengan mamanya.
"Gue nanya, lo dari mana?" Artha melihat bungkusan plastik itu, melangkah ke arah meja, lalu melihat isinya.
"Dan ini? Lo udah dijajanin sama tuh cowok. Kalian baru kenal. Jangan sembarangan nerima barang dari cowok!"
"Gue nggak minta. Dia yang maksa. Gue cuma
nemenin dia makan tadi. Nggak ada yang lain!"
"Apa? Makan? Lo sendiri sejak tadi nggak mau makan. Giliran diajak makan cowok lain lo iya-iya aja. Di mana harga diri lo?" Artha berkata dengan suara meninggi. Hatinya panas tiba-tiba mendengar penjelasan Naira. Apalagi melihat banyaknya makanan yang dibelikan cowok bernama Fadli itu.
"Lo ngomong apaan, sih? Gue di sana nggak ikut makan. Makanya dia bungkusin buat gue. Gue cuma nemenin doang, Ta. Kenapa lo jadi marah-marah?"
"Oh, jadi lo nemenin dia makan? Dia minta lo buat nemenin dia? Sekarang dia baru ngajak lo nemenin dia makan, dan lo langsung mau. Gimana kalau suatu saat dia ngajak lo nemenin dia bobok bareng. Lo mau juga? Murahan!"
PLAK!
Wajah Artha yang sudah babak belur ditampar oleh Naira. Gadis itu menatap Artha dengan
Pandangan kecewa. Matanya tampak berembun. Bibirnya merapat, menelan kekecewaan akan
tuduhan Artha yang sangat menyakitkan.
"Gue murahan?" Bibir Naira bergetar.
"Selama gue hidup, belum pernah sekali pun gue ngedeketin cowok. Gue nggak pernah minta diperhatiin cowok. Lo nggak usah bawa-bawa Mama dalam kondisi begini. Dan lo bilang gue murahan, tapi apa yang lo sendiri lakuin. Lo pelukan sama Kak Mesa di depan banyak orang. Lo boncengan sama dia tanpa peduliin gue, kan?"
Napas Naira tersengal setelah mengatakannya. Mengentakkan kaki setelah itu, dia berlari masuk ke kamar, menutup pintu dengan membanting.
Artha terdiam, mengusap bekas tamparan Naira di pipinya. Rasa nyeri di wajah belum sepenuhnya
hilang. Kini ditambah dengan pukulan dari Naira.
Artha juga tak tahu mengapa begitu marah melihat Naira pulang terlambat. Sebenarnya dia bisa menghubungi Naira saat itu, tetapi rasa gengsi mengurungkan niatnya. Namun, setelah menunggu waktu hampir enam puluh menit lamanya Naira tak kunjung pulang, rasa marah menyelinap di hatinya.
Akan tetapi, ketika melihat Naira menangis dan menjelaskan semuanya, Artha menjadi merasa bersalah. Dia mengacak rambutnya kasar.
"Gue udah keterlaluan dengannya," gumam Artha sembari mengesah kasar.
Lekas bergegas menuju kamar Naira, Artha
mengetuk pintu.
"Nai, buka pintunya. Gue ... minta maaf. Gue salah. Udah, jangan nangis," kata Artha berusaha membujuk Naira. Namun, tiada sahutan dari dalam. Naira enggan membukakan pintu.
Tapi saat Artha tanpa sengaja mendorong pintu kamar Naira, pintu itu terbuka. Naira ternyata hanya membantingnya, tidak mengunci pintu tersebut.
Di sana Artha melihat Naira tengah membenamkan wajah pada bantal. Terlihat punggungnya bergetar. Artha yakin gadis itu sedang menangis.
Perlahan kakinya melangkah menuju ranjang, lantas duduk di sisi yang kosong. Telapak tangan mengusap kepala Naira, dengan wajahnya menunduk, membisikkan sesuatu.
"Nai, udah nggak usah nangis. Iya, gue yang salah. Lo nggak salah, kok. Gue cuma lagi kesel tadi.
Maafin gue, ya? Gue janji nggak gitu lagi."
Naira tak menanggapi dia masih tengkurap dengan wajah dibenamkan pada bantal. Pasti bantal tersebut sudah basah digenangi air matanya.
"Nai, Naira? Lo boleh deh, maki-maki gue, nampar gue lagi. Yang penting lo jangan nangis kek gini. Sorry, kata-kata gue emang jahat banget. Gue nyesel sudah ngomong gitu sama lo!" Tangannya membelai kepala Naira, berusaha menenangkan
gadis itu.
Naira menoleh pada Artha, menegakkan punggungnya menjadi duduk. Dia tak bicara apa-apa lagi. Rasanya masih sangat kesal dengan apa yang sudah Artha katakan. Bibirnya diam membisu.
"Nai, bicara gih!" Lagi-lagi Artha membujuk Naira.
"Jangan diem gini!"
Terdengar helaan napas berat dari bibir Naira. Lantas menatap pada Artha.
"Lo berisik banget. Gue mau tidur."
Saat tatapan Naira berlabuh pada wajah Artha,
gadis itu menyadari sesuatu. Bibir Artha berdarah!
"Lo... berdarah!" Naira bertanya memastikan, lalu mengulurkan tangan menyentuh bibir Artha.
Namun, lelaki itu seketika mendesis, berusaha
menghindar saat jemari lentik Naomi menyentuhnya di bagian tersebut.
"Menyebalkan!"
Sebuah kain basah sudah dicelupkan dengan air dingin, lalu meletakkannya di bagian memar wajah Artha. Naira mengobati wajah Artha yang sudah babak belur. Membersihkan dengn kapas yang sudah dicelup dengan cairan pembersih luka, Naira melakukannya dengan cukup telaten. Mereka duduk di kasur lantai yang sudah digelar di ruang tamu. Saat Artha mendesis merasakan sakit, Naira meniupkan udara sejuk dari bibirnya.
Artha menatap Naira yang masih terfokus pada lukanya. Dia tak menyangka saja jika pada akhirnya Naira yang membantunya mengobati luka. Padahal sebelumnya dia menolak Mesa.
"Lo tadi ke rumah Kak Mesa nggak mampir?" Naira berkata di sela mulutnya meniup-niup luka
pada bibir Artha.
Menggeleng lemah, Artha berkata,
"Enggak. Gue langsung pulang. Gue nungguin lo!"
"Maaf, gue enggak tahu. Gue pikir lo bakal nyari kesempatan buat deketin Kak Mesa. Secara
kalian sepertinya bahagia banget saat ketemu."
"Bahagia gimana? Adanya lo yang kesenengan
dianter sama om-om bawa mobil."
"Ish!" Naira kesal mendengar perkataan Artha. Dia menjauhkan kain basah yang sejak tadi digunakan untuk mengompres wajah lelaki itu.
"Gue enggak gitu. Kalau Om Fadli nggak nganter gue, emang siapa lagi yang bisa nganter. Lo aja langsung lupa sama gue setelah ketemu Kak Mesa. Pake pelukan segala di depan umum."
Artha terkekeh kecil. Dan saat itu pula bibirnya mendesis merasakan perih.
"Lo cemburu?"
"Apa?"
"Lo pengen dipeluk juga di depan umum?" tanya Artha dengan memiringkan wajah, menatap Naira lekat.