Masa remajaku tidak seindah remaja lain. Di mana saat hormon cinta itu datang, tapi semua orang disekitarku tidak menyetujuinya. Bagaimana?
Aku hanya ingin merasakannya sekali saja! Apa itu tetap tidak boleh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riaaan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Setelah pulang, aku kembali tidur di rumah. Alex menelpon saat aku sedang tidur pulas, rasanya sedikit mengganggu.
"Iya," jawabku dengan suara mengantuk.
"Kamu begadang ya?" tanyanya.
"Ga kok, cuma ngantuk aja," jawabku singkat.
Setelah telepon itu dimatikan. Aku kembali tidur.
***
Siang harinya, Wisnu datang ke rumahku. Aku berdiri di depan pintu sementara dia masih duduk di atas motor.
"Mau ngapain? Ibu ga ada, jadi ga boleh ada cowok!" tegasku.
Dia malah memberikan sebuah senyum ejekan. "Mau nemenin beli alat ga?" tanyanya.
"Alat apa?" tanyaku.
"Alat buat mesin," jawabnya.
Aku langsung mengunci pintu dan ikut dengan Wisnu.
"Alex balik kapan?" tanyanya.
"Kenapa? Kok tiba-tiba nanyain Alex?" balasku.
"Takut ketemu dia di jalan," jawabnya sambil terkekeh.
Padahal baru kemarin aku melihat dia menangis sebab kepergian neneknya, hari ini dia sudah bisa tersenyum.
"Makasih ya, Mut," ucapnya tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Tetap hidup ya, Nu," ejeknya menirukan gaya bicaraku tadi pagi sebelum menciumi bibirnya.
"Diiihhh! Gue kan cuma ga mau lo mati!" omelku.
"Emang kenapa kalo gue mati?"
"Ya, kemungkinan gue juga bakalan ikut mati! Soalnya gue ngeliat diri gue sendiri di dalam diri lo! Kalo lo bunuh diri gegara nenek meninggal, itu artinya gue juga bakalan bunuh diri pas ibu meninggal! Makanya gue ga mau! Pokoknya lo harus tetap hidup!" omelku yang mendadak ingin menangis.
"Ya harus tetap hidup, tapi ga mesti nganu juga sih," ejeknya.
"Nganu apa?"
Tiba-tiba dia menyentuh bibirku dengan jari telunjuk. Aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan.
"Ya kan cuma eksperimen aja," elahku.
"Eksperimen nyium gue?" tanyanya.
"Udah ah! Ngapin sih bahas itu mulu!"
"Harus dibahas! Justru itu harus kita bahas sampe tuntas! Kenapa lo nyium gue? Pas gue tidur lagi. Sambil meluk pula!"
"Apa sih, Nu!"
"Kenapa? Apa alasan lo nyentuh-nyentuh gue pas gue lagi tidur?"
"Gue ga nyentuh-nyentuh ya! Gue tuh mau pamitan! Terus lo malah narik tangan gue!"
"Ah masa iya?" ejeknya lagi. "Yang ditarik tangan kok malah bibirnya nyosor?"
"Nuuuu! Ga mau bahas!"
"Kenapa lo sampe gituin bibir gue yang masih suci dan perjaka ini?" Dia bertanya dengan nada dramatis.
"Wisnuuuu!" teriakku sembari memukuli punggungnya di jalanan.
Wisnu malah tertawa.
***
Kami berkeliling untuk mencari alat mesin yang Wisnu maksud. Aejujurnya aku kurang mengerti tentang hal semacam itu.
Lagi-lagi Wisnu keluar dari toko yang tidak menyediakannya. Ini adalah toko yang ke empat.
"Ga ada juga?" tanyaku.
Dia menggeleng.
"Coba ke toko bangunan deh," ucapku.
"Di mana ada toko bangunan?" balasnya.
"Di deket rumah Bulan kan ada," jawabku.
"Kenapa baru bilang?" sesalnya.
Aku hanya berdiam diri dan kami putar balik arah kembali menuju rumah Bulan.
"Di mana?" tanya Wisnu.
"Itu!" tunjukku pada toko bangunan yang lumayan ramai.
Kami melipir ke sana dan alat yang Wisnu butuhkan juga ada. "Bisa dipake buat besok," ucapnya.
Setelah itu, aku kira kami akan langsung pulang, rupanya Wisnu membawaku ke sebuah tempat tukang perabotan.
"Bantu gue pilih barang-barang buat ngisi mess ya, Mut," pinta Wisnu.
Aku tersenyum, sebab ini hal yang aku sukai. Entah kenapa, sedari kecil aku sangat suka dengan perabotan rumah tangga.
"Budgetnya berapa?" tanyaku.
"2 juta cukup ga sih?" Dia balik bertanya.
"Kebanyakan kalo cuma buat tinggal sendiri mah," ucapku yang langsung mengambil enam piring, enam mangkok, dua belas sendok, dua belas garpu, satu ketel air minum, beberapa baskom, satu wajan kecil, satu wajan besar, satu panci besar dan satu panci kecil. "Apa lagi ya?" tanyaku.
"Kalo mau beli kompor di mana?" tanya Wisnu.
"Itu mah di toko furniture biasanya ada kompor. Tapi kita beli yang kayak gini dulu," balasku.
"Ini taroh di mana? Udah ga muat tangan gue."
Aku memjnta Wisnu untuk menaruh semua barang pilihan tersebut di atas meja kasir, lalu kami melipir lagi ke rak-rak yang lain untuk melihat-lihat apa saja yang dibutuhkan. Sebelum kami meninggalkan tempat kasir itu ....
"Waah, banyak belanjaannya, pengantin baru ya?" tanya seorang ibu-ibu yang ikut belanja di sini.
Aku menoleh ke arah Wisnu yang lebih tinggi dariku. Awalnya dia terkejut namun tiba-tiba tersenyum dan merangkul pundakku. "He he, iya, Bu," jawabnya sambil terkekeh.
Lalu kami benar-benar berlalu ke tempat lain yang masih menjadi bagian dari toko ini.
"Penganten baru?" ketusku pelan.
"Biar orang ga nyinyir," balasnya.
Kami membeli banyak sekali barang dan tidak bisa dibawa oleh motor Wisnu. Sehingga tukang perabot di situ menawarkan untuk diantar saja siang nanti. Wisnu menyetujui dan memberikan alamatnya.
"Beli nasi padang yuk! Laper," ajaknya.
Aku ikuti saja apa yang dia mau. Kami membawa dua bungkus nasi padang ke mess tempat tinggal Wisnu. Ini adalah kali pertama aku makan nasi tanpa alas piring, hanya kertas dan plastik dari bungkus yang diberikan tukang nasi padang.
"Harusnya tadi kita bawa ada piringnya duluan," ucapku yang berlalu meninggalkan Wisnu ke dapur.
"Mau ke mana?" tanyanya.
"Cuci tangan!" jawabku setengah berteriak.
Setelah aku selesai mencuci tangan di wastafel, aku dikejutkan dengan kehadiran Wisnu yang berdiri tepat di belakangku. Saat aku hendak berjalan ke kanan, dia juga ke kanan. Aku berjalan ke kiri, dia juga ke kiri.
"Apa sih, Nu," ucapku pelan.
"Lah, gue mau cuci tangan. Lo minggir," ucapnya.
Aku menghela napas jengkel.
"Oh, lo ga mau minggir?" tanyanya.
"Ya ini mau minggir!" bentakku kesal.
"Bilang dong kalo mau nemenin cuci tangan," godanya yang langsung mencuci tangan sebelum aku pergi.
Hal itu membuatku terkejut sebab wajah Wisnu jadi sangat dekat. Tubuhku sampai melengkung di pinggir wastafel demi menghindari wajah itu.
Wisnu masih mencuci tangan di belakangku sambil menatap wajahku yang berada tepat di depannya.
"Jangan aneh-aneh, Nu!" tegasku.
"Aneh-aneh aja, ga ada orang kok di sini," bisiknya.
Aku menoleh ke kiri, kanan dan kembali mendongak menatap wajah Wisnu. Aku menelan saliva dibuatnya.
Aku tahu dia sudah selesai mencuci tangan sebab keran air yang sudah dimatikan. Tapi dia tetap berada di posisi seperti ini.
"Minggir, gue laper," ucapku menurunkan pandangan agar leher tidak sakit.
Wisnu malah menopang tangannya di atas meja wastafel dan membuat wajahku menyentuh dadanya.
"Nu!" bentakku sebab terkejut.
"Oh, lo ga mau aneh-aneh? Bilang dong," ucapnya yang langsung pergi.
"Dih." Bibirku naik sebelah melihatnya berlalu. "Udah dibilangin dari tadi juga," omelku yang ikut ke ruang tamu untuk makan nasi padang.
Kemudian kami makan tanpa ada berisik sama sekali. Setelah kenyang, aku kembali mencuci tangan. Sementara Wisnu sudah selesai makam sedari tadi sebab makannya yang sangat cepat.
Tak lama setelah itu, tukang perabot datang dan kami menyusun semua barang yang tadi dibeli. Aku mencuci semuanya sebelum digunakan, sebab biasanya ibu melakukan hal semacam ini jika baru beli barang-barang. Katanya sih biar debu-debu dari toko hilang. Tapi aku punya alasan yang lain, bau barang baru! Aku tidak suka baunya.
Debunya sangat banyak, sampai-sampai aku bersin berkali-kali saat membuka bungkus plastik dari barang-barang tersebut.
"Udah tinggalin aja, biar ntar gue yang beresin," ucap Wisnu.
Kembai aku bersin mendengar kalimatnya tersebut.
Wisnu menghampiriku dan mengambil alih lap yang sudah berubah menjadi hitam. "Udah, tinggalin aja," ucapnya menuntunku untuk cuci tangan dan cuci muka.
"Hachiii!" Lagi-lagi aku bersin sembari tanganku dicuci oleh Wisnu.
"Sampe merah gitu hidung lo, Mut," ucapnya.
"Hachiiiiii!" Kali ini bersin yang sangat kuat sampai-sampai Wisnu tertegun. "Aah! Capek!"
"Biar gue aja yang beresin," ucap Wisnu lagi.
"Capek bersin," lanjutku mencuci muka dan menatap Wisnu yang berdiri di sebelahku. "Lo ga punya tisu ya?" tanyaku.
"Ga beli tadi," jawabnya.
Aku langsung memeluknya dan mengelap wajahku di bajunya.
"Mut," panggil Wisnu pelan. Aku menatap wajahnya, terlihat dia mencoba menahan amarah.
"Makanya beli handuk atau tisu," ucapku.
Aku kembali mengelap wajahku dengan baju itu. Tiba-tiba Wisnu memelukku dan aku menghentikannya.
"Nu, jangan aneh-aneh!" tegasku dengan wajah masih menempel di baju itu.
"Lo yang mancing," balasnya.
"Ga! Gue cuma lap muka!" bantahku.
"Lap muka di baju gue, itu ga aneh?" balasnya.
"Ga lah! Kan lo ga punya handuk sama ga punya tisu!"
Tiba-tiba Wisnu memegang kedua pipiku. Dipaksanya untuk mendongak menatap wajah yang sedari tadi aku hindari.
"Nuuu! Jangan aneh-aneh! Gue pacarnya Alex!" tegasku.
Dia tersenyum dan mendekatkan mulutnya di telingaku. "Tapi lo suka sama gue kan?" bisiknya.
"Iya, gue suka tapi ...." Aku tak melanjutkan kalimat.
Wisnu tampak menunggu lanjutkan dari kalimat itu.
Aku menghela napas berkali-kali. Detak jantungku tak keruan. Ah sudahlah! Lagi pula tidak ada siapapun di sini, hanya ada aku dan Wisnu.
Tanganku merangkul pundak Wisnu dan mengawali ciuman itu terlebih dahulu.