"Lebih baik, kau mati saja!"
Ucapan Bram membuat Cassandra membeku. Dia tidak menyangka sang suami dapat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hatinya. Memang kesalahannya memaksakan kehendak dalam perjodohan mereka hingga keduanya terjebak dalam pernikahan ini. Akan tetapi, dia pikir dapat meraih cinta Bramastya.
Namun, semua hanya khayalan dari Cassandra Bram tidak pernah menginginkannya, dia hanya menyukai Raina.
Hingga, keinginan Bram menjadi kenyataan. Cassandra mengalami kecelakaan hingga dinyatakan meninggal dunia.
"Tidak! Kalian bohong! Dia tidak mungkin mati!"
Apakah yang terjadi selanjutnya? Akankah Bram mendapatkan kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Syarat Cassie
"Kalau begitu, aku minta satu hal padamu," ucap Cassie, suaranya bergetar di udara sore yang terasa begitu dingin.
Bram menatapnya dengan sorot mata penuh harap. "Apa saja, Cassie. Katakan."
Bram berharap Cassie mau berjuang kembali bersamanya dan melupakan masa lalu. Cassie menarik napas panjang, seolah berusaha menenangkan badai dalam dadanya.
Lalu dengan suara yang sedikit gemetar, ia berkata, "Pilih aku atau Raina."
Bram terdiam, tak menyangka permintaan itu akan sejelas ini. Perempuan di hadapannya memintanya untuk memilih ketika Raina mungkin mengandung anaknya.
"Aku tidak ingin ada setengah hati di antara kita, Bram," lanjut Cassie, matanya berkaca-kaca. "Kalau kamu memilihku, aku ingin kamu melupakannya... Bahkan kalau pun nanti terbukti anak itu memang darah dagingmu, aku ingin kamu tetap menolak mengakuinya."
Bram terhenyak. Itu... permintaan yang berat. Sangat berat. Hatinya memang tertuju pada Cassie, tetapi dia masih bingung dengan semuanya. Pria itu takut ternyata menodai Raina, sedangkan dirinya sendiri yakin bila dia tidak pernah melakukannya.
"Aku tahu ini egois," Cassie menunduk, memeluk dirinya lebih erat. "Tapi aku tidak mau hidup dalam bayang-bayang wanita lain... atau anak yang bukan dari rahimku."
"Sudah terlalu sering kamu menyakitiku. Kamu berkata kalau kamu ingin memperbaiki hubungan denganku. Akan tetapi, dengan adanya berita tentang janin dalam kandungannya aku yakin kamu mulai goyah!" lanjut Cassie.
Bram membuka mulutnya, ingin menjawab, namun kata-kata terasa tertahan di tenggorokannya. Ia mengerti perasaan Cassie. Ia paham luka yang diukir oleh pengkhianatan, rasa takut akan masa depan yang tidak pasti. Tapi bagaimana jika anak itu benar-benar darah dagingnya? Apakah ia bisa mengabaikannya?
Cassie menatap Bram, menunggu.
Namun Bram hanya bisa menunduk, tak mampu memberi jawaban. Cassie tersenyum pahit, seolah sudah tahu jawabannya. Ia melangkah mundur perlahan, menjaga jarak.
"Aku akan memberimu waktu," katanya. "Tapi kalau sampai anak itu lahir dan kamu masih ragu... mungkin memang kita tidak ditakdirkan bersama. Bahkan, kalau aku bisa dan mampu bersikap kejam. Aku ingin perempuan itu menggugurkan kandungannya."
Kata-kata Cassie sangat tajam, seolah melakukan pembalasan padanya secara perlahan. Dia sangat kecewa dengan berita kehamilan Raina hingga mampu mengatakan hal kejam tersebut.
Suasana terasa hampa. Bram merasa seolah-olah tanah di bawah kakinya bergoyang, tetapi ia membiarkan Cassie kembali masuk ke dalam rumah tanpa mencegahnya. Ia berdiri kaku di halaman, menatap pintu yang tertutup rapat, memisahkan mereka seperti tembok tak kasat mata.
***
Hari-hari berikutnya, Bram tak pernah absen datang ke rumah keluarga Nugroho. Setiap sore setelah pulang bekerja, ia berdiri di luar pagar, menunggu, berharap bisa bertemu Cassie, berharap Gunawan dan Clarissa melunak. Kadang ia hanya bisa menunggu berjam-jam tanpa hasil, kadang ia diusir oleh Gunawan dengan amarah yang belum surut.
Namun Bram tidak menyerah. Ia tahu, ini harga yang harus dibayar demi Cassie.
Sementara itu, di sisi lain, Jessie yang selama ini diam, mulai bergerak setelah mengetahui kabar tentang kehamilan Raina. Jessie selama ini selalu merasa Cassie terlalu bodoh karena terus memaafkan Bram. Dan kini, saat mendengar bahwa anak yang dikandung Raina mungkin adalah darah daging Bram, Jessie merasa ini saat yang tepat untuk melindungi Cassie dari sakit hati yang lebih dalam.
Jessie datang ke kamar Cassie, membawa dua cangkir cokelat hangat. Ia duduk di pinggir ranjang Cassie yang masih termenung menatap jendela. Jessie merasa bersalah karena ikut memberikan kesempatan pada Bram karena dia pikir pria itu patut mendapatkannya.
"Minum dulu, Cass," ucap Jessie lembut.
Cassie tersenyum tipis, mengambil cangkir itu tanpa banyak kata.
Jessie menghela napas. "Aku dengar Bram masih datang setiap hari."
Cassie hanya mengangguk.
"Kamu serius mau tetap memberikan dia kesempatan?" Jessie menatap Cassie dengan tatapan prihatin.
Cassie menggigit bibir bawahnya, tidak menjawab.
Jessie meletakkan cangkirnya, lalu berkata lebih serius, "Cass, kamu pikirkan lagi. Kalau anak itu benar-benar anak Bram, apa kamu yakin bisa hidup dengan kenyataan itu? Menjadi ibu tiri bagi anak yang lahir dari pengkhianatan?"
Cassie memejamkan mata, hatinya terasa sesak. Ingin sekali dia mengatakan dengan jujur kalau dia ingin menyerah.
"Aku tahu kamu cinta sama Bram, tapi cinta itu kadang nggak cukup, Cass," lanjut Jessie. "Apalagi dalam pernikahan. Kamu harus mikirin kebahagiaanmu juga. Maafkan aku yang berpikir bila dia harus mendapatkan kesempatan."
Cassie menahan air mata yang menggenang. Kebimbangan memenuhi pikirannya.
"Kamu layak bahagia, Cassie," ucap Jessie sambil menggenggam tangan sepupunya. "Jangan mau mengorbankan seluruh hidupmu untuk seseorang yang bahkan tidak yakin memilihmu seratus persen."
Sementara itu, di luar rumah, Bram kembali berdiri, menatap pintu pagar yang tertutup rapat. Sekali lagi, penjaga rumah itu hanya menatapnya dengan wajah tak enak.
"Maaf, Pak Bram... Tuan Gunawan tidak mengizinkan."
Bram mengangguk pelan. "Saya akan tetap menunggu."
Dia tidak peduli panas matahari yang membakar kulitnya, tidak peduli tatapan iba para tetangga atau rasa malu yang menusuk. Yang ia pedulikan hanya satu: Cassie.
Sejam... dua jam... tiga jam...
Baru ketika matahari hampir terbenam, pintu pagar terbuka sedikit, dan Clarissa keluar. Wajah wanita itu penuh kelelahan.
"Bram," katanya pelan. "Kamu pulanglah dulu. Cassie belum siap menemui siapa pun."
Bram menundukkan kepala, menahan kecewa. Namun ia tidak membantah. Ia tahu, memaksa justru akan semakin menjauhkan Cassie darinya.
"Saya akan kembali besok," katanya sebelum berbalik pergi.
Clarissa hanya bisa menghela napas panjang, dalam hatinya sebenarnya tidak tega melihat keteguhan Bram.
Di kamar Cassie, setelah percakapan dengan Jessie, Cassie duduk di tepi ranjang, memandangi layar ponselnya. Ada puluhan pesan Bram di sana. Semuanya meminta maaf, meminta kesempatan, meminta Cassie untuk percaya.
Namun rasa takut di hati Cassie lebih besar dari rindunya.Air mata jatuh satu per satu di pipinya. Ia tahu, satu keputusan kecil saja akan mengubah hidup mereka selamanya. Dan ia tidak yakin apakah hatinya cukup kuat untuk menanggung risiko itu.
"Apa yang harus aku lakukan?"
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca...
Dan juga keluarga Adrian kenapa tdk menggunakan kekuasaannya untuk menghadapi Rania yg licik?? dan membiarkan Bram menyelesaikannya sendiri?? 🤔😇😇
Untuk mendapatkan hati & kepercayaannya lagi sangat sulitkan?? banyak hal yg harus kau perjuangan kan?
Apalagi kamu harus menghadapi Rania perempuan licik yg berhati ular, yang selama ini selalu kau banggakan dalam menyakiti hati cassie isteri sahmu,??
Semoga saja kau bisa mendapatkan bukti kelicikan Rania ??
dan juga kamu bisa menggapai hati Cassie 😢🤔😇😇
🙏👍❤🌹🤭
😭🙏🌹❤👍