Novel romantis yang bercerita tentang seorang mahasiswi bernama Fly. Suatu hari ia diminta oleh dosennya untuk membawakan beberapa lembar kertas berisi data perkuliahan. Fly membawa lembaran itu dari lantai atas. Namun, tiba-tiba angin kencang menerpa dan membuat kerudung Fly tersingkap sehingga membuatnya reflek melepaskan kertas-kertas itu untuk menghalangi angin yang mengganggu kerudungnya. Alhasil, beberapa kertas terbang dan terjatuh ke tanah.
Fly segera turun dan dengan panik mencari lembaran kertas. Tiba-tiba seorang mahasiswa yang termasuk terkenal di kampus lantaran wibawa ditambah kakaknya yang seorang artis muncul dan menyodorkan lembaran kertas pada Fly. Namanya Gentala.
Dari sanalah kisah ini bermulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 19
“Bukankah melihat padatnya jalan raya memang sangat menyenangkan dari sini?”
Sontak Fly langsung terkejut. Ia memegang dadanya setelah mendengar suara seseorang dari sampingnya. Hampir saja ia berlari kencang karena mengira itu adalah orang jahat.
Beneran penguntit. Ucap Fly dalam hati.
“Bumi ini sangat luas. Ada begitu banyak kemungkinan tempat yang aku kunjungi. Adakalanya aku di kota ini, atau kota tempat tinggalku. Begitupun dengan jam. Ada dua puluh empat jam dalam sehari. Tapi kenapa ada banyak kebetulan yang melibatkan pertemuanku denganmu. Sedangkan kamu sama sekali tidak terlihat heran. Apakah kamu memasang kamera pengintai, wahai ustaz?”
Aza mengikuti arah mata Fly yang melihat jalan raya yang dipadati kendaraan. Mereka sedang berada di jembatan penyeberangan. Di mana biasanya dilakukan para pejalan kaki untuk sekadar melintas. Sehingga, tidak aka nada banyak orang yang menetap sejenak, seperti Fly. Ia memang suka ketenangan. Bertemankan angin malam.
“Entahlah. Seseorang pernah berkata kepadaku. Ketika kita bertemu seseorang secara kebetulan, lalu setelah itu kita saling mengenal. Maka bukanlah hal yang aneh jika ada banyak kemungkinan pertemuan itu akan terjadi. Ya, kita tahu. bisa jadi sebelum mengenal kita mungkin sering bertemu. Hanya saja kita belum saling mengenal saat itu.” Aza bertutur.
“Memangnya seorang ustaz boleh bercakap-cakap dengan seorang perempuan di tempat seperti ini?”
“Ini tempat umum. Walaupun sudah malam, tapi terang. Orang-orang juga banyak yang berlalu-lalang. Lagipula, aku tidak menganggap diriku ustaz. Aku hanya laki-laki bisa yang hany ingin menyeberang untuk pergi ke warung nasi.”
“Berarti anda ustaz gadungan gitu?”
Aza tertawa. Jarak mereka sekitar dua meter. Masing-masing lebih terfokus melihat jalan raya di bawah sana.
Lima-enam orang melintas di belakang mereka. Hanya lewat, tanpa berhenti sejenak.
Lampu-lampu kendaraan yang merah, beradu suara klakson yang saling menyahut. Keduanya terdiam sejenak, satu sama lain. Menikmati suguhan malam yang tanpa gerimis dan hujan. Namun setelah beberapa saat, Fly menoleh ke kiri. Tempat Aza berada. Didapatinya sosok lelaki yang sepertinya setinggi Gen. Bahkan posturnya juga mirip. Walaupun wajah mereka sama sekali tidak mirip. Juga rambutnya. Rambut Gen lurus, sedangkan Aza agak ikal sedikit. Warnanya juga lebih gelap dibanding Gen.
Tampak samping Aza ternyata begitu rapi. Seperti bentuk sketsa lukisan yang sering dibuat sepupu Fly.
Fly langsung membuang wajah saat Aza hendak menoleh karena menyadari dirinya ditatap.
“Aku tidak heran dengan pertemuan ini, Fly. Sebab tidak ada yang kebetulan. Seperti saat ini. Aku tiba-tiba datang di saat ekspresimu menunjukkan begitu banyak kusut.”
“Kamu ngatain aku keriput, hah?”
“Nggak, Fly. Mana mungkin kamu keriput. Ya, mungkin belasan tahun ke depan, ya. Namanya juga manusia, pasti bakal menua juga.”
“Kamu doain aku cepat tua?”
Aza tertawa lagi. Dengan suara dalam.
Serak-serak yang merdu. Seperti itulah suara Aza.
“Jika tidak keberatan, lontarkan saja padaku?”
“Jumroh? Berarti kamu, anu dong.”
Sekali lagi, Aza tertawa. Tak dapat disangkal, sebenarnya Fly menyukai suara tawa Aza. Namun, bukan berarti ia sengaja memancing Aza untuk tertawa.
“Nggak mungkin angin sengaja membawaku ke sini di saat kamu sedang ada di sini tanpa ada maksud tertentu. Itulah mengapa aku mau mendengar. Lebih tepatnya aku mau menjadi pendengar.”
Tiba-tiba, perut kelaparan Aza berbunyi. Ia sampai lupa bahwa tujuan aslinya adalah untuk pergi makan ke warung.
“Perutmu yang jadi pendengar?”
Aza menutup wajahnya karena malu.
“Jangan pedulikan itu. kamu, lagi ada masalah? Atau emang pembawaanmu begitu?”
“Maksudnya?”
“Sejak pertama kali melihatmu di masjid ketika aku ngisi kajian, kamu selalu murung. Seperti orang yang sedang patah hati mungkin.”
“Heh!” seru Fly, galak.
“Eh, maaf. Aku cuma menebak. Kalau begitu, mungkin lain kali kalau angin lagi menarik aku ke tempat kamu berada. Berarti pada saat itu, kamu harus cerita padaku.”
Akhirnya, Aza menyerah. Ia berlalu dari tempat Fly berada. Tiga langkah dari tempat Fly, perempuan itu menatap punggung Aza. Sembari memperhatikan langkahnya yang bersuara sebab sepatu putihnya.
“Tunggu!” ucap Fly, ketika Aza sampai ke anak tangga pertama.
Lelaki itu menoleh, langkahnya terhenti.
Sesaat, Fly menelan ludah. Kakinya bergerak-gerak. Jemarinya terkepal.
“Aku juga lapar. Sebenarnya niatku juga mau beli makan. Boleh aku ikut?”
___ ___ ___
Dua buah piring di atas meja itu telah tersisa beberapa tulang ayam. Beserta bekas sambal. Makanan telah tandas. Seorang lelaki yang sejak mulai makan sampai menutupnya dengan minum air mineral itu kini berdehem. Perutnya tidak lagi meronta. Selama makan, ia tak sediki pun menggubris yang lain. termasuk Fly yang tengah berada di dekatnya. Ia tidak menyadari bahwa perempuan itu dalam beberapa kali meliriknya. Untuk sekadar memastikan, apa yang membuat Aza begitu fokus tanpaa teralihkan. Ternyata hany karena sedang melahap, satu demi sendok nasi dengan lauk paha ayam.
“Alhamdulillah, duniaku telah kembali.” Aza berkata, setelah Fly benar-benar menghabiskan makanannya.
“Maksudnya?” Fly bertanya.
“Maaf, ya. Aku kalau lagi lapar emang kurang fokus.”
“Makanya pas makan fokusnya seratus persen pada makanannya, ya,” terka Fly, dengan senyuman miring.
“Begitulah. Tapi sekarang aku sudah bisa mendengarkanmu.”
“Jadi sejak tadi kupingmu nggak berfungsi?”
Aza tertawa serak. Bahkan pada ekspresi apapun, tampak sampingnya masih rapi. Ia pasti photogenic.
“Maaf, ya. aku emang bukan tipe orang yang bisa diajak ngobrol sambil makan.”
“Ya, tanpa dijelasin juga semua orang pasti sadar, kok.”
Lima menit berselang. Mereka masih di warung itu. sebab memang masih banyak kursi pelanggan yang kosong. Jadi, mereka tidak perlu khawatir jika ada pelanggan baru yang datang. Selama itu, mereka hanya fokus pada ponsel masing-masing. Sibuk pada layar yang menampakkan gambar atau video yang berbeda-beda. Fly sedang menonton video tentang cara menyelesaikan skripsi dengan cepat. Sedangkan Aza sedang menonton sebuah podcast. Keduanya sama-sama fokus, sebelum akhirnya suara benda jatuh dari luar membuyarkan semuanya.
Sontak Fly dan Aza berdiri sambil terkejut. Mereka berlari menuju pintu keluar. Urusan membayar, mereka telah melakukannya tepat setelah menyelesaikan makan.
Di luar sana, terlihat ada sepeda motor dengan gerobak siomay yang tergeletak. Tidak ada pengendaranya di sana. Orang-orang berdatangan untuk mengerumuni. Suara heboh para wanita terdengar. Padahal, di sana tidak ada korban.
“Lihatlah, apapun keadaanya, teriak adalah nomor satu. Bukankah begitu, wahai kaum hawa?” sindir Aza kepada Fly.
Mereka masih berdiri di depan warung makan itu.
Fly mengembuskan napas berat, “Setuju. Perempuan emang panikan.”
“Termasuk kamu?”
“Tentu saja.”
Seorang pria dewasa berlari panik ke pinggir jalan, tempat motor penjual siomay itu berada. Ternyata , itu adalah pemiliknya. Untungnya, motor berserta bawaannya aman-aman saja. memang ada isinya yang jatuh. Hanya saya setengah wadahnya masih bisa terselamatkan. Itu lebih dari cukup untuk sebuah musibah dari kelalaian pemiliknya.
Fly dan Aza berjalan, hendak menuju jembatan itu lagi. Tidak lagi kembali dengan aktivitas menyaksikan layar HP. Semua karena musibah tukang siomay itu.